Beberapa hari lalu, Rabu 25 Desember 2019, umat Kristiani telah merayakan hari besar Natal. Seperti tahun-tahun sebelumnya, khususnya di kalangan umat Islam, perdebatan hukum mengucapkan “Selamat Natal” senantiasa mengemuka. Ada sebagian pihak yang melarang, ada juga yang memperbolehkannya. Masing-masing memiliki dalil dan argumentasi. Pun pula memiliki tokoh ulama dan habaib rujukan masing-masing. Kita berharap, perbedaan ini tidak berujung pada tindak kekerasan dan baku hantam. Semoga masing-masing pihak bisa menahan diri. Perdebatan dan perbedaan adalah wajar adanya. Dengan catatan, masih dalam tataran adu dalil dan argumentasi. Bukan adu fisik yang berujung pada konflik.
Salah satu perdebatan hangat di atas muncul di laman media sosial. Dimulai dengan status Twitter Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pada hari Selasa, 24 Desember 2019. Dalam postinganya, PBNU mengunggah sebuah poster berisi ucapan “Selamat Natal kepada Kaum Kristiani”. Dari cuitan ini, sebagian warga net menilai bahwa ucapan selamat Natal tersebut telah menyalahi ajaran Islam, sedangkan sebagian lainya mendukung dengan alasan toleransi antar umat beragama.
Perlu kita sadari bahwa bangsa Indonesia lahir dari berbagai suku, agama, budaya, dan bahasa. Sudah menjadi kewajaran jika lantas terdapat ragam pendapat menyikapi perbedaan tersebut. Namun yang pasti, perbedaan harus tetap terbingkai dalam semangat persatuan dan kesatuan. Dalam artian, bagi sebagian masyarakat muslim yang meyakini bahwa mengucapkan selamat Natal adalah haram, maka tetap menghormati sebagian masyarakat muslim lainnya yang memperbolehkannya.
Demikian juga sebaliknya, bagi yang meyakini bahwa mengucapkan selamat Natal adalah boleh sebagai wujud toleransi dan harmoni, maka juga jangan mudah menyimpulkan bahwa saudara kita yang menghukumi ucapan selamat Natal adalah haram sebagai pihak yang intoleran. Mungkin masing-masing memiliki definisi dan batasan toleran dan intoleran sendiri. Jika bingkai ini digunakan bersama, kita yakin perdebatan yang ada akan berujung pada pendewasaan sikap beragama. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa religius akan semakin kuat dan kokoh. Khususnya dalam menghadapi keragaman pendapat.
Yang mesti menjadi perhatian bersama ialah, pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi agama, bukan berati mengakui kebenaran ajaran agama tersebut. Kita dapat meyakini kebenaran masing-masing, seraya menghormati keyakinan orang lain. Tanpa harus mencampuradukkannya. Sebagaimana tergambar dalam diri Sayidina Umar bin Khattab radhiallahu’anhu ketika membebaskan Yerussalem Palestina, pada 13 Ramadhan 15 H. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama masing-masing. Sayidina Umar tidak memaksa mereka memeluk Islam. Tidak pula menghalangi mereka untuk beribadah. Bagi non-muslim, jaminan keamanan diberikan dengan syarat mereka membayar pajak kepada pemerintah muslim.
Sekelumit kisah ini, mesti menjadi pelajaran bersama. Sudah sepatutnya generasi muda hidup dalam keharmonisan dalam bermasyarakat. Menjalin hubungan baik terhadap siapa saja, kendatipun berbeda agama. Karena dalam Islam telah diatur bagaimana seharusnya berhubungan dengan orang lain, baik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hubungan baik dan kerjasama ini, tentunya dalam batas-batas muamalah, bukan dalam akidah. Karena masing-masing agama pasti memiliki ajaran akidahnya masing-masing. Maka, tidak perlu dikaburkan ataupun dicampur adukan. Biarlah masing-masing meyakini akidahnya serta menjalankan ibadah, seraya tetap berupaya untuk hidup damai berdampingan. Tanpa saling ejek dan merendahkan.
Hal ini telah dipertegas dalam al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. al-An’am: 108).
Imam Ibnu Katsir (701-774 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad SAW dan umat Islam pada umumnya untuk menghina sesembahan agama lain. Tidak lain karena akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Yakni akan terjadi saling umpat dan saling hina antar penganut agama. Masing-masing tidak menerima sesembahannya dihina dan direndahkan.
Harmoni dalam beragama
Jika kita telisik sejarah kenabian secara baik dan utuh, hubungan harmoni antar umat beragama sebenarnya sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana tercermin dalam piagam Madinah. Dalam kehidupan berbangsa, banyak sekali inspirasi yang dapat kita gali dari perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. Ketika beliau hijrah dan menetap dari Mekkah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW mendapati masyarakat Yatsrib beragam suku, ras, dan agama. Sebagai seorang utusan terakhir, bukan berarti Nabi Muhammad saw lantas mendakwahkan Islam dengan paksaan dan kekerasan.
Dalam hal ini, Allah ta’ala berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah,maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)
Rasulullah dan masyarakat muslim berupaya menyampaikan kebenaran Islam dengan jalan damai dan mengutamakan akhlak mulia. Dari cara dakwah ini, terbukti tidak sedikit penduduk kota Madinah dengan sukarela dan sadar memeluk agama Islam. Meskipun benar, Rasulullah dan para sahabat pernah melakukan peperangan, akan tetapi perang tersebut dalam rangka melindungi keamanan bersama.
Menarik untuk dicatat, bahwa untuk menciptakan tata kelola masyarakat Madinah yang beragam di atas, Nabi Muhammad SAW mengajak seluruh elemen masyarakat untuk membentuk kesepakatan bersama. Kesepakatan ini lantas menjadi jaminan untuk hidup damai berdampingan. Meskipun dengan perbedaan suku, ras, agama, dan kepercayaan, penduduk Madinah mendapatkan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama. Kesepakan ini lantas dikenal dengan Piagam Madinah.
Piagam Madinah menjamin kebebasan menjalankan kepercayaan masing-masing suku. Perbedaan agama dan kepercayaan tidak mengurangi tanggung jawab dan kewajiban menjaga keamanan kota Madinah. Bahkan jika sewaktu-waktu ada ancaman dari luar, seluruh suku dan kelompok harus saling bersatu padu. Bekerja sama untuk memperjuangkan ketentraman kota Madinah.
Prinsip harmoni ini juga dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin muslim berikutnya. Sebagai misal, tergambar jelas pada zaman keemasan sejarah Islam, yang pernah diraih di Bagdad di bawah dinasti Abbasiyah. Zaman keemasan berlangsung sampai pada tahun 1258 M itu, ditandai dengan keterbukaan umat Islam bergaul dengan agama lain. Peradaban zaman keemasan itu benar-benar dirancang secara cerdas. Diawali dengan penerjemahan buku-buku filsafat dan sains yang berasal dari Yunani, Persia, India dan Cina. Khalifah al-Ma’mun mendirikan lembaga penerjemahan yang dikepalai oleh Hunain Ibn Ishaq, seorang Kristen yang profesional di bidang bahasa.
Merawat harmoni Indonesia
Sedari dulu, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multi etnis, suku, budaya, dan agama. Namun kesemuanya dapat hidup berdampingan. Jika ditelisik dari sejarah, keenam agama yang sekarang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah agama yang didakwahkan dari wilayah lain. Mulai dari Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Protestan, hingga Konghucu. Kesemuanya masuk, diterima, dan berkembang dianut oleh penduduk di Indonesia. Karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip utama. Meskipun berbeda, tetap satu jua. Satu bangsa dan negara Indonesia.
Adalah sebuah keniscayaan bagi masing-masing pemeluk agama meyakini dan mengamalkan agamanya masing-masing. Hal ini dijamin dan dilindungi oleh negara. Karenanya, setiap warga negara harus saling menghormati dan menerima keberadaan agama lain. Meskipun tanpa harus meyakini kebenaran ajarannya. Tidak dibenarkan juga jika masing-masing menyalahkan keyakinan agama lain. Cukup kita meyakini kebenaran agama masing-masing, seraya menghargai keyakinan agama orang lain.
Dengan demikian, perbedaan pendapat ucapan selamat Natal mesti dibingkai dalam kerangka ini. Yakni mewujudkan harmoni dan saling menghormati. Mari kita berbeda pendapat, tetapi tetap saling hormat menghormati. Mari kita meyakini kebenaran agama masing-masing, namun tetap menghormati keyakinan orang lain. Mari kita perkuat keimanan masing-masing, namun tetap bisa saling tegur sapa, hidup damai berdampingan. Berkerjasama dalam ranah sosial kemasyarakatan untuk merawat dan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Indah bukan?