Pada masa pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid (Dinasti Abbasiyah), hidup seorang sufi yang bernama Wahab bin Amr as-Shairafi al-Kufi, yang lebih dikenal dengan sebutan Bahlul al-Majnun. Ia dilahirkan di Kufah, Irak. Selain dikenal sebagai tokoh sufi, Bahlul merupakan seorang penyair dan pendongeng yang sangat zuhud. Keputusannya untuk bertingkah layaknya orang gila merupakan perintah dari Imam Musa al-Kazhim.
Dikisahkan ada tiga sahabat dekat Imam Musa al-Kazhim, termasuk Bahlul, yang datang kepadanya untuk meminta nasihat, perihal kemarahan Khalifah Harun. Mendengar aduan serta pertanyaan dari para sahabatnya ini, Imam Musa al-Kazhim hanya memberikan jawaban huruf jim (ج) kepada mereka.
Setiap sahabat memahami nasihat Imam dengan cara yang berbeda-beda. Salah seorang memahami makna jim sebagai ‘jala watan’, yang artinya mengasingkan diri. Sahabat satunya lagi mengartikan ‘jabal’, yaitu gunung. Sementara Bahlul sendiri mengartikan sebagai ‘jinun’, yaitu gila. Itulah beberapa cara yang dilakukan oleh mereka atas nasihat huruf jim dari Imam Musa al-Kazhim agar bisa selamat dari malapetaka Khalifah Harun Ar Rasyid.
Sebelum bertingkah menjadi gila, Bahlul hidup sebagai orang yang berpengaruh serta berkuasa. Tetapi setelah menjadi pengikut Imam Musa al-Kazhim, ia mengalihkan dirinya dari kekuasaan dan kemegahan dunia. Pada hakikatnya, ia menjadi gila kepada Allah SWT dengan mengenakan pakaian buruk, memilih tempat terpencil daripada tinggal di istana Harun, hanya memakan sepotong roti basi, dan tidak menerima pemberian atau bergantung kepada siapapun.
Orang awam di masanya seringkali mengabaikan nasihat dan petuah Bahlul, meskipun apa yang diungkapkannya merupakan suatu kebenaran. Ia bisa melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang awam. Hidup Bahlul sehari-hari berada di area pemakaman umum. Anak-anak kecil di Baghdad seringkali menjadikannya sebagai hiburan yang dilempari batu sembari mengatakan, ‘Bahlul al-Majnun’, dan ‘Bahlul ya Majnun’. Namun ia tidak membalasnya kecuali dengan sebuah syair:
Cukuplah aku pasrah kepadamu, Tuhan
Dari segala apa yang dilakukan oleh mereka kepadaku
Tidak ada tempat pelarian yang abadi kecuali menuju kepada-Mu
Memberi Pelajaran Berharga Kepada Imam Abu Hanifah
Suatu hari Imam Abu Hanifah sedang mengajar di sebuah perguruan tinggi. Bahlul al-Majnun duduk di sudut ruangan dan ikut mendengarkan pelajaran Abu Hanifah. Pada pertengahan pelajaran, Imam Abu Hanifah berkata:
“Imam Ja’far Shadiq mengatakan tiga hal yang aku tidak menyetujuinya. Pertama, ia berkata bahwa Iblis akan dihukum dalam api neraka. Karena Iblis terbuat dari api, maka bagaimana mungkin api bisa menyakitinya? Suatu benda tidak dapat tersakiti oleh benda lain yang sejenis.
“Kedua, sang Imam juga berkata bahwa kita tidak dapat melihat Allah dengan menggunakan mata fisik. Namun, suatu keberadaan pastilah bisa dilihat, maka Allah dapat dilihat dengan mata kita.
“Ketiga, Imam Ja’far Shadiq berkata bahwa siapa pun yang berbuat maka dirinya sendiri yang akan bertanggung jawab, serta akan ditanya tentang hal itu. Tetapi hal ini tidak terbukti. Maksudnya apapun yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak Allah dan manusia tidak dapat mengusahakan apapun yang dilakukannya.”
Setelah Imam Abu Hanifah selesai mengatakan demikian, Bahlul mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya ke arah Imam Abu Hanifah. Gumpalan tanah tersebut mengenai dahi sang Imam dan membuatnya sangat kesakitan. Setelah itu, Bahlul dikejar oleh murid-murid pendiri mazhab Hanafiyah itu. Ketika Bahlul tertangkap, ia dibawa menghadap ke khalifah untuk dimintai pertanggung-jawaban.
Bahlul pun dipanggilkan sang imam, “Panggilkan Abu Hanifah, agar aku dapat memberikan jawaban kepadanya.”
Imam Abu Hanifah dipanggil. Bahlul pun bertanya kepadanya, “Apa kesalah yang aku lakukan kepadamu?”
“Kau melempar gumpalan tanah sehingga mengenai dahiku, dan kepalaku menjadi sakit sekali,” jawab sang imam
Bahlul bertanya lagi, “Dapatkah kau perlihatkan rasa sakitmu?”
“Mana mungkin rasa sakit dapat diperlihatkan?” sanggah imam.
Lantas Bahlul menjawab dengan panjang lebar, “Pertama, kau sendiri mengatakan bahwa suatu keberadaan pasti dapat dilihat, sehingga kau mengkritik Imam Ja’far Shadiq dengan mengatakan bagaimana mungkin Allah itu ada tetapi tidak bisa dilihat dengan mata fisik.
“Kedua, kau salah ketika mengatakan bahwa gumpalan tanah itu menyakimu. Karena gumpalan tanah itu terbuat dari lumpur (campuran tanah dan air) dan engkau sendiri sebagai manusia juga terbuat dari lumpur (campuran tanah dan air). Jadi bagaimana bisa suatu benda menyakiti benda lain yang sejenis?
“Ketiga, engkau mengatakan bahwa seluruh perbuatan manusia adalah kehendak Allah. Jadi bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku bersalah, lalu menyerahkan aku pada khalifah, mengadukan aku, dan meminta hukuman untukku?”
Imam Abu Hanifah hanya terdiam mendengar jawaban cerdas Bahlul si gila itu. Ia mendapatkan pelajaran berharga dari seorang sufi zuhud ini.
Nasihat serta pelajaran berharga bisa didapatkan dari mana saja, dan dari siapa saja. Tidak peduli tentang latar belakangnya seperti apa orang tersebut. (AN)
Wallahu’alam bis showab