Bisakah pembaca membayangkan bagaimana teman tuli membaca Al-Quran? Pernahkah Anda berpikir bagaimana teman tuli berdzikir sehabis salat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul di benak penulis saat mendengar acara Ramadan Fair Kaum Tuli yang diadakan oleh DPD Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (GERKATIN) Sulawesi Selatan.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak penulis itu sedikit demi sedikit terjawab setelah berinteraksi dengan Awan (nama samaran), salah satu teman tuli yang berpartisipasi dalam kegiatan Ramadan Fair sebagai salah satu peserta lomba hapalan surat pendek. Ya, anda tidak salah membaca. teman tuli dapat membaca dan menghapalkan Al-Quran menggunakan bahasa isyarat.
Sebelum itu, teman tuli harus bisa memahami huruf hijaiyah dalam bahasa isyarat. Ya, sekali lagi Anda tidak salah membaca. Huruf Hijaiyah juga diserap dalam bahasa isyarat, sehingga memudahkan teman tuli untuk membaca Al-Qur’an. Mendengar jawaban-jawaban Awan, penulis merasa takjub.
Lantas bagaimana cara teman tuli berdzikir sehabis salat? Pertanyaan itu tidak pernah dilontarkan penulis kepada Awan, melainkan melihat langsung bagaimana Awan mempraktekannya sehabis salat asar berjamaah dengan teman tuli. Sekilas, gerakan dzikir teman tuli seperti gerakan dzikir yang dilakukan beberapa aliran sesat, sehingga jika tidak dibarengi dengan tabayyun mengenai kondisi teman tuli, orang awam dengan mudah meng-cap teman tuli yang sedang beribadah.
Tidak hanya sampai disitu, Awan dan beberapa teman tuli lainnya tampak sangat antusias saat mengetahui akan ada kajian Islam yang dilaksanakan pada hari berikutnya. Mata mereka berbinar. Maklum, mereka jarang menemui kajian Islam dengan fasilitas Juru Bahasa Isyarat (JBI) di masjid-masjid biasanya.
***
Dalam acara Ramadan Fair ini, penulis menjadi volunteer dengan multitugas. Kegiatan ini dilaksanakan pada pekan ke-4 bulan Maret 2024 di masjid salah satu SMA di Kota Makassar. Ramadan kali ini adalah tahun ketiga penyelenggaraan Ramadan Fair dengan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan selama 2 hari. Di hari pertama, berlangsung lomba hapalan surat pendek dan Quiz Ranking 1.
Sebagaimana musabaqah pada umumnya, lomba hapalan surat pendek pada Ramadan Fair ini dilaksanakan dengan sistem yang sama. Teman tuli satu per satu maju secara bergantian ke hadapan dewan juri untuk menghapalkan surat pendek. Sama seperti orang pada umumnya, teman tuli yang menjadi peserta juga mengaku merasa deg-degan saat menunggu giliran. Dengan ekspresif, mereka mengakui hal itu pada penulis.
Setelah lomba hapalan surat pendek selesai, panitia lalu mengadakan Quiz Ranking 1. Pertanyaan yang diajukan juga bermacam-macam tentang sejarah dan syariat Islam. Dengan penuh antusias, teman tuli berlomba-lomba mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan panitia. Beberapa orang mungkin masih ada yang keliru dalam menjawab, tapi tetap antusias. Suasana yang sangat langka untuk dirasakan. Ramai namun senyap.
Di hari berikutnya, berlangsung kajian Islam dan psikoedukasi di masjid salah satu SMA di Kota Makassar. Acara ini menjadi momen paling epik bagi teman tuli. Saat acara berlangsung, tampak beberapa teman tuli sibuk menyeka matanya yang basah. Beberapa teman tuli juga berkesempatan menceritakan keluh kesah mereka kepada para narasumber dengan sangat antusias dan ekspresif. Maklum, orang awam jarang “memberikan telinga”-nya untuk mendengarkan keluh kesah teman tuli karena terbatas kemampuan komunikasi.
Setelah berbuka puasa dan menunaikan salat magrib, panitia lalu membagikan Al-Quran dengan bahasa isyarat ke hadirin teman tuli. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah teman tuli ketika mereka bisa mendapat Al-Quran, sehingga dapat membaca Al-Quran dengan bahasa isyarat. Dalam kesempatan tersebut, panitia membagikan ratusan eksemplar Al-Quran bahasa isyarat pada kurang lebih 100 orang teman tuli yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan, seperti Maros hingga Bulukumba.
***
Semoga kisah ini memberi inspirasi bagi anda sebagai pembaca. Berdasarkan pengalaman penulis, teman tuli adalah orang-orang yang sangat ekspresif dan penuh perhatian dalam berkomunikasi. Mereka sangat antusias untuk berinteraksi dengan orang lain, apalagi dengan sesama teman tuli. Maklum, teman tuli jarang bertemu dan berinteraksi dengan teman tuli lainnya, sehingga sangat bahagia ketika bertemu dengan orang lain yang memiliki kondisi yang sama dengan mereka.
Melalui Ramadan Fair ini, penulis sadar betapa pentingnya hak beribadah bagi kaum disabilitas. Bagi teman tuli, ketersediaan Juru Bahasa Isyarat (JBI) di rumah ibadah menjadi sangat dibutuhkan, karena menjadi jembatan bagi teman tuli memahami pesan-pesan keagamaan yang disampaikan. Momen Ramadan sudah seharusnya dapat dinikmati oleh semua orang. Ramadan adalah momen yang sudah seharusnya dinantikan baik oleh barisan nasionalis, umat Kristiani, hingga oleh teman tuli. Ramadan adalah milik semua orang!
(AN)