Bel Bunyi Asslamualaikum, Kesalehan Sosial di Pintu Rumah yang Aduhai

Bel Bunyi Asslamualaikum, Kesalehan Sosial di Pintu Rumah yang Aduhai

Bel Bunyi Asslamualaikum,  Kesalehan Sosial di Pintu Rumah yang Aduhai
Ilustrasi pemimpin perempuan (credit: Freepik)

Ada kalanya agama tak hanya soal spiritual, namun juga beririsan dengan ragam material. Dinamika antara agama dan dunia material bisa kita jumpai dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa hari lalu, saya mendapatkan kiriman foto dari Bandung Mawardi, penulis asal Solo. Foto tersebut berisi potongan surat pembaca di majalah populer di masa lalu, yakni Panji Masyarakat. Menariknya, surat pembaca di foto tersebut memuat tulisan seseorang yang mengulas soal “Bel Assalamualaikum.”

Penulis surat pembaca tersebut memberikan pendapatnya perihal “Bel Assalamualaikum” tersebut harus juga memperhatikan perkembangan model hunian masyarakat, terutama muslim. Sang penulis melihat bel rumah yang bersuara “Assalamualaikum” itu hanya bagian dari memperpanjang niat sang tamu belaka, yang dipengaruhi oleh model perumahan warga yang telah semakin besar dan privat. Sehingga, bel diperlukan sekedar pemberitahuan.

Sepertinya, surat pembaca ini sepertinya merespon perbincangan hukum terkait kata “Assalamualaikum” yang muncul lewat bantuan teknologi, bukan dari ucapan manusia. Respon di surat pembaca ini juga memperlihatkan bagaimana perbincangan hukum dalam Islam di ranah media telah terbuka sejak masa majalah, sebagai media massa.

Di sisi lain, ketika dering polyphonic diperkenalkan, rekaman azan di Masjidil Haram, Mekah, adalah salah satu nada paling populer di Banjarmasin, entah di daerah lain. Namun, polemik soal dering tersebut di kamar mandi atau toilet tak terhindarkan menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama.

Namun, di saat bersamaan, pemakaian nada dering tersebut juga dijadikan bagian dari tanda kesalehan di ruang publik, baik disadari atau tidak. Seorang pendakwah populis pun pernah mengusulkan dalam sebuah ceramahnya, sebaiknya masyarakat muslim menggunakan rekaman mengaji di dalam rumahnya.

Dari bel assalamualaikum, nada dering azan, hingga suara mengaji para Imam di Masjidil Haram dan Nabawi, tidak hanya soal tanda atau simbol kesalehan. Namun, di saat bersamaan, kesalehan dihadirkan lewat beragam barang atau benda-benda yang dipakai atau melekat pada diri seorang Muslim. Konsumsi atas barang-barang seperti ini biasanya juga disertai dengan penolakan atas dunia

 

Barang-barang seperti ini sering sekali memiliki resepsi yang berbeda-beda. Namun, semua material tersebut biasanya memiliki narasi yang serupa, yakni melawan konsumsi berlebihan  hingga kegelisahan atas ancaman kehidupan modern yang sekuler. Bahkan, kesalehan juga tak jarang dilekatkan di dalamnya.

Kondisi ini, menurut Carla Jones, merupakan bagian dari kebangkitan konsumsi yang saleh, yang muncul dari hasil dari hubungan kapitalis yang sudah lazim, di mana kapitalisme tidak pernah sekadar sistem ekonomi, melainkan berfungsi sebagai ekonomi berbasis agama dengan nilai-nilainya sendiri. Menariknya, kesalehan yang melekat dalam konsumsi tak lagi sekedar boleh-tidak atau halal-haram. Tapi, narasi agama juga melanggengkan konsumsi tersebut.

Sebagaimana didedahkan di atas, perubahan sosial turut mempengaruhi kemunculan model konsumsi tersebut. Carla Jones menyebut kegelisahan yang menandai ledakan gaya hidup Islam kontemporer di perkotaan Indonesia, sebagai alasan kemunculan konsumsi barang-barang tersebut.

Harga atau angka yang dihabiskan seseorang untuk mengonsumsi barang-barang tersebut tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Agama biasanya digunakan untuk mengaburkan angka-angka atau menumpulkan narasi konsumsi yang berlebihan di masyarakat Muslim.

Dengan kata lain, konsumsi religius yang disebut oleh Carla Jones tidak hanya mengubah kegelisahan konsumsi sekuler, namun juga memberikan ruang bagi individu dari kemungkinan kritik atas pelanggaran terhadap secara moral, penampilan dan substansi, kesia-siaan dan kebajikan.

Bel Assalamualaikum hingga suara ngaji yang dihadirkan lewat sound system yang mahal tidak lagi dipersoalkan uang yang dihabiskan, malah mendapatkan “legalitas” atas konsumsi.

Di luar dari persoalan konsumsi, sebagaimana disebutkan di atas, perubahan sosial juga turut mempengaruhi kehadiran konsumsi ini. Kehidupan masyarakat Muslim urban nan modern disebut di atas membuat konsumsi atas beragam barang tersebut menjadi tak terhindarkan. Di saat bersamaan, perubahan sosial tersebut tidak hanya soal formasi sosial namun juga diperlihatkan dari perubahan struktur rumah seperti kasus Bel Assalamualaikum.

Terlebih, perkembangan teknologi yang begitu cepat merupakan salah satu bagian paling progresif, yang turut mempengaruhi wajah Islam. Teknologi media juga hari ini juga memungkinkan untuk membatasi konten-konten eksklusif, yang diproduksi dan disebarkan hanya untuk mereka yang membayar.

Jika kita telisik lebih dalam, konsumsi atas materi bernarasi agama terus berkembang sangat massif dan cepat, bahkan juga dijumpai di ranah-ranah yang belum pernah ada atau terpikirkan sebelumnya. Artinya, uang yang dihabiskan tidak lagi bernilai seribu-dua ribu rupiah untuk mengunduh nada dering atau gambar latar Mekah-Madinah yang semakin mudah dan gratis pasca kehadiran Google, namun telah mencapai angka yang belum pernah terbayangkan.

Konsumsi-konsumsi berlebihan seperti hobi, liburan, atau jalan-jalan pun juga mulai bersentuhan dengan narasi serupa. Kesalehan tidak lagi hanya berbentuk materi, namun juga berbentuk kepuasan yang dihadirkan lewat jalan-jalan, hobi, hingga menginap di hotel-hotel terdekat dengan situs sakral. Inilah wajah keberislaman kita hari ini.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin