Mengapa Bisa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Fikih?

Mengapa Bisa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Fikih?

Terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih salah satunya karena belum mengetahui hadis tentang suatu masalah tersebut.

Mengapa Bisa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Fikih?

Hidup di dalam masyarakat yang beraneka ragam akan memunculkan perbedaan di dalamya. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima dan disikapi dengan bijak. Syekh Ramadhan al-Buthi berkata terkait adanya perbedaan pendapat antara muslim dan non-muslim (dan mungkin kita bisa terapkan di kasus perbedaan-perbedaan yang lain):

ولكن وجود هذا الفرق لا يمنع من التعايش، (و) لا يمنع من التعاون

Artinya: Akan tetapi adanya perbedaan ini tidak menghalangi untuk hidup saling rukun, (dan) tidak menghalangi untuk saling tolong menolong.

Perbedaan juga terjadi di dalam fikih yang dipelajari oleh umat Islam, seperti perbedaan pendapat tentang kesunnahan qunut dalam shalat subuh, tidak menyebut kalimat basmalah ketika membaca surat al-Fatihah di dalam shalat, dsb. Banyak hal yang mempengaruhi terjadinya perbedaan di dalam fikih. Dr Musthofa Said al-Khin di dalam kitabnya Atsaru al-Ikhtilaf fii al-qowaa’id al-Ushuliyyah menjelaskan, bahwa salah satu penyebab terjadinya perbedaan di dalam fikih adalah ketidaktahuan pada sebagian hadis yang ada.

Sahabat-sahabat nabi memiliki derajat yang berbeda-beda dalam mengetahui hadis-hadis yang ada dan beredar. Hal ini disebabkan karena tidak semua sahabat nabi selalu hadir bersama Nabi Muhammad SAW. Ada sebagian sahabat yang hadir di majelis nabi dan mendengar apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW, di sisi lain juga ada sebagian sahabat yang tidak hadir, sehingga tidak mendengar apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW di majelis tersebut, dan begitu seterusnya. Sehingga hal ini ada sahabat yang mengetehaui sebuah hadis, akan tetapi ada juga sahabat yang lain tidak mengetahui hadis tersebut.

Contohnya sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Bidaayatu al-Mujtahid Waa Nihaayatul al-Muqtashid karya Imam Ibnu Rusyd, ialah masalah waktu tempo Iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya. Sayyidina Ali bin Abi Tholib Ra dan Ibnu Abbas RA berpendapat bahwa tempo waktu iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah yang terpanjang dari kedua tempo; ia menjalani iddah menurut tempo yang lebih lama di antara iddah kehamilan dan ‘iddah kematian. Hal ini berdasarkan dengan menggabungkan keumuman ayat yang menjelaskan tempo waktu iddah bagi wanita hamil dan ayat yang menjelaskan tempo waktu iddah bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya. Adapun kedua ayat tersebut ialah:

وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“…Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…” (Q.S Ath-Thalaq [65]: 4)

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًا

“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari….”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 234)

Padahal ada sebuah hadis (yang mungkin tidak sampai kepada Sayyidina Ali bin Tholib Ra. dan Ibnu Abbas Ra.) yang menjelaskan bahwa tempo waktu iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah hanya sampai ia melahirkan saja. Hadis ini diriwayatkan oleh Ummu Salamah yang berbunyi:

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي

Artinya: Ada seseorang perempuan dari Bani Aslam yang biasa dipanggil Subai’ah. Ia memiliki suami dan wafat, sementara ia dalam keadaan hamil. Lalu ia pun dipinang oleh Abu As-Sanabil bin Ba’kak, namun ia menolak menikahinya. Ia berkata, “Demi Allah, wanita itu tidak boleh menikahinya hingga masa iddah yang terakhir berakhir. (maksudnya empat bulan sepuluh hari, bukan setelah melahirkan). Maka wanita itu pun menunggu selama sepuluh hari, lalu ia datang menemui Nabi Saw., maka beliau bersabda: “Menikahlah denganya (maksudnya boleh nikah setelah melahirkan, tidak menunggu empat bulan sepuluh hari). (H.R Bukhari)

Dijelaskan di riwayat lain juga:

سُبَيْعَةُ الْأَسْلَمِيَّةُ وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِعِشْرِينَ لَيْلَةً، فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَزَوَّجَ فَكَانَ أَبُو السَّنَابِلِ فِيمَنْ يَخْطُبُهَا

Artinya: Subai’ah al-Aslamiyyah melahirkan setelah kematian suaminya dengan jarak 20 malam, maka Rasullah Saw. Memerintahkanya untuk menikah. Dan Abu as-Sanaabil diantara orang yang melamarnya

Masih banyak lagi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di dalam fikih. Sebaiknya bagi yang mempunyai minat dengan kajian fikih, untuk mempelajari faktor-faktor ini. Salah satu manfaatnya ialah mengetahui bahwa fikih itu tidaklah kaku. (AN)