Santri Salafiyah yang bela mati-matian NKRI terkadang kena dampak stigma negatif kelompok Salafi dari masyarakat luas. Contohnya beberapa hari terakhir ini muncul video santri Salafiyah yang hendak berangkat mengikuti “pesantren pasaran Ramadhan” di tengah jalan dirazia oleh sekolompok polisi.
Sang santri diminta mengeluarkan isi kardus dan tas yang ditentengnya karena dikhawatirkan membawa bom atau bahan peledak. Setelah isi kardus dan ransel dikeluarkan semuanya nyatanya hanya didapati bawaan bekal mondok berupa pakaian dan kitab. Wajar saja sang santri tak terima dengan perlakuan para pelindung masyarakat itu.
Sebetulnya kejadian semacam ini bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun lalu saat menyeruak kasus terorisme yang melibatkan Doktor Azhari dan anak buahnya, polisi juga salah paham terhadap pesantren-pesantren yang mencantumkan ciri Salafiyah di papan nama pondok. Dikiranya Salafiyah itu sama dengan Salafi.
Oleh sebab itulah penting diketahui perbedaan mendasar antara santri pesantren Salafiyah dengan jamaah Islam Salafi.
Pertama, ciri komunitasnya. Santri pesantren Salafiyah umurnya di bawah 30 tahun dan tinggal sehari-hari di kampung-kampung tradisional dengan menempati bangunan sederhana, ada masjidnya, ngajinya menggunakan kitab kuning, di bawah bimbingan kiai. Mereka melebur dengan masyarakat di sekitarnya sebab tak jarang kebutuhan hidup mereka dibantu masyarakat di sekitar pesantren.
Sedangkan jemaah Islam Salafi hidup mengelompok bersama dengan jamaah lain yang usianya beragam (kecil, muda, tua) dalam waktu-waktu tertentu. Beda dengan santri salafiyah, jamaah Islam Salafi terlihat eksklusif karena hanya anggota mereka saja yang kumpul bergerombol menempati masjid dan musholla sebagai pusat aktivitas mereka. Dengan kata lain, mesjid atau musholla yang ditempatinya bukan berada di tengah pesantren.
Kedua, ciri atribut dan pakaiannya. Santri pesantren Salafiyah kesehariannya menggunakan sarung sekalipun terlihat agak cingkrang agar memudahkan gerak langkahnya. Di kepalanya terpasang peci hitam atau kopyah dengan motif warna-warni. Umumnya penutup kepalanya juga menutupi jidatnya (apalagi kalau ada tanda hitam di jidatnya). Sekalipun terbuka jidatnya akan tetapi tidak sampai membuka rambut di umbun-umbunnya. Kalaupun mukanya berjanggut dan berjenggot namun tetap memelihara kumis. Baju yang dikenakan sekalipun koko putih tapi bukan dari jenis gamis.
Jika mereka membawa bawaan biasanya menggunakan tas ransel, tas tenteng, bungkusan dari kain sarung segala rupa dan warna, maupun kardus. Mereka menggunakannya hanya pada saat berangkat atau pulang mondok.
Sedangkan jemaah Islam Salafi umumnya memakai celana cingkrang. Kalaupun memakai sarung di atas tumit maka motif warnanya putih polos bukan sarung berwarna-warni dengan motif batik. Penutup kepala mereka bukan jenis peci hitam melainkan kopyah putih polos dengan sedikit terangkat di atas rambut umbun-umbunnya. Wajah mereka selalu ada jenggotnya sekalipun hanya terdiri beberapa helai rambut. Mereka lebih menyukai pakian warna polos terang (khususnya putih) dengan model bajunya menyerupai gamis.
Kalau mereka menyangklong atau menenteng bawaan maka biasanya memakai tas dan bungkusan dari kain sorban atau kain sarung warna polos. Itulah yang membedakan pakaian dan atribut santri pesantren Salafiyah dengan jemaah Salafi.
Semoga tulisan ini bermanfaat agar tidak ada santri pesantren salafiyah yang menjadi “korban” kecurigaan dan kekhawatiran masyarakat terhadap pelaku terorisme.