Belajar dari Sejarah Kelam Khawarij

Belajar dari Sejarah Kelam Khawarij

Kita bisa membayangkan betapa seolah “heroik-merasa-benar” sekali Abdurrahman bin Muljam tatkala menebaskan pedangnya ke tengkuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Belajar dari Sejarah Kelam Khawarij

Sayyidina Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib –berarti masih saudara sepupu sama Kanjeng Nabi Saw—mengajukan diri kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk “merayu” orang-orang Khawarij agar mau kembali ke barisan Sayyidina Ali.

Wajah mereka tampak kuyu dan pucat, bekas-bekas sujud tampak pada dahi dan jubah mereka, seakan-akan tangan mereka telah melakukan pekerjaan yang sangat berat. Pakain mereka tampak kasar dan murah. Demikian Sayyidina Abdullah bin Abbas menuturkan pertemuannya dengan perwakilan kaum Khawarij –sebagaimana dinukil Dr. Musthafa Murad.

Melihat kedatangan Sayyidina Abdullah bin Abbas, mereka berkata, “Apa maksud kedatanganmu, Wahai Ibnu Abbas? Dan apakah yang kau kenakan itu?”

Sayyidina Abdullah bin Abbas berkata, “Mengapa kalian mencelaku? Sungguh aku pernah melihat pakaian Rasulullah Saw tidak lebih baik dibanding kain Yamaniah.” Lalu beliau membacakan surat Al-A’raf 32: “Katakanlah, siapa yang mengharamkan perhiasan Allah Swt yang dikeluarkan bagi hamba-hambaNya dan kebaikan dari rezeki.

Lantas beliau melanjutkan, “Aku datang atas nama sahabat Rasulullah Saw. Tidak ada seorang pun di antara kalian yang seperti mereka. Aku datang atas nama putra paman Rasulullah Saw yang tentang mereka turun ayat-ayat al-Qur’an dan mereka adalah orang yang paling memahami takwil ayat-ayat al-Qur’an. Aku datang untuk menyampaikan pesan mereka kepada kalian dan jawaban kalian untuk mereka.”

Beliau kembali melanjutkan, “Apa yang kalian benci dan kalian tuntut dari Ali?”

Mereka menjawab, “Tiga perkara.”

“Apa saja?”

Pertama, Ali telah menjadikan beberapa orang sebagai hakim untuk menyelesaikan urusan agama Allah (maksudnya, tahkim antara Sayyidina Ali dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam perang Shiffin), padahal Allah Swt telah berfirman ‘Sesungguhnya hukum hanyalah milik Allah Swt.’ (QS. Az-Zukhruf 58). Kedua, Ali memerangi orang-orang namun ia tidak menawan dan tidak pula mengambil ghanimah (harta rampasan perang) dari mereka. Jika mereka yang diperangi itu kaum mukmin, berarti Ali adalah Amirul Kafirin. Jika mereka (yang diperangi) adalah kaum kafir, maka mereka halal diperangi, halal ditawan, dan harta mereka halal dirampas. Ketiga, Ali harus melengserkan diri dari jabatan Amirul Mu’minin karena ia tidak menggunakan gelar Amirul Mu’minin dalam perjanjian itu (tahkim), berarti ia adalah Amirul Kafirin.”

Sayyidina Abdullah bin Abbas berkata, “Seandainya saat ini kusampaikan dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw untuk menjawab tuntutan kalian, apakah kalian akan kembali ke jalan kami?”

Mereka tegas menjawab, “Tentu saja kami akan mengikuti jalan kalian.”

Beliau lalu menjelaskan, “Pertama, kalian mengatakan bahwa Ali telah menyimpang karena menyerahkan urusan agama Allah Swt kepada manusia (hakim dalam tahkim). Ketahuilah, sesungguhnya Allah Swt berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.…’ (QS. Al-Maidah 95). Allah Swt juga berfirman mengenai perselisihan suami istri: ‘…dan jika kalian mengkhawatirkan perselisihan di antara keduanya maka utuslah hakim dari keluarganya (perempuan) dan hakim dari keluarganya (lelaki).’ (QS. An-Nisa’ 35). Allah Swt melimpahkan urusan itu untuk diputuskan oleh manusia (hakim). Jadi, kuingatkan kalian kepada Allah Swt, bukankah kalian mengetahui bahwa hukum yang berkaitan dengan darah kaum beriman dan perdamaian di antara mereka merupakan perkara yang lebih agung dibanding hukum mengenai denda orang yang membunuh buruan dan persoalan rumah tangga?”

Mereka menjawab, “Tentu saja urusan itu lebih utama dan lebih besar.”

“Apakah kalian puas dengan jawabanku dan tidak lagi menuntut urusan yang pertama ini?”

“Benar, kami puas.”

Sayyidina Abdullah bin Abbas lalu melanjutkan, “Kedua, kalian berkata bahwa Ali berperang tetapi tidak mengambil tawanan dan ghanimah. Aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian akan menawan bunda kalian sendiri, Aisyah Ra, dan menjadikannya budak? Jika menurut kalian kita boleh menawannya dan menganggapnya halal seperti tawanan lainnya, berarti kalian telah kafir. Jika menurut kalian dia bukanlah bunda kami, berarti kalian telah kafir. Kalian sungguh berada di tengah-tengah antara dua kesesatan. Apakah keteranganku ini bisa kalian terima?”

“Iya, benar, kami menerima.”

Ketiga, kalian mengatakan bahwa Ali telah melepaskan kekahlifahannya karena tidak menuliskan jabatannya sebagai Amirul Mu’minin dalam perjanjiannya. Kini akan kukatakan sesuatu yang mesti kalian ridhai. Sesungguhnya Rasulullah Saw saat berdamai dengan Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin Amr dalam Perjanjian Hudaibiyah bersabda, ‘Tulislah, wahai Ali, inilah perjanjian yang disetujui oleh Muhammad Rasulullah.’ Abu Sufyan dan Suhail berkata, ‘Kami tidak mengakui bahwa Engkau adalah utusan Allah. Seandainya kami mengakui, tentulah kami tak perlu berperang denganmu.’ Rasulullah Saw lalu bersabda, ‘Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah utusanMu. Hapuslah tulisan tadi, wahai Ali, dan tulislah: inilah perjanjian yang disepakati oleh Muhammad bin Abdullah serta Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin Amr.’

Usai mendapat penjelasan jernih dan mantap dari Sayyidina Abdullah bin Abbas ini, dua ribu orang kembali ke barisan Sayyidina Ali –tetapi sebagian lainnya tetap di jalan Khawarij.

Maafkan saya telah menuliskan panjang sekali riwayat sejarah ini. Tetapi ini belum cukup. Saya akan tambahkan beberapa bagian lainnya, demi menjelentrehkan dengan seterang-terangnya.

Isyarat kemunculan kaum Khawarij ini, yang telah diramalkan oleh Rasulullah Saw sejak dulu kala (dalam riwayat Muslim), mulai menguar semenjak pihak Mu’awiyah mengajukan tahkim dengan menghentikan peperangan dan bersepakat berunding. Dari kubu Sayyidina Ali diwakili oleh sahabat terkemuka, Abu Musa Asy’ari Ra dan dari kubu Mu’awiyah diwakili Amr bin ‘Ash Ra. Ketika Al-Asy’ats bin Qais mengumukan hasil tahkim itu, Urwan bin Udzainah –salah satu pentolan Khawarij—berkata, “Mengapa kalian merundingkan urusan agama Allah Swt dengan orang-orang itu?” Inilah sumber jargon Khawarij yang amat terkenal itu: la hukma illa liLlah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah Swt. Dua belas ribu orang kemudian memisahkan diri dari pasukan Sayyidina Ali.

Propaganda dengan segala tudingan dan caci-maki bahwa Sayyidina Ali beserta orang-orang yang terlibat dalam tahkim itu telah kafir dan siapa pun yang berada di kedua barisan mereka (jadi, yang dikafirkan bukan hanya jamaah Sayyidina Ali, tetapi juga orang-orang di barisan Mu’awiyah, sehingga yang tidak mereka sebut kafir adalah barisan diri mereka sendiri) terus digencarkan tanpa henti. Mungkin dalam kahanan hari ini bisa disebut diviralkan oleh para buzzer.

Di daerah Nahwaran, mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Wahab al-Rasibi. Ia berkhutbah dengan berapi-api mengajak semua orang untuk zuhud serta menekankan kecintaan kepada surga dan akhirat, serta ber-amar ma’ruf nahi munkar. Kemudian, Zaid bin Hushn berkhutbah, menyeru mereka untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an: ‘Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di muka bumi maka hukumilah di antara manusia dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu hingga kamu tersesat sesesat-sesatnya dari jalan Allah Swt.’ (QS. Shad 26). Juga firman Allah Swt: ‘Dan siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah Swt, maka mereka adalah orang-orang kafir.’ (QS. Al-Maidah 44). Juga firmanNya: ‘Dan siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah Swt, maka mereka adalah orang-orang zalim.’ (QS. Al-Maidah 45). Dan firmanNya: ‘Dan siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah Swt, maka mereka adalah orang-orang fasik.’ (QS. Al-Maidah 47).

Usai mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang makin mengobarkan “rasa benar diri” begitu, Zaid bin Hushn meneruskan khutbahnya: “Lihatlah apa yang disampaikan para penyeru kalian dan para pemimpin kabilah kita! Lihatlah mereka telah mengikuti hawa nafsunya dan mengabaikan hukum Allah Swt. Mereka terus berkata dan bertindak sesuka hati mereka! Karena itu, semua orang yang beriman wajib melawan dan memerangi mereka!”

Sampai di ujung khutbah yang berkobar-kobar ini, saya (maaf kata) membayangkan para jamaah Khawarij itu memekik-mekik bergelegar meneriakkan takbir sembari mengepalkan tangan di atas kepala, menuding, meninju, dan menampar langit.

Seorang pemuka Khawarij lain bernama Abdullah bin Syajarah al-Silmi menjerit dan menangis keras, lalu berkata lantang: “Pukullah wajah dan jubah mereka dengan pedang sehingga mereka kembali mentaati Allah Yang Maha Pengasih. Jika kalian menang dan mentaati Allah Swt, maka kalian akan mendapatkan balasan sebagai orang yang taat kepadaNya dan melaksanakan perintahNya. Jika kalian gagal, maka jalan apakah yang lebih baik dibanding kembali kepada keridhaan Allah Swt dan surgaNya?!”

Imaji saya melesak lagi: takbir kembali bergemuruh bahana ke angkasa dengan kepalan-kepalan tangan ke langit dengan perasaan sedang membela agama Allah Swt.

Segala cacian dan hinaan kepada Sayyidina Ali terus berulang-ulang, bahkan tatkala beliau sedang berkhutbah Jumat.

Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan, tatkala suatu hari Sayyidina Ali sedang berkhutbah, seorang Khawarij bangkit dan berkata, “Wahai Ali, kau menyerahkan urusan agama Allah Swt kepada manusia, padahal tidak ada hukum kecuali hukum Allah Swt!”

Sayyidina Ali menjawab, “Perkataan itu sungguh benar tetapi dipergunakan dengan salah.”

Di lain khutbah, seorang Khawarij dengan gesture menghina Sayyidina Ali menutup telinganya dengan jari-jarinya dan berkata sendiri dengan mengutip surat Al-Zumar 65: “Dan telah diwahyukan kepadamu dan orang-orang sebelummu jika kau bersekutu maka amalmu akan sia-sia dan kau akan menjadi orang yang merugi.

Pembelotan kaum Khawarij yang semakin meluas menjadi-jadi ini sesungguhnya telah pernah diprediksikan Kanjeng Nabi Saw jauh sebelumnya, tetapi Sayyidina Ali tidak menyangka bahwa di masanya lah ramalan itu akan terjadi.

Beliau berkata, “Wahai manusia, sungguh aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Akan keluar dari umatku sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tidak seperti bacaan kalian, yang shalat tidak seperti shalat kalian, dan berpuasa tidak seperti puasa kalian. Mereka membaca al-Qur’an dan menyangka bahwa al-Qur’an itu untuk mereka dan al-Qur’an mendukung mereka.’ Jika kalian mendapati orang-orang yang tidak bersandar kepada ucapan Nabi mereka, janganlah berdiam diri. Tandanya adalah di antara mereka ada seorang lelaki yang tangannya buntung dan banyak ubannya. Mereka pergi kepada Mu’awiyah dan penduduk Syiria dan mereka bertentangan dengan kalian terkait dengan keluarga dan harta kalian. Aku benar-benar berharap bahwa mereka (kaum Khawarij) adalah kaum yang dimaksudkan oleh Nabi Saw. Mereka menumpahkan darah yang haram ditumpahkan dan bersemangat merusak persatuan. Karena itu, bergeraklah kalian atas nama Allah Swt….”

Beberapa waktu berselang, pasukan Sayyidina Ali berhasil menumpas kaum Khawarij ini. Sayyidina Ali berkata kepada pasukannya, “Carilah pembuat onar di antara mereka.” Maksudnya, “seorang lelaki yang tangannya buntung dan banyak ubannya”. Beliau ikut turun tangan mencari sosok dimaksud. Beberapa waktu selang, sosok tersebut diketemukan. “Maha Benar Allah Swt dan benarlah Rasulullah Saw,” ucap Sayyidina Ali.

Jauh sebelum peristiwa Khawarij yang luas ini terjadi, pasca perang Hunain yang dimenangkan umat Islam dengan perolehan ghanimah yang amat besar, tatkala Kanjeng Rasulullah Saw sedang membagi-bagikannya, seseorang bernama Abdullah bin Dzil Khuwaisirah yang ikut berperang berkata kepada beliau Saw: “Berbuat adillah, wahai Muhammad.” Maksudnya, berbuat adil dalam membagi ghanimah sebagaimana kebiasaannya selama ini.

Betapa terkejutnya Kanjeng Nabi Saw mendengar ucapan sengak tersebut. Beliau Saw bersabda, “Sungguh aku adalah utusan Allah Swt, paling takwa kepada Allah Swt di antara kalian.

Sayyidina Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang mengetahui kejadian tersebut berkata kepada Kanjeng Nabi Saw, “Ijinkan kubunuh dia, wahai Rasulullah….” Kanjeng Nabi Saw mencegah dan bersabda: “Jangan. Kelak dari golongannya akan lahir golongan yang shalat kalian tidak ada apa-apanya dibanding shalat mereka, puasa kalian tidak ada apa-apanya dibanding puasa mereka; mereka membaca al-Qur’an hanya sampai tenggorokan dan agamanya lepas dari dada mereka secepat anak panah melesat dari busurnya.

Lantas, kepada Sayyidina Ali, Rasulullah Saw meramalkan kejadian yang akan terjadi kelak (sebagaimana diterakan di atas), juga ramalan perihal kesyahidannya kelak. Kanjeng Rasul Saw bersabda kepada Sayyidina Ali dalam riwayat Al-Ajiri, “Engkau akan ditebas di sini –sambil menunjuk tengkuknya—dan darahmu akan membasahi janggutmu. Orang yang melakukannya adalah orang yang paling hina. Ia sama hinanya dengan orang yang membunuh unta (Nabi Saleh As) di antara kaum Tsamud.

Lantas, pada malam 17 Ramadhan, malam itu malam Jumat, Abdurrahman bin Amr, yang juga disebut Ibnu Muljam al-Hamiri alias Abdurrahman bin Muljam, bersama Syabib bin Najdah dan Wirdan Rabab, menjalankan misinya. Ketiganya bersembunyi di jalan yang biasa dilalui Sayyidina Ali ke masjid –kejadian ini terjadi di Kufah.

Sebagaimana biasa, Sayyidina Ali keluar rumah untuk shalat Subuh sembari membangunkan orang-orang di rumah-rumah yang dilaluinya, “Shalat, shalat, shalat….” Syabib bin Najdah yang pertama kali menebaskan pedangnya ke arah Sayyidina Ali hingga terjatuh, lalu disusul tebasan Abdurrahman bin Muljam ke tengkuk beliau, sehingga darah mengalir deras membasahi tengkuknya –seperti sabda Kanjeng Nabi Saw.

Abdurrahman bin Muljam berteriak kepada Sayyidina Ali, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah Swt, bukan milikmu atau sahabat-sahabatmu!” Lalu membacakan ayat: “Dan di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi mencari keridhaan Allah Swt dan Allah Swt Maha Lembut kepada hamba-hambaNya.” (QS. Al-Baqarah 207).

Kita bisa membayangkan betapa “heroik-merasa-benar” sekali Abdurrahman bin Muljam saat melakukan perbuatan itu. Kita bisa merasakan betapa dia amat menyangka sedang benar-benar membela marwah agama Allah Swt, keluhungan al-Qur’an, dan keagungan Kanjeng Nabi Saw tatkala menebaskan pedangnya ke tengkuk Sayyidina Ali. Ayat yang dibacanya itu diikrarkan dan ditujukan buat dirinya sendiri yang rela mati kemudian karena membunuh Sayyidina Ali sebagai “jalan tebusan demi mencari keridhaan Allah Swt dengan menjual jiwanya”.

Sungguh membuat bulu kuduk merinding!

Bersambung di sini