Ada kelompok yang menyebarkan pemahaman bahwa manusia tidak boleh membuat satu pun peraturan di luar peraturan yang diturunkan Allah. Lebih jauh, mereka menuduh kafir pada orang-orang yang membuat peraturan. Tuduhan kafir juga berlaku pada mereka yang mengikuti aturan buatan manusia.
Namun, benarkah Allah melarang manusia membuat peraturan secara total? Jawabannya tentu tidak. Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa Allah memerintahkan agar manusia mentaati keputusan, peraturan, dan hukum buatan manusia selama tidak bertentangan dengan ketentuan umum yang telah digariskan Allah.
Berikut adalah sejumlah orang yang keputusan dan peraturannya diakui Allah. Allah memerintahkan manusia lain agar mentaatinya. Allah tidak mengkafirkan mereka, baik orang yang membuat peraturan maupun orang yang mengikuti peraturan tersebut. Siapa saja mereka?
Pertama, Rasulullah saw. Beliau adalah manusia yang ucapannya dapat menjadi aturan atau hukum. Allah swt. berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Sungguh, Kami turunkan kepadamu kitab yang merupakan kebenaran dari Allah. Hendaknya kamu memutuskan di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (Qs. Al-Nisa: 105).
Dalam Qs. Al-Nisa: 105, Allah memerintahkan Rasulullah saw. menjadi hakim yang memutuskan perkara di antara sesama manusia yang sedang bersengketa. Rasulullah saw. adalah manusia yang diizinkan membuat keputusan hukum, dan manusia lainnya diperintahkan mentaatinya. Artinya, ada manusia yang mendapat izin membuat keputusan (hukum). Allah mengakui keputusan Rasulullah saw. Hal ini menunjukkan bahwa manusia diberi wewenang memutuskan keputusan serta menentukan ketentuan untuk menyelesaikan persoalan di antara sesama.
Ibnu Katsir menyatakan, ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw. diperbolehkan berijtihad memutuskan suatu hukum dalam persoalan yang tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah. Dalam kaitan ini, Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah mendengar keributan di depan rumahnya. Mereka ingin meminta keputusan beliau. Beliau keluar, lalu berkata, “Aku hanya manusia biasa. Aku akan memutukan berdasarkan apa yang aku dengar. Mungkin sebagian kalian lebih bisa menjelaskan argumennya dibanding yang lain. Lalu aku memutuskan memenangkan tuntutannya. Barang siapa aku berikan hak orang Islam kepadanya, itu adalah potongan api neraka. Dia boleh mengambilnya atau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Usamah bin Zaid meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku memutuskan perkara di antara kalian dengan pendapatku dalam masalah yang belum diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, hlm. 404). Sangat terang benderang bahwa ketika tidak ada keterangan dari wahyu, manusia boleh mengambil keputusan sendiri untuk menyelesaikan persengketaan di antara sesama.
Kedua, dua orang adil. Allah swt. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu. (Qs. Al-Maidah: 95)
Allah memerintahkan agar orang yang membunuh hewan di tanah haram (Mekah dan Madinah) saat sedang ihram mengganti dengan hewan ternak seukuran sesuai dengan penilaian dua orang yang adil. Dalam ayat ini, Allah mengakui keputusan yang dibuat manusia.
Ketiga, juru damai. Allah swt. berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatir persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al-Nisa: 35)
Allah memerintahkan agar ditunjuk pihak ketiga untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara suami dan istri. Pihak ketiga juru damai tersebut membuat keputusan dan hukum yang harus ditaati kedua pasangan.
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa manusia boleh membuat aturan selain peraturan yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya selama tidak bertentangan dengan ketentuan umum Allah. Allah tidak mengkafirkan manusia yang mengikuti peraturan buatan manusia sebagaimana pemahaman sebagian orang. Bahkan Allah memberi mandat kepada sejumlah manusia menjadi pembuat keputusan. Jika Allah tidak mengkafirkan, lalu, siapa yang sebenarnya yang menyuruh mengkafirkan orang lain karena mengikuti peraturan buatan manusia? Wallahu A’lam.