Kita mungkin sudah familiar dengan adagium ‘manusia adalah hewan yang berbicara’. Percaya atau tidak, secara biologis, manusia dengan simpanse memang nyaris identik. 98% kromosom manusia dan simpanse itu serupa. Bahkan jarak kromosom antara simpanse dan gorila jauh lebih banyak perbedaannya dibanding jarak antara simpanse dan manusia. Bisa dikatakan juga bahwa simpanse merupakan ‘kerabat’ kita yang paling dekat. Jadi secara biologis, kita itu tidak lebih hebat dari binatang.
Namun, tentu kita juga tidak lupa bahwa Allah telah mendeklarasikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dan mulia dalam al-Qur’an. Status ini tidak terlepas dari fungsi-fungsi manusia itu sendiri. Artinya, manusia bukan sekedar makhluk biologis, manusia juga makhluk sosial dan makhluk spiritual. Allah sudah membincang peranan manusia ini dalam kalamnya yang agung, al-Qur’an. Di dalamnya, al-Qur’an telah mengurai kapasitas manusia dengan tiga terminologi khusus, yaitu sebagai basyar, al-insan, dan an-nas.
Basyar: Manusia Sebagai Makhluk Biologis
Dalam al-Qur’an, kata basyar disebut sebanyak 35 kali yang merujuk pada manusia sebagai makhluk biologis. Konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia seperti makan, minum, kawin, berjalan-jalan, merasa bahagia, sedih, dan yang lainya. Ayat-ayat yang mengandung ayat ini misalnya QS. al-Kahfi:110; QS. Fushshilat:6; QS. al-Furqan: 7 dan 20; dan QS. Yusuf: 31.
25 tempat di antaranya merujuk pada sifat-sifat para Nabi dan Rasul sebagai manusia, yang menegaskan bahwa para Nabi memiliki gejala biologis dan sifat-sifat seperti manusia pada umumnya. Seperti misalnya, ketika al-Qur’an menegaskan status Nabi Muhammad dalam QS. al-Kahfi: 110;
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”.
Ayat itu merujuk pada status Rasulullah sebagai manusia yang juga merasakan kelaparan, mempunyai kodrat berketurunan, dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, berjalan ke pasar, dan membeli kebutuhan-kebutuhan pokok. Kata basyar yang mengindikasikan kegiatan seksual misalnya dirujuk dalam QS. Ali Imran: 7;
قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِى وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِى بَشَرٌ
Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun“
Al-Insan: Manusia Sebagai Makhluk Rohani
Kata al-Insan disebut di 65 tempat dalam al-Qur’an. Kata ini disinggung untuk merujuk pada konsep manusia secara utuh (insan kamil). Kata Insan ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah; kedua, insan dihubungkan dengan kecenderungan negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Namun pada intinya, semua konsep insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis dan spiritual.
Pada kategori pertama, manusia digambarkan sebagai wujud makhluk spiritual. Aspek spiritualitas inilah yang kemudian meninggikan derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul tugas keagamaan (taklif) dan amanah.
Oleh karena itu, di dalam al-Qur`an dikatakan bahwa insan adalah makhluk yang diberi ilmu (QS. al-Alaq: 4-5), makhluk yang diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan daya nalar (QS. al-Nazi`at :35, makhluk yang memikul amanah (QS. al-Ahzab:72), tanggung jawab (QS. al-Qiyamah: 3 dan 6); (QS. Qaf: 16), harus berbuat baik (QS. al-Ankabut: 8, amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan kerjanya (QS. al-Najm:39). Dengan pertimbangan spiritual itu maka kata insan juga menjadi istilah yang dipilih menjadi anti-tesis dari sifat-sifat negatif setan (Q.S. al-Isra: 53).
إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ كَانَ لِلْإِنسَٰنِ عَدُوًّا مُّبِينًا
‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.’
Dalam kategori kedua, insan dihubungkan dengan kecenderungan perilaku negatif manusia. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Manusia cenderung zalim dan kafir (QS. Ibrahim: 34), tergesa-gesa (QS. al-Isra: 67), bakhil (QS. al-Isra: 100), bodoh (QS. al-Ahzab: 72), dan rentan berbuat dosa (QS. al-‘Alaq: 6).
Apabila dihubungkan dengan kategori pertama sebagai makhluk spiritual, kata insan menjadi paradoks. Insan seolah sedang berjuang mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan rohani dan kecenderungan negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan dalam kategori yang ketiga yakni, insan dikaitkan dengan proses penciptaannya. Sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat dan sari pati tanah (QS. al-Hijr: 26, QS. al-Rahman: 14, QS. al-Mu’minu: 12, dan QS. al-Sajadah: 7).
Di sisi lain, kata basyar juga disebut al-Qur’an untuk merujuk asal penciptaan yang berasal dari tanah liat, tanah (QS. al-Hjir: 28, QS. Shad: 71, QS. al-Rum: 20), dan air (QS. al-Furqan: 54).
Artinya proses penciptaan manusia melibatkan dua aspek sekaligus, yaitu aspek materiil dan non-materiil. Dalam bahasa lain, proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis dua karakter sekaligus, yaitu basyari (material) dan insani (spiritual). Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan, tidak boleh mengurangi hak yang satu atau melebihkan hak yang lainnya.
An-Nas: Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Kata an-Nas menjadi kata yang paling sering disebut dalam al-Qur`an, yaitu sebanyak 240 kali. An-Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat kita lihat dalam tiga segi:
Pertama, banyak ayat yang merujuk pada berbagai kelompok sosial beserta masing-masing karakteristiknya. Ayat-ayat ini lazim berbunyi ‘wa minan nasi’ (dan di antara sebagian manusia). Dengan ungkapan tersebut, Al-Qur’an sedang mengidentifikasi masyarakat mana yang menyatakan beriman tetapi sebetulnya tidak beriman (QS. al-Baqarah: 8), yang menyekutukan Allah (QS. al-Baqarah: 165), dan yang hanya memikirkan dunia (QS. al-Baqarah: 200). Kategori ini juga merujuk pada sebagian manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah.
Kedua, dengan ungkapan aktsarun nas, al-Qur’an sedang memetakan masyarakat sesuai dengan kualitasnya. Bahwa sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu (QS. al-A’raf: 187, QS. Yusuf: 21, QS. al-Qashash: 68) maupun iman (QS. Hud: 17), tidak bersyukur (QS. al-Mukmin: 61). Di sisi lain, kata ini juga merujuk pada kelompok manusia yang bersyukur (QS. Saba: 13), yang selamat dari siksa Allah (QS.Hud: 116) dan yang tidak diperdaya setan (QS. al-Nisa: 83).
Ketiga, al-Qur`an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur`an bukan hanya dimaksudkan kepada
manusia secara individu, melainkan juga manusia secara sosial. Dalam kategori ini, an-Nas dihubungkan dengan sang petunjuk atau al-Kitab (QS. al-Hadid: 25).
…
Berdasarkan uraian di atas, manusia dalam konteks basyar berkaitan dengan unsur material. Ia sepadan dengan benda-benda angkasa, hewan atau tumbuhan. Dengan sendirinya, ia terikat pada kehendak dan kodrat dari Allah. Sedangkan manusia dalam pengertian insan dan nas, berkaitan dengan aturan Ilahi. Manusia dikenai aturan-aturan tetapi diberikan preferensi untuk tunduk atau melepaskan diri darinya.
Ia dengan sendirinya bersifat mukhayyar atau dapat menentukan pilihan. Dengan demikian, ada dua komponen yang membedakan hakekat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk mengembangkan iman dan potensi untuk mengembangkan ilmu.
Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut amal saleh. Iman dan amal adalah ukuran yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa ketiga unsur tersebutlah yang berperan menciptakan status manusia sebagai makhluk terbaik dan paling mulia. Namun saya membedakan antara makhluk paling mulia dan manusia paling mulia. Dalam hemat saya, jika manusia sudah berhasil memadukan antara elemen rohani, materi, dan sosial, maka ia baru layak disebut sebagai manusia yang paling mulia.