Entah wabah apa yang menjangkiti para pengagum poligami ini hingga mereka tak henti-hentinya mengampanyekan perilakunya kepada khalayak. Khususnya ustadz-ustadz yang seolah terbutakan dengan nafsu sesaat sehingga menganggap bahwa poligami adalah syariat agama yang sangat-sangat disayangkan jika tidak bisa dilakukan.
Ada beberapa alasan yang sering kali digaungkan para pelaku poligami. Pertama, syariat Islam; Kedua, jumlah perempuan yang lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Sepintas, dua alasan ini sah-sah saja jika dijadikan landasan perilaku poligami.
Karena jika poligami adalah syariat Islam, maka hal itu sah dilakukan. Apalagi jika ketentuan kemaslahatan mengiringi alasan syariat yang telah diungkapkan, seperti statistik perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki dan lain sebagainya.
Namun nyatanya, beberapa fakta sejarah serta data lapangan justru berbanding terbalik dengan alasan-alasan di atas. Dengan fakta sejarah dan data lapangan ini menjadikan alasan-alasan yang digaungkan para aktifis poligami seolah paradoks.
Pertama, alasan syariat Islam. Arifin Ilham misalkan, dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta mengungkapkan bahwa poligami adalah syariat Islam yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Bisa dimaklumi jika Arifin Ilham berkata demikian, karena selain ia pendukung poligami, ia juga pelaku poligami. Bahkan di antara para pelaku poligami, bisa dibilang bahwa Arifin Ilham lah pelaku poligami yang paling santer mengampanyekan syahwat poligaminya.
Benarkah pernyataan Arifin Ilham tersebut berlandaskan syariat? Dan benarkah perilaku poligami adalah perilaku syariat? Tak perlu meributkan dalil-dalil poligami. Kita kembali saja ke masa lampau, di saat nabi dan para sahabatnya hidup.
Pada masa Rasul bersama Khadijah misalnya. Selama berumahtangga bersama Khadijah, Rasul tidak pernah memadu Khadijah. Jika memang benar bahwa poligami adalah syariat, seharusnya dari awal nabi konsisten untuk poligami ketika bersama Khadijah. Lagi-lagi jika hal itu memang benar-benar syariat yang dibawa Nabi.
Fakta sejarah lain membuktikan bahwa Nabi melarang Ali bin Abi Thalib menikah lagi dengan perempuan lain ketika masih bersama dengan Fatimah. Bahkan nabi tidak rela jika Ali menyakiti hati Fatimah dengan mengatakan “Siapa yang menyakiti Fatimah, maka ia menyakitiku juga”.
Jika benar-benar poligami adalah syariat, seharusnya Nabi membiarkan saja Ali memadu Fatimah. Lagi-lagi, jika hal itu merupakan syariat.
Kedua, alasan populasi perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Alasan ini sepertinya hanya data bohong yang sengaja dibuat-buat agar seolah-olah poligami adalah solusi dan dibenarkan.
Alasan ini pernah muncul dalam Konferensi di Munich setelah perang dunia kedua, sebagaimana diungkapkan as-Shabuni dalam Rawaiul Bayan. Namun as-Shabuni mengungkapkan bahwa hal ini sifatnya kasuistik dan tidak etis untuk digeneralisasi, bahkan hal ini hanya terjadi setelah perang dunia ke dua, ketika penduduk laki-laki banyak yang meninggal karena menjadi korban perang.
Karena faktanya, statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2015 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk laki-laki, bahkan jumlahnya lebih besar daripada penduduk perempuan.
BPS mencatat bahwa jumlah laki-laki 128,1 juta sedangkan perempuan 126,8 juta. Bahkan rasio pertembuhan penduduk menunjukkan bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki.
Dengan data ini, jika ada tiga orang yang melakukan poligami, dua istri saja, maka ada empat dari 101 orang laki-laki yang berpotensi melajang seumur hidup.
Dan lagi, biasanya kecenderungan orang yang berpoligami adalah memilih perawan atau perempuan yang lebih muda atau lebih cantik dari istrinya untuk dijadikan madu. Berbeda dengan Nabi zaman dahulu yang lebih banyak menikahi janda daripada perawan.
Dengan fakta sejarah kehidupan Nabi dan Ali bin Abi Thalib serta statistik penduduk di atas, apakah para pelaku poligami masih bisa berkelit dan bersikukuh bahwa perilaku mereka berlandaskan syariat dan untuk kemaslahatan? Atau syariat sengaja diklaim sebagai landasan untuk mengokohkan syahwat beristri banyak agar tetap relevan di mata umat?
Wallahu A’lam.