Wali Jadzab dalam Islam, Bisakah Dijadikan Acuan Syariat?

Wali Jadzab dalam Islam, Bisakah Dijadikan Acuan Syariat?

Wali Jadzab dalam Islam, Bisakah Dijadikan Acuan Syariat?

Pasca meninggalnya Habib Ja’far Alkaff beberapa hari lalu, di beranda salah satu media sosial saya banyak berseliweran video/tulisan tentang beliau. Kebanyakan membahas tentang karamah beliau. Bahkan ada yang menuliskannya berdasar pengalaman pribadi.

Salah satu yang membuat saya tertarik adalah tentang tawaran/saran bahwa hal-hal supranatural dan di luar adat kebiasan yang dialami sebagian ulama/wali itu hendaknya tidak diviralkan. Alasannya adalah untuk menghindari tuduhan yang macam-macam dari orang-orang yang tidak suka atau tidak memiliki informasi cukup tentangnya.

Bagi kalangan tertentu, karamah para wali adalah hal yang biasa didengar. Sehingga tak kaget dan akan bersikap wajar-wajar saja manakala ada yang seperti itu lagi. Misalnya, seorang wali yang (kelihatannya) tidak shalat, tidak menutup aurat, perkataannya terkesan ngawur, dan lain-lain.

Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah, dijelaskan bahwa karamah itu dimiliki oleh orang selain Nabi. Imam Qusyairi menyebutkan beberapa karamah yang diabadikan Al-Qur’an. Beberapa di antaranya adalah:

Pertama, firman Allah SWT tentang Maryam, ibu Nabi Isa as. “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan”. (QS. Ali Imran [3]: 37) (Maryam mendapatkan makanan tanpa berusaha apa-apa)

Kedua, tentang kisah Ashabul Kahfi pada surat al-Kahfi (salah satunya, mereka tidur selama 309 tahun).

Ketiga, apa yang dilakukan Khidir (yakni, membunuh anak kecil, dll. Menurut al-Qusyairi, Khidir adalah wali, bukan Nabi/Rasul).

Namun, jika yang di luar kebiasaan atau terkesan aneh itu adalah berupa ucapan, maka itu disebut syatahat (igauan, Jawa: ndeleming). Menurut Gus Baha’, ucapan seperti itu sifatnya kebetulan saja. Kadang benar, kadang salah.

Jika ucapan itu menyalahi aturan syari’at, maka bagi imam (pemimpin) boleh menghukumnya. Masalah dia wali atau bukan, itu urusan pribadinya dengan Allah. Dan yang paling penting adalah, ucapan seperti itu tidak bisa dijadikan sandaran hukum dalam beragama.

“Dalam kitab-kitab tasawuf, seperti al-Risalah al-Qusyairiyah, Ihya’, dll, hal itu dianggap normal. Namun tidak boleh jadi aturan syari’at,” tururnya.

Beliau mencontohkan ucapan seorang wali jadzab, “Tuhanku, jika Engkau menuntutku atas dosa-dosaku, maka sungguh aku akan menuntut Engkau atas ampunanMu”  (Makna lainnya, “Tuhan, jika Engkau mempermasalahkan dosa saya, maka saya akan menuntut eksistensi ampunanMu”). Secara zahir, ucapan itu menunjukkan bahwa pengucapnya sedang menuntut Tuhan. Tidak layak, bukan?

Ketidakbolehan menjadikan perkataan mereka sebagai acuan syariat adalah wajar adanya. Betapa tidak, bisa dibayangkan, bagaimana dampaknya jika banyak orang meniru perilaku nyeleneh yang notabene menyalahi syariat itu?.

Agaknya, meniru perilaku aneh mereka sama dengan meniru bacaan qira’at selain ‘Ashim, riwayat Hafsh, tanpa mengetahui disiplin ilmu qira’at. Bacaannya bisa jadi benar, namun ia tetap salah karena langsung loncat kepada hasil tanpa melalui tahapan belajar langkah demi langkah. FYI, muslim Indonesia menganut bacaan ‘Ashim, riwayat Hafsh, salah satu dari tujuh (ada yang berkata sepuluh) bacaan yang mutawatir.

Walhasil, apa yang dilakukan atau dikatakan mereka adalah urusan mereka. Terserah kita mau setuju atau tidak. Hal demikian muncul atas keyakinan dan pemahaman mereka yang sudah mencapai derajat tertentu. Dan yang penting, itu tidak boleh ditiru. Bagi yang tidak setuju, hendaknya tidak mempermasalahkannya secara berlebihan. Wallahu a’lam.