Rabi’ bin Khaitsam adalah salah seorang tabi’in. Ia merupakan murid dari Abdullah bin Mas’ud. Sejak kecil ia sudah sudah sangat dikenal sebagai orang yang tekun ibadah. Namanya banyak ditulis dalam lembaran sejarah Islam. Rabi’ senantiasa melewati malamnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau adalah orang yang sangat khusyuk dalam shalatnya.
Menurut Imam al-Ghazali dalam Asrarus Shalah wa Muhimmatuha, sifat Rabi’ dalam shalatnya ini terbawa ke dalam hidupnya sehari-hari. Kekhusyuan ini telah membawanya pada kesadaran hidup bahwa segala gerak gerik manusia dan makhluk lainnya diawasi oleh Allah SWT. Kekhusyuan pula telah menyadarkannya akan kekurangan diri dan menyadari secara utuh akan keagungan Allah SWT.
Oleh karena senantiasa melihat ke-Maha-Besaran Tuhannya, Rabi’ tidak pernah menengadahkan kepalanya ke atas langit karena rasa malu dan kerendahan dirinya di hadapan sang penciptanya.
Karena selalu menundukkan kepala dan menahan pandangannya, suatu hari Rabi’ disangka buta oleh sebagian orang.
Rabi’ belajar kepada Abdullah bin Mas’ud selama dua puluh tahun. Suatu hari, ketika itu Rabi’ datang ke rumah Abdullah bin Mas’ud, setelah mengucapkan salam, pembantu rumah Abdullah bin Mas’ud membukakan pintunya.
Rupanya pembantu tersebut belum lama tinggal di rumah Abdullah bin Mas’ud sehingga ia tidak mengenal Rabi’ secara baik. Ketika Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada pembantunya siapa yang datang, ia menjawab bahwa sahabat anda yang tunanetra itu datang kembali.
Atas sifat yang dimiliki oleh Rabi’ ini, setiap kali Abdullah bin Mas’ud berjumpa dengannya, ia selalu membaca “Wabasyyiril Muhbitin“, yang berarti “dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk karena patuh” (QS 22:34). Tidak jarang pula Abdullah bin Mas’ud mengomentari sifat Rabi’ ini dengan mengatakan, “sungguh, seandainya Rasulullah SAW melihatmu, beliau pasti akan menyukaimu“.
Rasa khauf (rasa katakutan) akan pedih dan ngerinya Neraka, serta ganasnya siksaan Allah SWT benar-benar terpatri dalam jiwa Rabi’ yang khusyuk. Pernah suatu hari beliau bersama gurunya Abdullah bin Mas’ud berjalan-jalan dan melewati sebuah tempat tukang pandai besi. Melihat api yang berkobar yang sangat kuat disertai dengan gemuruh suara percikan besi dan gemertak batu bata tubuh Rabi’ tiba-tiba menggigil dan seketika pingsan. Beliau pingsan hampir 24 jam lamanya.
Melihat kenyataan tersebut Abdullah bin Mas’ud berkata, “inilah apa yang disebut dengan pengalaman khauf (rasa benar-benar takut akan pedihnya siksaan Allah SWT)”.
Saat usia senja meskipun Rabi’ sudah kondisi sakit dan tidak kuat berjalan beliau terus istiqamah pergi salat berjamaah di masjid. Suatu ketika Rabi’ ditanya oleh salah seorang yang memapahnya pergi ke masjid, “kenapa anda masih berjamaah di masjid, bukankah dalam kondisi seperti anda ini ada keringan?”.
Mendapat pertanyaan demikian, Rabi’ menjawab, “bukankah kita dipanggil untuk menuju kemenangan, (Hayya ‘alal Falah) kita akan mendatanginya bahkan dengan merangkak sekalipun.”
Mendengar jawaban Rabi’ orang tersebut tidak bertanya-tanya lagi kepadanya. Orang tersebut terharu dan kagum kepada Rabi’ atas semangat ibadahnya yang tidak pernah pudar, bahkan semakin kuat walaupun usianya sudah senja.
Tidak hanya ahli ibadah, Rabi juga dikenal sebagai salah seorang yang paling zuhud di masanya. Beliau orang Arab asli yang nasabnya bertemu dengan baginda Nabi Muhammad SAW pada kakeknya, yaitu Ilyas dan Mudhar.
Wallahu a’lam.