Apa yang menyebabkan sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, 4 orang anak secara bersama-sama melakukan aksi bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya?
Tindakan terorisme mereka jelas sangat kejam dan biadab, membunuh orang-orang yang tidak berdosa dan sedang beribadah. Tapi justifikasi moral apa yang ada di benak para pelaku, utamanya pelaku dewasa, orang tua, kok sampai tega mengorbankan anak-anak mereka untuk melakukan aksi terorisme ini?
Kata Mark Juergensmeyer dalam bukunya “Terror in the Mind of God”, bahwa terorisme sangat jarang menjadi aksi individu. Dalam banyak kasus, butuh dukungan dari komunitas atau jaringan organisasi yang kuat agar sebuah aksi terorisme itu berhasil dilakukan.
Bagi para pelaku, butuh justifikasi moral yang kuat untuk melegitimasi untuk membunuh orang-orang yang tidak mereka kenal, merusak properti orang lain secara brutal. Dan perlu ada sebuah keyakinan internal, pengakuan sosial, dan stempel persetujuan dari sebuah ideologi yang legitimate atau otoritas yang dihormati. Karena dukungan moral, ideologi dan organisasi sangat penting untuk aksi kekerasan semacam ini, makanya sebuah aksi terorisme kebanyakan terjadi sebagai sebuah keputusan kolektif.
Sebuah kata-kata lama: “One person’s terrorist is another person’s freedom fighter”, anda boleh setuju atau tidak, nyatanya banyak beredar di sosmed glorifikasi terhadap para teroris ini, baik yang terkait dengan kasus Mako Brimob maupun yang terjadi di Surabaya hari ini.
Ada kelompok-kelompok yang sengaja membuat narasi bahwa tindakan terorisme tersebut sebagai sebuah tindakan kekerasan yang legitimate.
Terorisme tumbuh subur di Indonesia, di samping kebijakan pemerintah yang masih centang-perentang , juga akibat kita sudah terlalu lama toleran dan bahkan memberikan tempat terhadap ujaran kebencian, intoleransi dan ideologi radikal yang masuk ke ruang-ruang privat kita melalui televisi, radio, materi ceramah di tempat ibadah dan juga sosial media.
Pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi terorisme, meski bukan hal baru, semakin memperlihatkan akan pentingnya perspektif gender dalam penanganan terorisme.
Saatnya semua elemen masyarakat bersatu padu untuk melawan terorisme mulai dari unit yang paling kecil, keluarga dan lingkungan terdekat. Mewujudkan keamanan dan kedamaian adalah tugas kita semua. #KamiTidakTakut