Kisah Ahli Ibadah dengan Putra Mahkota yang Tidak Mau Menggunakan Fasilitas Negara

Kisah Ahli Ibadah dengan Putra Mahkota yang Tidak Mau Menggunakan Fasilitas Negara

Putraku lahir sebelum aku menjabat sebagai Khalifah. Dia tumbuh menjadi anak yang shalih. Namun ketika aku diangkat menjadi khalifah, dia meninggalkanku dan tidak mau menikmati harta dunia milikku. -Harun ar-Rasyid-

Kisah Ahli Ibadah dengan Putra Mahkota yang Tidak Mau Menggunakan Fasilitas Negara

Alkisah, ada seorang ahli ibadah yang membutuhkan kuli yang bersedia bekerja untuknya. Dia kemudian pergi ke sebuah pasar untuk melihat-lihat para kuli sekaligus mencari kuli yang bisa bekerja untuknya. Tiba-tiba di penghujung para kuli, ada seorang pemuda berkulit kuning langsat yang sedang membawa tas keranjang. Dia lewat dengan mengenakan jubah serta kain dari bulu domba kasar.

Orang ahli ibadah lalu memperhatikannya, dan bertanya kepadanya, “Apakah kamu mau kerja juga?

Pemuda itu pun menjawab, “Ya!

Ahli ibadah kemudian bertanya, “Berapa upah yang kamu minta?

Pemuda itu pun menjawab, “Satu dirham dan satu daniq.

Merasa cocok dengan pemuda tersebut, ahli ibadah langsung berkata, “Berdilirilah dan bekerjalah untukku.

Sebelum menerima tawaran dari orang ahli ibadah tersebut, si pemuda mengajukan syarat kepada calon majikannya itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi dalam Shifat al-Shafwah, pemuda itu berkata, “Dengan satu syarat. Jika waktu zhuhur telah tiba, aku akan keluar, wudhu dan shalat di masjid secara berjamaah, kemudian kembali bekerja, demikian pula ketika waktu shalat ashar tiba.

Mendengar persyaratan yang diajukan oleh si pemuda. Ahli ibadah itu pun menyanggupinya. Setelah bersepakat, pemuda tersebut diajak oleh ahli ibadah ke rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, ahli ibadah memerintahkan si pemuda untuk mengangkat barang dari satu tempat ke tempat lain. Si pemuda lantas mengencangkan tali pinggangnya dan bekerja. Dia pun bekerja dengan penuh konsentrasi tanpa berbicara sepatah kata pun.

Setelah bekerja beberapa jam, tibalah waktu zhuhur. Pemuda pun berkata kepada majikannya, “Wahai Abdullah, muadzin telah mengumandangkan adzan zhuhur.

Majikannya pun menjawab, “Sekarang terserah dirimu.

Pemuda tersebut lantas keluar untuk wudhu dan menunaikan shalat. Setelah shalat, dia pun kembali bekerja dengan giat sampai tiba waktu ashar. Dia pun kembali berkata kepada majikannya, “Wahai Abdullah, muadzin telah mengumandangkan adzan Ashar.

Majikannya pun berucap, “Sekarang terserah dirimu.

Pemuda itu kemudian keluar untuk shalat ashar. Setelah menunaikan shalat ashar, dia kembali bekerja sampai senja hari. Setelah semua pekerjaan selesai, majikannya pun memberikan upah, dan si pemuda bergegas pulang.

Beberapa hari setelah itu, ahli ibadah kembali membutuhkan kuli. Mengetahui sang suami membutuhkan seorang kuli, istrinya pun berkata, “Suruh saja kuli muda yang kemarin itu, karena ia bekerja dengan sangat bagus.

Ahli ibadah itu kemudian kembali mendatangi pasar, tetapi dia tidak melihat pemuda yang pernah bekerja kepadanya. Lantas dia bertanya kepada orang-orang yang ada di pasar, dan mereka menjawab, “Kamu bertanya tentang seorang pemuda yang berkulit langsat? Kami tidak melihatnya kecuali pada hari Sabtu saja dan ia senantiasa duduk sendirian di bagian belakang.” Mendengar informasi tersebut, ahli ibadah kemudian pulang.

Ketika tiba hari Sabtu, ahli ibadah itu kembali ke pasar. Kebetulan dia bertemu dengan orang yang dia cari. Dia kemudian menanyainya, “Kamu mau bekerja lagi?

Si pemuda pun menjawab, “Kamu sudah mengetahui upah dan syarat yang aku ajukan?

Aku meminta pilihan terbaik kepada Allah.” Jawab ahli ibadah.

Pemuda tersebut kemudian bangkit dan bekerja dengan baik sebagaimana yang dia lakukan sebelumnya. Ketika dia selesai dari pekerjaannya, majikannya yang ahli ibadah memberikan upah dan menambahinya, akan tetapi pemuda tersebut tidak mau menerima tambahan upah tersebut.

Ahli ibadah pun berusaha untuk membujuk agar si pemuda mau menerima. Akan tetapi si pemuda justru marah dan meninggalkan ahli ibadah sendirian. Hal tersebut pun membuat orang ahli ibadah sedih. Ahli ibadah kemudian berusaha menyusulnya. Ketika dia berhasil menyusul si pemuda, dia kembali membujuknya. Akhirnya si pemuda mau mengambil upahnya tanpa tambahan yang diberikan majikannya.

Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, ahli ibadah kembali membutuhkan kuli. Dia menunggu sampai hari Sabtu, akan tetapi dia tidak mendapati pemuda yang dicarinya. Dia pun bertanya kepada orang-orang tentang keadaannya. Kemudian ada seorang yang memberikan kabar mengenai keadaan si pemuda bahwa, pemuda yang bekerja dari hari Sabtu ke hari Sabtu yang lain, dengan upah satu dirham lebih satu daniq. Setiap harinya dia makan dengan satu daniq. Saat ini sedang sakit.

Ahli ibadah itu kemudian bertanya tentang lokasi rumahnya untuk mendatanginya. Setelah sampai ke rumahnya, ternyata pemuda tersebut tinggal di rumah seorang nenek tua. Kepada nenek tua tersebut, ahli ibadah pun bertanya, “Apakah di sini tinggal seorang pemuda yang bekerja sebagai kuli?

Nenek tua itu lalu menjawab, “Sejak beberapa hari yang lalu, ia sakit.

Ahli ibadah itu kemudian masuk menemui pemuda tersebut. Dia melihat bahwa si pemuda benar-benar sakit, dengan kondisi di bawah kepalanya terdapat batu bata sebagai bantal tidurnya. Ahli ibadah pun mengucapkan salam seraya berkata, “Apakah engkau membutuhkan bantuan?

“Iya, jika kamu berkenan melakukannya.” Jawab pemuda tersebut.

Berkenan Insya Allah.” Ucap ahli ibadah kepada pemuda yang pernah bekerja untuknya.

Pemuda itu kemudian berkata, “Jika nanti aku mati, maka juallah ini, dan cucilah jubahku serta kain wolku, kemudian kafanilah aku dengannya. Bukalah saku jubahku, karena di dalamnya ada sebuah cincin, Ambillah cincin itu, kemudian perhatikanlah kapan Harun ar-Rasyid lewat di suatu jalan. Dan berdirilah di tempat yang bisa terlihat olehnya. Panggillah dia, dan perlihatkanlah cincin tersebut kepadanya!Tetapi wasiat ini jangan kau lakukan kecuali setelah aku mati.

Ahli ibadah pun berkata, “Ya!

Setelah beberapa hari, pemuda tersebut meninggal dunia. Ahli ibadah pun melaksanakan apa yang diwasiatkan kepadanya. Dia kemudian pergi untuk memperhatikan hari di mana Khalifah Harun ar-Rasyid lewat. Ketika Khalifah lewat, ahli ibadah memanggilnya sambil memperlihatkan cincin permata, “Wahai Amirul Mukminin, aku memiliki titipan untukmu.

Harun ar-Rasyid yang melihat orang tersebut, kemudian memerintahkan untuk membawanya ke istana guna menghadap kepadanya. Saat memasuki istana, Harun ar-Rasyid memanggil orang ahli ibadah tersebut, dan memerintahkan orang orang yang bersamanya untuk keluar. Dia kemudian bertanya kepada ahli ibadah, “Siapa kamu ini?

Abdullah al-Faraj.” jawab ahli ibadah.

Karena penasaran, Harun ar-Rasyid kembali bertanya, “Dari mana kamu mendapatkan cincin ini?

Abdullah al-Faraj kemudian bercerita tentang kisah pemuda yang ditemuinya. Tiba-tiba Harun ar-Rasyid menangis menitikkan air mata sampai berulangkali. Abdullah al-Faraj yang melihat Khalifah pun merasa iba kepadanya. Setelah melihat Harun ar-Rasyid agak tenang, Abdullah al-Faraj pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya apa hubungan pemuda tersebut dengan anda?

Ia adalah putraku.” Jawab Harun ar-Rasyid.

Mendengar jawaban Amirul Mukminin, Abdullah al-Faraj pun kaget. Dia pun bertanya, “Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Harun ar-Rasyid kemudian bercerita kepada Abdullah al-Faraj, “Putraku tersebut lahir sebelum aku menjabat sebagai Khalifah. Dia tumbuh menjadi anak yang shalih, menghafal Al-Qur’an, dan mempelajari ilmu syari’ah. Namun ketika aku diangkat menjadi khalifah, dia meninggalkanku dan tidak mau menikmati harta dunia milikku.

Harun ar-Rasyid kemudian memberitahu Abdullah al-Faraj kalau dia pernah menyerahkan cincin kepada istrinya atau ibu dari pemuda tersebut. Cincin tersebut merupakan cincin permata yang sangat mahal harganya. Dan kepada sang istri, Harun ar-Rasyid berkata, “Serahkanlah cincin ini kepada anak kita, dan mintalah agar ia membawanya agar bisa memanfaatkannya suatu hari kelak.

Kepada Abdullah al-Faraj, Harun ar-Rasyid kembali bercerita kalau putranya tersebut adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Namun semenjak ibunya meninggal, dia tidak pernah lagi mendengar kabarnya kecuali kabar yang telah dibawa oleh Abdullah al-Faraj.

Setelah bercerita tentang putranya tersebut, Harun ar-Rasyid berkata kepada al-Faraj, “Malam ini keluarlah bersamaku menuju kuburan putraku.

Saat malam telah tiba, Harun ar-Rasyid pun keluar bersama Abdullah al-Faraj menuju kuburan putranya. Ketika sampai di kuburan putranya, Harun ar-Rasyid pun langsung duduk di samping kuburan dan menangis terisak-isak, sampai tiba waktu fajar.

Setelah pulang dari kuburan, Harun ar-Rasyid kembali berkata kepada Abdullah al-Faraj, “Berjanjilah kepadaku untuk senantiasa menemaniku setiap malam untuk berziarah ke kuburan putraku.

Sebagai anak pemimpin tertinggi sebuah kekuasaan atau yang biasa disebut dengan putra mahkota, tentu putra Harun ar-Rasyid sangat mudah untuk hidup mewah bergelimang harta dengan memanfaatkan privillige jabatan ayahnya. Lebih dari itu, dia juga bisa hidup bahagia tanpa menjadi kuli kepada orang lain. Namun, putra Harun ar-Rasyid tersebut justru memilih jalan lain. Dia tidak mau menggunakan dan menikmati fasilitas dari jabatan yang dipegang oleh ayahnya sebagai seorang pemimpin tertinggi sebuah kekuasaan.

Kisah di atas memberikan sebuah tauladan dan pelajaran penting bahwa, menjadi anak pejabat tidak harus manja, yang apa-apa harus difasilitasi keluarga. Apalagi sampai menyusahkan dan merepotkan orang-orang biasa, serta memanfaatkan jabatan yang diemban oleh ayahnya untuk kepentingan pribadinya. Sebab, jabatan adalah sebuah amanah. Sehingga tidak pantas jika digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya pribadi. Apalagi sampai memperkaya diri dengan korupsi melalui jabatan yang sedang dijalani.