Setelah La La Land, The Greatest Show, dan A Star Is Born, film musikal dengan pangsa pasar berbeda menarik perhatian kita semua. Dialah Aladdin, diproduksi oleh Walt Disney Pictures, disutradarai Guy Ritchie, dan menjadi ‘karpet ajaib’ bagi, terutama, Mena Massoud, yang di awal proses syuting dikira penari latar oleh Will Smith, Sang Jin.
Film ini diangkat dari dongeng panjang dan legendaris, Seribu Satu Malam. Karya sastra ini menjadi bukti kuat tradisi story telling bagi masyarakat Padang Pasir.
Aladdin sendiri diceritakan sebagai seorang pemuda baik hati yang miskin dan sering kedapatan mencuri—walau hasil curiannya kadang diberikan kepada pengemis yang kelaparan. Aladdin berteman dengan seekor monyet bernama Abu dan dari pertemuan tak terduganya dengan Putri Jasmine yang menyamar, dia ditawan dan diperalat oleh Ja’far, wazir yang haus kekuasaan.
Dari sana, Aladdin ditumbalkan untuk mencari lampu ajaib di dalam gua mistis dan sebagaimana dapat ditebak, Aladdin akhirnya ‘berteman’ dengan si jin.
Walaupun ada western value yang kentara dalam narasi dan pembentukan karakter di film tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kisah ini mewakili kisah masyarakat Arab di tataran akar rumput. Kisah Aladdin memotret ketimpangan ekonomi antara mereka yang ada di dalam istana dan mereka yang mesti mencuri untuk bertahan hidup.
Antusiasme masyarakat saat Pangeran Ali dari Ababwa datang serta kekaguman Putri Jasmine atas ‘the whole new world’ yang ia lihat bersama Aladdin dari karpet ajaib, menunjukkan kepedihan dan kemiskinan mereka. Dan ketika seperti tidak ada jalan keluar, ide-ide soal kekuatan supranatural yang bisa bimsalabim menjadi ‘obat penenang’. Itu sebabnya narasi jin ini menjadi kuat—dan menariknya, bahkan masih relevan hingga sekarang.
Terlepas dari itu, kita bisa menarik pelajaran dari kisah Aladdin ini. Pelajaran sufisme—akhlak. Apa saja? Pertama, Aladdin berkata, “Jika kamu tidak punya apa-apa, bersikaplah seolah kamu memiliki segalanya.” Sikap ini mengandung dua akhlak mulia, pertama, bersyukur ‘ala kulli hal, merasa grateful dalam semua situasi dan kondisi.
Kemiskinan yang dialami Aladdin membuat dia dapat melihat anugerah-anugerah yang biasa disepelekan, dari sana pula terbangun suatu kesadaran dan kerendah-hatian. Kemiskinan tidak lagi mengganggu kualitas diri dan kebahagiaannya. Dan kualitas ini termasuk ke dalam akhlak sufisme nomor dua: ghina ‘anin naas (tidak berharap pertolongan manusia).
Ghina ‘anin naas biasanya diartikan secara sederhana sebagai: mandiri. Padahal, ghina ‘anin naas sesungguhnya jauh lebih dalam daripada itu. Ghina ‘anin naas adalah keterlepasan kita dari setiran, hegemoni, dan bahkan perbudakan (ekspektasi kita atas) orang lain.
Secara kualitatif saya biasanya mendefinisikan ghina ‘anin naas sebagai situasi di mana (1) bahagia dan sedih kita tidak dipengaruhi oleh apa yang (harusnya) dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang lain; (2) puas atau tidaknya kita tidak ditentukan oleh apa yang menurut kita harusnya diucapkan dan/atau dipikirkan oleh orang lain, tentang kita.
Dalam istilah Rumi, proses menuju ghina ‘anin naas dapat dilakukan dengan ‘menghancurkan diri sendiri’. Kita tidak dibelenggu oleh jebakan dan penjara citra dan apapun yang sifatnya menduakan cinta kita pada-Nya dan kesejatian. Kita tidak takut pada anggapan orang tentang kita. Sejauh yang saya pahami, almagfurlah Gus Dur adalah salah satu yang berhasil menerabas jebakan ini. Begitu pula Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Kedua, sufisme memperkuat kesadaran ihsani. Kesadaran bahwa kita senantiasa diawasi oleh Allah, sehingga setiap yang kita kerjakan harus dilandasi kesadaran seolah-olah kita melihat Allah. Alhasil, perilaku kita senantiasa istiqomah di sirat al-mustaqiim.
Pelajaran ini kita dapatkan dari cara Aladdin menyikapi kewenangan dan peluang yang dia peroleh dengan kepemilikan dan penguasaan atas jin. Aladdin bisa saja melanjutkan permintaannya menjadi Pangeran Ali, dengan sejumlah permintaan lain yang duniawi-oriented: kekuasaan politik dan ketakterbatasan sumber daya ekonomi.
Dan Aladdin nyaris tergoda ke arah sana ketika dia ogah untuk mengakui ke-Aladdin-annya dan berusaha mengkonstruksi ke-Ali-annya. Jin butuh waktu untuk berdebat dan mengingatkan Aladdin, dan Aladdin butuh waktu sampai dia menaklukkan ilusi dan godaan tersebut demi menemukan kesejatian dirinya.
Sebagaimana kata Imam al-Ghazali, kita ini bukan tubuh kita, dan tidak selalu sesuai dengan narasi yang diembankan kepada kita. Kita adalah makhluk ruhani yang diuji dengan tubuh biologis dan sejumlah narasi yang tidak selalu kita setujui. Hanya, semua ujian itu dimaksudkan untuk melatih kita menemukan kesejatian.
Dan kesejatian itu Aladdin temukan ketika dia berhasil menemukan dirinya sendiri, menaklukkan egosentrisme dan nafsu pribadinya, dan bersedia mengorbankan semua peluang demi apa yang dia yakini sebagai Kebenaran. Aladdin, singkatnya, berhasil menemukan ‘Tuhan’ melalui kesadaran amanat yang mungkin harus dia tunaikan ketika takdir memilihnya berteman dengan sang jin. Itu sebabnya secara patriotik Aladdin membebaskan si jin.
Dan ketiga, ketika kita berhasil menaklukkan semua rintangan duniawi itu, kita dapat merasakan ketidakterbatasan kebahagiaan dan kekuatan. Persis seperti penari darwis di puncak trance dalam dzikirnya. Dan ketika demi kesejatian itu kita dikalahkan secara kasat mata, rezeki dan pertolongan Allah datang tak terbatas min haitsu laa yahtasib.
Dan ketika datang pertolongan Allah, datang kemenangan—walau tidak selalu harus sesuai dengan apa yang manusia definisikan sebagai pertolongan dan kemenangan. Bagi saya, kemenangan Aladdin adalah ketika dia berhasil menemukan ke-Aladdin-annya. Pernikahannya dengan Jasmine hanya bonus, hanya ujian, hanya jalan bagi ke-Aladdin-an itu termanifestasi menjadi kebaikan bagi umat yang banyak.
Wallahu a’lam.