Bagaimana Membangun Kemerdekaan Berpikir dan Bersikap

Bagaimana Membangun Kemerdekaan Berpikir dan Bersikap

Bagaimana Membangun Kemerdekaan Berpikir dan Bersikap
Islam harusnya indah dan tidak kaku. Jadinya, tidak ada kebebasan dalam berpikir. Hal itu menjadikan islam jadi menjadi jumud dan tidak elastis. Hadeeuuh

Sebulan belakangan ini, saya menemui beberapa kasus dimana seorang anak merasa dirinya stress berat karena ia dipaksa utuk memenuhi keinginan orang tua mereka. Salah satu anak bercerita bahwa ia hanya merasa menjadi boneka bagi orang tuanya. Orang tuanya mengingkan dia menjadi ahli agama, sedang ia sebenarnya tertarik di dunia interior desain.

Dalam kasus yang lain, ada juga seorang anak yang diminta untuk menjadi dokter, padahal sejatinya ia tidak punya kemampuan kesana. Ketika ditanya tujuan hidupnya? ia bingung sendiri. Tak terbiasa mengambil keputusan.

Seperti yang anda duga, kedua anak ini punya masalah dengan dirinya. Baik anak pertama dan kedua, merasa bahwa diri mereka hanyalah ‘boneka’ orang tuanya. Meski mereka sekolah di tempat yang memadai, tapi sejatinya mereka tak cukup punya motivasi. Mereka sengaja ‘mengerem’ potensi maksimal mereka sebagai bentuk unjuk protes mereka kepada situasi.

Dalam percakapan saya dengan mereka, mereka mengungkapkan bahwa yang mereka butuhkan sebenarnya adalah otoritas dan kepercayaan untuk mengelola tanggung jawab mereka sendiri.

Akibatnya, setelah bertahun-tahun “dikendalikan” oleh orang tua mereka, mereka tidak terbiasa mengambil keputusan secara mandiri. Mereka bergantung pada orang lain untuk membuat keputusan penting dalam hidup mereka. Ketika ditanya tentang apa yang ingin mereka lakukan di masa depan, mereka hanya bisa menjawab bahwa mereka akan mengikuti keinginan orang tua.

Dalam masyarakat kita, mungkin anak-anak ini dikenal baik karena dianggap penurut. Dan anak-anak yang membela dirinya dianggap sebagai pembangkang. Masalah terjadi ketika ternyata, setelah semua yang dilakukan ini, ternyata tujuan yang ingin dicapai tidak teraih.

Orang tua menjadi kecewa. Anak merasa umurnya atau masa mudanya dikorbankan. Dan atas semua yang sudah dilakukan, semuanya kecewa. mengingakan saya pada satu tweet Gus Mus, “Menebak yang akan terjadi, boleh; memastikan, jangan.”

Tidak hanya itu, ketika orang tua ini tidak lagi ada dalam kehidupan anak, sang anak, besar kemungkinan mengalami kebingungan. Selama ini, mereka telah mengandalkan orang tua mereka untuk membuat keputusan penting dalam hidup mereka, sehingga mereka tidak dilatih untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan yang mereka buat sendiri.

Dalam paradigma kepemimpinan diri, penting bagi seseorang yang mandiri untuk menentukan pusat hidupnya. Jika pusat hidup kita adalah orang tua, maka keputusan-keputusan kita akan selalu didasarkan pada pertimbangan baik atau buruk untuk orang tua. Jika pusat hidup kita adalah uang, maka keputusan-keputusan kita akan selalu berkaitan dengan pertimbangan finansial. dan begitu seterusnya.

Yang paling aman, seperti yang diajarkan oleh Stephen R. Covey, adalah membuat keputusan berdasarkan tujuan hidup dan nilai-nilai yang kita pegang sebagai prinsip.

Sebagai orang dewasa, kita memang punya keinginan-keinginan. Kita merasa tahu mana yang baik anak, mana yang tidak. Apalagi, kita dianugragi waktu yang lebih lama mengalami pengalaman. Namun, seiring dengan pertumbuhan mereka, kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan membuat keputusan juga semakin berkembang.

Kita harus memahami bahwa kebutuhan dan aspirasi anak-anak juga berubah seiring waktu. Jika dulu hanya perlu kita penuhi kebutuhan fisiknya, makan minumnya, saat semakin besar, anak juga mulai perlu dipenuhi kebutuhan eksistensialnya. Maka, tentu berbeda melakukan treatment pada anak kecil dan pada remaja menginjak dewasa.

 

Menurut Ki Hajar Dewantara, kemerdekaan atau kemandirian adalah salah satu aspek yang sangat penting untuk tumbuh kembangnya anak. Hal ini tercermin dalam tiga hal, yaitu kemampuan untuk berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Ini adalah keterampilan dan sikap yang harus kita dorong dalam anak-anak kita sejak dini.

 

Sebagai orang tua, kita harus memberikan mereka kesempatan untuk berpikir sendiri, mengambil keputusan, dan belajar dari kesalahan mereka. Kita harus memberikan mereka otoritas untuk mengelola tanggung jawab diri mereka sendiri sehingga mereka dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Ini adalah cara terbaik untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan keputusan yang harus diambil.

 

Terpenting, dalam mengasuh anak-anak, kita harus ingat bahwa tujuan utama kita adalah membantu mereka tumbuh menjadi individu yang bahagia, percaya diri, dan mampu menjalani hidup dengan mandiri.

 

Meskipun dengan begitu, kita perlu bersiap diri saat pilihan kita berbeda dengan pilihan mereka. Tak perlu risai, bukankah kebanyakan kita dulu juga merasakah hal yang sama?