Siapa Abdurrahman bin Muljam?
Dia hidup pada masa jahiliyah, kemudian masuk Islam melalui Muadz bin Jabal dan tumbuh menjadi sosok yang alim lagi saleh. Ia disebutkan hafal al-Qur’an, ahli ilmu-ilmu al-Qur’an dan hukum Islam. Di era kekahlifahan Umar bin Khattab, Amr bin Ash di Mesir meminta kepada Khalifah Umar untuk mengirimkan guru al-Qur’an, dan Khalifah Umar mengutus Abdurrahman bin Muljam ini. Tentulah Khalifah Umar tidak sembarangan dalam memilih sosok ahli al-Qur’an yang diutusnya.
Pasca penumpasan kaum Khawarij di Nahrawan, sejumlah sanak kerabat kaum Khawarij berkumpul di Bani Rabab, Kufah, Irak. Di antaranya ada Abdurrahman bin Muljam. Hadir di antara mereka pula seorang perempuan yang cantik rupawan, namanya Qitham binti al-Syajnah. Ayah dan saudaranya ikut terbunuh di Nahrawan oleh pasukan Sayyidina Ali. Qitham ini telah memisahkan diri dari jamaah muslim umumnya dan tidak lagi beribadah di masjid jami’ karena mengikuti ajaran Khawarij.
Abdurrahman bin Muljam terpikat oleh kecantikan Qitham. Ia pun segera meminang perempuan cantik itu, tetapi Qitham memberinya tiga syarat, yakni uang sebanyak tiga ribu dirham, seorang budak, dan darah Sayyidina Ali. Serentak Abdurrahman bin Muljam berkata kepada Qitham, “Ia milikmu. Demi Allah Swt, tujuan pertamaku datang ke negeri ini memang untuk membunuh Ali bin Abi Thalib.” Keduanya lalu menikah.
Sungguh ada banyak hikmah dari tragedi Khawarij ini, yang telah memporak-porandakan persatuan ukhuwah umat Islam, sampai menumbalkan sosok sahabat terkemuka yang amat dicintai oleh Kanjeng Nabi Saw dan dijaminnya termasuk dalam ahli surga –dan pembunuhnya disebut oleh Kanjeng Nabi Saw sebagai “Orang yang melakukannya adalah orang yang paling hina. Ia sama hinanya dengan orang yang membunuh unta (Nabi Saleh As) di antara kaum Tsamud.”
Hikmah-hikmah itu tentunya penting kita jadikan i’tibar, pengeling, pada konteks hidup kita hari ini yang notabene makin majemuk –dan inilah manfaat terbesar kita membaca dan mengkaji sejarah, yakni bisa kulakan nilai-nilai historisnya secara kontekstual kepada kehidupan masa kini.
Pertama, marwah agama melesat dari dalam dada (hati) secepat anak panah lepas dari busurnya.
Amat mungkin kita sejatinya sedang terkecoh sesuatu, tetapi kita tak menyadarinya, bahkan kuat mendekap dan mengumbulkannya sebagai ungkapan keimanan, ketakwaan, dan keluhungan perbuatan. Kita menyangka sedang membela, memuliakan, dan memperjuangkan agama Allah Swt dan sunnah Kanjeng Rasul Saw, tetapi sejatinya kita justru sedang menodai dan bahkan menginjak-injaknya.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Mari eling selalu betapa keimanan yang berakar di hati semata meniscayakan negasi-diri (fana), bukan hawa nafsu, di hadapan Kemahaan Allah Swt. Ejawantahnya kemudian adalah semata ketundukan, kepatuhan, kepada Allah Swt dan RasulNya Saw. Ejawantah inilah yang disebut ketakwaan, kesalehan.
Allah Swt dan RasulNya Saw menetapkan ajaran-ajaran hidup, rohaniah dan batiniah, kepada kita. Itulah syariat. Sifat syariat adalah semata dar-ul mafasid (mencegah kerusakan) dan jalbul mashalih (menarik kemaslahatan). Mau bagaimanapun kita memahami dan bertaklid perihal suatu laku syariat, misal jual-beli yang syar’i, sifatnya haruslah beraras dengan dua hal pokok itu. Begitulah keterangan semua ulama Ushul Fiqh sejak era Imam Syafii, Imam Ghazali, Imam Syatibi, Ibnu ‘Asyur, dan terus ke sini seperti Prof. Wahbah Zuhaili dan Prof. Quraish Shihab.
Sifat maslahat syariat sebagai landasan kita berperilaku nyata dalam ragam aspek kehidupan ini selaras dengan begitu banyak ayat al-Qur’an, misal mulai dari sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sifat mukmin yang wuddan (welas asih) dan rendah hati (haunan), dan sebagainya, yang berdampingan secara simbiotis-holistik dengan banjaran laranganNya untuk berbuat kerusakan, kezaliman, dan kemungkaran.
Kita bersepakat bahwa, misal, ibadah terbesar adalah shalat (amal yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika bagus shalatnya maka baguslah seluruh amalnya dan jika buruk shalatnya maka buruklah semua amalnya; shalat adalah tiang agama, dll.). Al-Qur’an telah menegaskan dalam surat Al-Ankabut 45: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari al-Qur’an dan jalankanlah shalat, sesungguhnya shalat akan mencegah dari kekejian dan kemungkaran, dan sungguh mengingat Allah Swt (shalat itu) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah lainnya). Dan Allah Swt mengetahui apa yang kamu lakukan.”
Jika seseorang telah istiqamah menjalankan shalat, bahkan diriasi dengan ragam kesunnahannya, tentulah itu amal saleh ketakwaan. Akan tetapi, seyogianya pula menjadi refleksi mendalam bila amaliah shalat tersebut belum kokoh mapan menjadi rem rohani baginya yang memeliharanya dari perilaku-perilaku keji dan mungkar, sebutlah dusta, serakah, menghalalkan segala cara, yang merupakan buah hikmah hakiki dari amaliah shalat. Keterbalikan kondisi ini mestilah segera dijadikan muhasabah intensif bagi diri akan kemungkinan berjaraknya, belum sublimnya, antara amal lahiriah dengan amal rohaniahnya. Sungguh tamsil ini penting untuk diresapi dengan kejernihan akal rohani dan akal rasional, karena jelas saja mustahil al-Qur’an luput dari ke-tsiqah-an keterangannya.
Bagaimana mungkin seorang ahli shalat ternyata juga berani melakukan korupsi, illegal logging, monopoli dagang, perampasan hak rakyat dan adat, serakah kekuasaan, membangun dinasti politik, penguasaan lahan yang melampaui batas, mengerek fitnah, propoganda mencetak chaos untuk tujuan kekuasaan politik dan ekonomi, dan sebagainya, yang jelas-jelas perilaku mafsadah (merusak) begitu berjempalitan di hadapan tujuan pokok syariatNya (dar-ul mafasid (mencegah kerusakan) dan jalbul mashalih (menarik kemaslahatan)?
Tak masuk akal! Bagaimana mungkin ayat yang haq bersatu dengan kekejian dan kemungkaran dalam diri ini? Mengapa itu terus saja terjadi –mari takikkan pada diri sendiri saja agar runduk bermuhasabah, bukannya ngejudge liyan?
Sungguh dikhawatirkan, diam-diam, tanpa kita sadari, tatkala kita menyangka diri telah ahli shalat, sejatinya kita sekadar bagian dari kengerian kondisi rohani “marwah agama melesat dari dalam dada (hati) secepat anak panah lepas dari busurnya”.
Semoga kita semua dihidayahiNya, ditaufikiNya, menuju rohani agama yang benar-benar diridhaiNya dan maslahat. Amin.
Kedua, membaca (mengaji) al-Qur’an sampai tenggorokan.
Tak kurang-kurangnya Sayyidina Ali digerujuk dengan ayat-ayat al-Qur’an oleh kaum Khawarij tetapi dengan dan tujuan menjatuhkan, merendahkan, menghina, menista, dan bahkan mengkafirkan.
Mengapa al-Qur’an justru menjadi senjata pengesah kebencian dan propaganda begitu rupa?
Saya ingat surat al-Mu’minun ayat 71: “Dan jika sesuatu yang haq telah mengikuti (dikuasai) hawa nafsu, maka sungguh akan rusaklah langit dan bumi beserta siapa pun yang ada di antaranya.”
Al-Qur’an adalah kalamuLlah yang haq, mutlak. Di tangan kaum Khawarij –bahkan yang memilukan pada sosok yang hapal dan ahli al-Qur’an seperti Abdurrahman bin Muljam—ke-haq-an al-Qur’an dijadikan tashih pelesak dan penumbuk perpecah-belahan umat Islam yang berujung pada pembunuhan Sayyidina Ali.
Jika merujuk kepada Al-Mu’minun 71 tadi, jika bukan hawa nafsu yang menyebabkannya, apa lagi gerangan? Ya, hawa nafsu. Dan hawa nafsu memang selalu menyeru kepada perbuatan buruk dan merusak (surat Yusuf 53). Apa yang dilakukan kaum Khawarij jelas-jelas kebatilan yang buruk merusak. Lihat inti kasusnya saja dengan merujuk kepada esensi syariat tadi; yang terjadi hanyalah kebalikan dari dar-ul mafasid wa jalbul mashalih.
Amatlah mungkin kita pun terperosok kepada kondisi-kondisi begitu rupa dalam melakoni kehidupan yang majemuk ini. Seolah-olah kita sedang merujuk dan mengikuti al-Qur’an yang kita baca, tetapi diperjalankan dengan cara merusak akibat deraan hawa nafsu itu. Sungguh mengerikan jika situasi demikian tak kita sadari, malah bahkan menyebutnya membela kebenaran dan keluhungan al-Qur’an.
Bisa jadi pemicu lainnya adalah kurangnya ilmu kita di hadapan samudra al-Qur’an atau kurang rendah hatinya kita kepada keagungan dan kemukjizatan al-Qur’an. Membaca al-Qur’an tentulah kebaikan dan kemuliaan; tetapi memahami dan memperjalankan pemahaman-pemahaman kepada al-Qur’an dengan airf dan bijaksana dalam kehidupan keseharian jauh lebih utama dan hakiki. Setiap langkah kita yang merujuk dan mengatasnamakan al-Qur’an sewajibnya senantiasa selaras dengan sifat syariat yang dar-ul mafasid wa jalbul mashalih itu. Tidak mungkin kebalikannya. Mesti senantiasa dieling karenanya, segala pemikiran dan perbuatan yang tidak demikian, itu niscaya sama sekali bukanlah maksud, makna, dan ajaran al-Qur’an; itu amat mungkin semata akibat perturutan hawa nafsu yang membutakan mata hati dan mata pikiran hingga membenarkan hal-hal yang mafsadah.
Satu lagi yang ingin saya tekankan di sini.
Bahwa al-Qur’an adalah kalamuLlah yang haq, shalih likulli zaman wa makan. Seluas apa pun ilmu kita dalam memahami dan menakwil al-Qur’an, hendaknya bersendikan selalu kepada keimanan dan ketawadhu’an mendalam kepadanya. Jangan pernah dibalik! Narasi-narasi dan takikan-takikan ilmu kita “menyeret-nyeret” ayat-ayat al-Qur’an untuk membenar-benarkan, mengukuh-ngukuhkan, apa-apa yang kita pikirkan dan inginkan. Jangan begitu. Itu namanya menomorduakan al-Qur’an, berikutnya menunggangi al-Qur’an, berikutnya mengakal-akali al-Qur’an. Kiranya, di titik inilah kesahihan nasihat Imam Ja’far ash-Shaqid itu terletak: “Janganlah engkau mengakal-akali agama Allah Swt (termasuk ayat-ayat al-Qur’an) dengan akalmu.” Maksudnya, akal yang mengakal-akali, bukan akal yang diperjalankan dengan ketulusan.
Mengertilah dengan tulus dan rendah hati selalu betapa kesejatian luas dan dalamnya makna-makna al-Qur’an serta arah-arah yang ditujunya semata Allah Swt lah yang haq mengetahuinya, adapun kita dengan menggunakan perangkat keilmuan yang mapan pun tetaplah hanya manusia yang nisbi fana beserta kenisbian kefanaan pemahaman takwilnya. Wama utitum minal ‘ilmu illa qalilan, dan Aku tidak mengaruniakan ilmu kepada kalian kecuali sedikit; Wama ya’lamu ta’wilahu illaLlah, dan tidak ada yang tahu takwil al-Qur’an kecuali llah Swt; WaLlahu ya’lamu wa antum la ta’lamun, dan Allah Swt yang mengetahui dan kalian tidak mengetahui.
Sikap tawadhu’ kita pada ranah rohani demikian tiada lain adalah ungkapan tulus waLlahu a’lam bish shawab, Allah Swt lah yang lebih tahu kebenarannya. Sikap rohani begini akan menolong kita untuk bisa duduk dengan rendah hati selalu di hadapan Kemahaan Allah Swt serta kalam haq itu (al-Qur’an), memandang selalu al-Qur’an sebagai samudra mukjizatNya yang bukan hanya terjadi pada masa penurunannya dulu melainkan hingga saat ini dan akhir kehidupan kelak, dan karenanya amatlah terbuka luas bagi Kemahakuasaan Allah Swt untuk mengaruniakan ilmu, petunjuk, dan pemahaman pada kita melalui usaha pengkajian dan penyelaman al-Qur’an. Walhasil, nalar rasional kita dalam membaca dan mengkaji al-Qur’an telah serta merta sejak awal dibingkai oleh ketundukan dan ketwadhu’an kepadaNya, kesucian al-Qur’an –bukan selain-lainnya seperti tashih kepentingan politik dan ekonomi dan seabrek ambisi hawa nafsu lainnya.
Saya akan contohkan satu hal yang (maafkan) barangkali agak sensitif di sini. Saya hanya ingin memaksudkannya sebagai pelengkap tamsil bagi sikap rohani semata tunduk tawadhu’ tadi.
Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3 merupakan ayat yang “cenderung ditolak” oleh sebagian muslimah. Ayat itu tentang “kebolehan” bagi lelaki muslim untuk menikah lebih dari satu dengan ketentuan harus adil. Ya, sebutan umumnya, ayat poligami.
Jangankan kaum perempuan milenial yang karib dengan Instagram atau instastory atau selfie kini, bahkan Sayyidah Aisyah Ra pernah memperlihatkan “kecemburuan” tatkala Kanjeng Rasul Saw sedang bersama istri yang lain. Pada titik tersebut, ia dapat dipahami sebagai ekspresi alamiah jiwa perempuan. Begitupun keterangan populer bahwa Kanjeng Nabi Saw memperlihatkan rasa kurang suka bila putri kinasihnya, Sayyidah Fathimah Ra, sampai dipoligami oleh Sayyidina Ali dan kemudian dibatalkan oleh Sayyidina Ali. Keterangan-keterangan lainnya, yang sejenis, sangat bisa dinukil lebih luas lagi –termasuk ungkapan populer bahwa syarat adil mustahil bisa dijalankan suami kepada istri-istrinya, sehingga adanya kemustahilan memenuhi syarat adil tersebut berkonsekuensi kemustahilan untuk menjalankan poligami.
Saya ingin membuat analogi dengan keterangan al-Qur’an terhadap sifat hidup kaum mukmin, yakni “la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun, tidak ada rasa takut dan sedih dalam hidupnya”.
Kita mengatakan dengan mantap bahwa sifat hidup mukmin tersebut adalah benar, mutlak, tetapi betapa acapnya kita yang beriman ini terseret pada kondisi sedih, takut, kecewa, marah, benci, dan sejenisnya, yang jelas-jelas tidak singkron dengan “la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun, tidak ada rasa takut dan sedih dalam hidupnya” itu. Bagaimana ini? Tentulah, kita mafhum bahwa manusia (kita semua) adalah tempatnya salah dan alpa. Tatkala kita didera hal begitu, di hadapan suatu peristiwa, memburailah rasa sedih dan takut –termasuk sedih dan takut yang pada hakikinya adalah kebenaran, misal, sedih atas dosa di masa lalu ataupun takut kepada kualitas keimanan diri di masa depan. Sifat cenderung salah dan alpa tersebut dapat kita dudukkan sebagai kealamiahan khas manusia yang bukan malaikat. Yang lantas sangat pokok pada konteks ini ialah jangan sampai kita berlarut-larut didera rasa takut dan sedih itu, dan tak belajar atas keluputan, kesalahan, dan kelalaian di masa lalu demi menuju kualitas diri yang lebih baik di masa depan. Begitulah ajaran al-Qur’an surat Al-Hashr 18.
Adanya rasa cemburu sebagaimana yang pernah diperlihatkan Sayyidah Aisyah kiranya dapatlah kita pahami pada konteks kealamamiahan tersebut. Terbukti, sikap cemburu tersebut tidaklah lantas membuat beliau terjerembab dalam keberlarutan, apalagi sampai berperilaku buruk, apalagi merusak. Sama sekali tidak.
Saya ingin menggarisbawahi di titik ini bahwa silakan saja Anda tidak sanggup untuk melihat suami Anda berpoligami, karenanya Anda pun menolaknya. Itu dapat dipahami dalam konteks kealamiahan sejenis tadi. Silakan saja Anda menguraikan kajian dan pendekatan metodologisnya seluas apa pun, kemudian menarik kesimpulan tidak berkenan kepad apraktik poligami. Monggo.
Akan tetapi, yang semestinya selalu hadir paling awal dan utama di relung hati keimanan kita di hadapan al-Qur’an adalah (1) Al-Qur’an adalah kalamuLlah yang haq mutlak, (2) seluruh penakwilan dan penafsiran terhadap ayat tersebut (mau yang berarah ke mana saja) janganlah pernah diunggulkan kedudukannya di hadapan bunyi sharih tektual ayat. Sungguh dikhawatirkan sikap begitu akan menjadikan kita merasa ngungkuli, lebih unggul, daripada bunyi ayat itu sendiri –yang berikutnya dapat disebut melampaukan otoritas diri di atas otoritas ayat Allah Swt, (3) nilai-nilai maslahat (jangka pendek, jangka panjang) hendaklah selalu dikedepankan dalam menjalankan ke-haq-an agar yang haq tetap menjadi haq, tidak terkeruhkan oleh hal-hal batil, seperti ketidakadilan dan ontran-ontran rumah tangga, agar senantiasa selaras dengan sifat pokok syariat yang dar-ul mafasid wa jalbul mashalih, dan (4) semata selalu memandang Allah Swt lah sebagai Yang Maha Mengetahui kebenaran makna dan maksud serta arah ayat tersebut secara mutlak.
Sekali lagi, saya tegaskan agar tak salah paham nggih, poin pokok yang saya tekankan pada tamsil ini adalah “jangan pernah merasa diri lebih unggul, ngungkuli, daripada bunyi ayat itu sendiri, sebab sungguh dengan cara dan bahasa demikianlah ayat-ayat al-Qur’an (termasuk surat an-Nisa’ ayat 3 tadi) telah diturunkan, dipahami, diajarkan, dan diamalkan oleh Kanjeng Nabi Saw dan para sahabat serta ulama mulia terdahulu, apalagi sampai menegasinya”. Na’udzubiLlah min dzalik. Jangan sekali-kali memungkiri, menampik, menolak, menegasi keberadaan ayat-ayat al-Qur’an, apa pun itu, baik yang telah bisa kita pahami dengan jernih atau belum, atau yang sama sekali belum bisa kita pahami, bahkan termasuk yang sudah bisa kita amalkan atau belum.
Kita semua, para muslim, yang hidup di Indonesia ini mau bilang apa di hadapan kebenaran mutlak surat Al-Maidah ayat 38 ini: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (lelaki dan perempuan) (sebagai) pembalasan atas apa yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah Swt. Dan Allah Swt Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.”? Kita tidak bisa menjalakannya dikarenakan sistem hukum di sini tidak memilih pola begitu. Soal keterangan-ketarangan tafsir amatlah mungkin untuk diejawantah secara ilmiah begitu rupa. Misal, keterangan Abdullah Saeed –penerus tradisi metodologis Fazlur Rahman—bahwa hukuman penjara telah merepresentasikan maksud “potong tangan” dalam ayat tersebut. Silakan saja. Itu bisa kita terima dan jalankan. Tetapi, bukankah tiada kepantasan bagi rohani mukmin untuk tidak selalu kokoh meyakini dan membenarkan otoritas mutlak ke-haq-an ayat yang sangat sharih berbunyi “potonglah tangan pencuri lelaki dan perempuan” itu, ya?
Begitulah poin saya. WaLlahu a’lam bish shawab.
Ketiga, ahli ilmu yang luar biasa.
Abdurrahman bin Muljam adalah figur ahli ilmu, pula ahli ibadah. Dipilih dan dikirimnya dia oleh Khalifah Umar bin Khattab ke Mesir untuk memenuhi permintaan Amr bin ‘Ash telah membuktikan kualitasnya. Sayangnya, sejarah hidupnya kemudian berujung ironis, tidak senapas dengan kesemestian seorang ahli ilmu dan ahli ibadah.
Perjumpaan rahasia Abdurrahman bin Muljam dan sejumlah sanak kerabat Khawarij di Bani Rabab yang ditumpas di Nahrawan –serta kepincutnya ia kepada pesona ayu Qitham binti al-Syajnah—telah membutakan mata ilmu dan amalnya selama ini. Apa lagi jika itu tidak disebut bajakan hawa nafsu dan bujuk rayu setan, dengan dampak-dampak yang amat merusak? Itulah yang terjadi.
Ini penting untuk kita jadikan i’tibar bahwa keluasan dan kedalaman ilmu, pula kejumenengan peribadatan kita, sama sekali bukanlah jaminan bagi husnul khatimahnya kita semua. Padahal, itulah ujung perjalanan hidup di dunia ini yang kita semua mohonkan selalu kepada Allah Swt. Betapa malangnya jika sampai berakhir tidak dengan husnul khatimah akibat mata hati dan mata pikiran tersumpal oleh bajakan hawa nafsu dan bujuk rayu setan.
Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Ghazali mengutip hadis-hadis yang penting untuk kita refleksikan dalam konteks i’tibar ini.
Kanjeng Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah baginya hidayahNya, maka tidaklah bertambah apa-apa baginya kecuali bertambah jauh dari Allah Swt.”
Kanjeng Rasulullah Saw bersabda: “Aku mengkhawatirkan kalian dari Dajjal yang bukan Dajjal sesungguhnya? Para sahabat bertanya: siapa itu, Wahai Rasulullah Saw? Beliau bersabda: ahli ilmu yang berperilaku buruk (ulama’ su’).”
Kanjeng Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya sepedih-pedihnya azab pada hari kiamat adalah ahli ilmu yang ilmunya tidak bermanfaat dengan tidak menjadikannya dekat kepada Allah Swt.”
Keempat, mengkafirkan liyan.
Ciri utama kaum Khawarij, ideologinya, adalah mengkafirkan semua muslim tanpa kecuali selain diri dan kelompoknya tentu saja. Para muslim di barisan Sayyidina Ali dikafirkan, begitupun para muslim di barisan Mu’awiyah. Tak berhenti hanya di ideologi takfir itu, mereka merangsak jemawa dengan mengatakan bahwa karena mereka telah murtad, kafir, maka halal darahnya serta harta kepemilikannya. Tak tanggung-tanggung! Tashihnya pun amatlah mengguncang: “La hukma illa liLlah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah Swt.” (QS. Al-Zukhruf 58).
Mari berhati-hati, mawas diri.
Perkara menetapkan status kafir ini sungguhlah amat berat, besar, dan pelik. Ia bukan hanya berkaitan dengan soal marwah seseorang, tetapi juga keluarganya, hartanya, dan anak turunnya, dan bahkan pula nasibnya kelak di akhirat. Ia benar-benar inheren di dalam otentisitas setiap manusia.
Saking berat, besar, dan peliknya perkara ini, tiada kepantasan bagi siapa pun, orang per orang ataupun kelompok per kelompok, untuk mengatakan dan menudingkan klaim tersebut kepada orang lain. Setiap tudingan begitu, pastilah yang amat nyata meletus segera adalah madharat-madharat, baik kepada pihak yang dituding maupun pihak yang menuding. Saking besar dan derasnya madharat yang seketika ruah bagai bah, seyogianya ia ditinggalkan. Ditinggalkan bukan dalam arti diniatkan untuk menampik adanya kata-kata kafir, kufur, tersebut dalam al-Qur’an maupun hadis Kanjeng Nabi Saw. Tidak. Tetapi agar kita lebih terjaga berselaras dengan spirit pokok syariat, yakni dar-ul mafasid wa jalbil mashalih.
Mari ingatlah pada hadis yang diriwayatkan Usamah bin Zaid yang membuatnya berguncang sampai mengatakan “Andai aku masuk Islam hari ini” akibat “dimarahi” berkali-kali oleh Kanjeng Nabi Saw karena tetap membunuh seseorang yang nyata-nyata musuh Islam yang saat terdesak tiba-tiba mengucapkan kalimat tauhid.
Hadis-hadis lain yang memperlihatkan perihal harus mawas dirinya siapa pun terhadap vonis kafir ini –saya membayangkan, saking tricky-nya hal ini, sebaiknya ia ditinggalkan saja—juga tersedia banyak. Di antaranya yang sangat terkenal: “Siapa yang menuding saudaranya kafir, maka tudingan itu akan menimpa salah satunya.” Dalam redaksi lain, berbunyi: “Siapa yang menuding saudaranya kafir, maka tudingan itu akan kembali kepadanya.”
Imam Ghazali menasihatkan: “Jika seseorang telah memiliki 99 hal yang melekatkannya dengan kekafiran, tetapi ada satu padanya yang memungkinkan bagi kemukminan, maka jangan kafirkan ia.”
Janganlah, ya, lebih baik jauhkanlah lisan dan jempol kita semua dari perkataan-perkataan berperkara besar, berat, dan pelik sejenis itu. Kiranya, itu lebih maslahat.
Semoga pembacaan panjang sejarah Khawarij ini menisbatkan manfaat-manfaat bagi kemaslahatan hidup kita di masa kini, baik sebagai individu mukmin maupun individu bagian dari masyarakat dan bangsa yang majemuk ini.
WaLlahu a’lam bish shawab. ShallaLlah ‘alaihi wa alihi wa ashhabihi ajma’in.