Sebagian umat islam di Indonesia merasa bahwa islam sedang berada dalam penindasan. Dari mana awal pernyataan ini, tidak ada yang tahu. Hal itu terlihat dari video provokatif yang tersebar di media social, seakan-akan Islam sedang dalam ancaman. Katanya al Qur’annya dinistakan, ulamanya dikriminalisasi, organisasi Islam dibubarkan dan lain sebagainya. Tentu kita wajib bertanya, oleh siapa ditindas, kekuatan apa yang mampu menindas, bukannya islam justru agama mayoritas di negeri ini?
Mari kita ulik bersama. Tersangka kasus penistaan al Qur’an telah dipidanakan, tidak peduli dia gubernur sekalipun. Begitupun dengan seseorang “ulama” jika tersandung kasus pidana dan ditetapkan sebagai tersangka, hendaknya juga menerima kenyataan bukan malah umrah dan tidak pulang-pulang ke Indonesia. Organisasi Islam yang ideologinya merusak bangsa, yah bredel dan layak dibubarkan. Ini namanya penegakan hukum yang benar, karena menjalani proses pengadilan. Beda di zaman orde baru, banyak penetapan orang menjadi tersangka tanpa proses pengadilan. Gak penak jamanmu mbah.
Masalahnya kita hidup di zaman teknologi informasi yang begitu cepat, sanking cepatnya kita lebih dahulu percaya, tanpa merasa perlu membuktikan dan mempertimbangkan kebenaran informasi. Padahal Allah telah memberi tahu fungsinya menyimak dan bertabayyun (konfirmasi) atas informasi yang kita peroleh. Padahal informasi itu bisa saja bohong (hoax).
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Hujarat : 6).
Dalam surah al Hujarat ayat 6 tersebut, bahwa Allah meminta kepada setiap mukmin, untuk bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang lain. Jangan tergesa-gesa menuduh orang lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau kekerasan. Menurut Habib Prof. Quraish Shihab, hal itu supaya umat Muslim tidak menimpakan musibah kepada golongan lain yang akhirnya menjadikan kita menyesal atas kejadian itu, dan berharap kejadian itu tidak kita lakukan.
Islam Baik-Baik Saja, Kita yang Paranoid (?)
Jika saya ditanya “Bagaimana kabar umat Islam hari ini?”, Maka saya akan menjawab “Alhamdulillah, luar biasa, Allahuakbar!”. Umat Islam baik-baik saja guys. Pengembangan madrasah Islam juga semakin jaya. Tausiah selepas subuh masih terus ada, baik di perkampungan maupun di acara curhat bersama mama. Adzan tetap berkumandang di 5x masjid-masjid + 2x di televisi (subuh dan magrib). Tidak ada larangan menggunakan simbol agama Islam di ruang publik. We are fine, baby.
Bagaimana dengan isu ulama di kriminalisasi? Coba deh berpikir jernih. Dari banyaknya ulama di Indonesia, cuma yang berasal dari golongan para “alumni” saja terkena kasus. Itupun dengan bukti dan proses pengadilan. So clear guys.
Jika kemudian ada yang tidak suka terhadap hasil keputusan pengadilan, harap bersabar, berbesar hati dan tidak memprovokasi untuk melakukan tindakan yang membuat kebencian kepada negara.
Rasulullah pernah bersabda “Barang siapa yang melihat pada pemimpinnya suatu perkara ( yang dia benci ), maka hendaknya dia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (Negara) satu jengkal saja kemudian dia mati,maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (HR. Bukhari)
Lalu, ada lagi. “Dengar dan taatlah kalian kepada pemimpin kalian, walaupun dia seorang budak Habsy.” (HR. Bukhari)
Terus apanya yang menjadi ancaman umat Islam? Ancamannya cuma satu, oknum provokator yang menyebarkan kebohongan (hoax) di internet dan bersembunyi dibalik agama.
Kira-kira polanya seperti ini; seseorang membuat pernyataan/berita hoax tentang umat Islam. Kemudian berita dilemparkan ke publik atau media sosial, direspon oleh para elit politik yang suka mempolitisasi agama untuk kekuasaan. Kemudian para pendukung (buzzer) politikus tersebut menyebarkan dan membesarkan informasi hoax itu. Pada akhirnya, publik risau karena terpapar kebohongan lewat media sosial.
Ini jelas berdampak buruk pada umat Islam. Tidak sedikit umat yang mengalami delusi karena isu umat Islam terancam. Delusi adalah suatu keyakinan yang salah karena bertentangan dengan kenyataan. Gangguan delusi merupakan salah satu jenis penyakit mental psikosis. Psikosis sendiri ditandai dengan ketidaksinambungan antara pemikiran dan emosi sehingga penderitanya kehilangan kontak dengan realitas sebenarnya.
Para penderita delusi isu umat Islam terancam bisa saja tergolong penderita delusi kejar (Persecutory), yaitu merasa terancam karena yakin bahwa ada orang lain yang menganiaya dirinya, memata-matai, atau berencana mencelakainya. Padahal umat Islam tidak disakiti oleh siapa-siapa. One more, we are fine, guys.
Bagi penderita delusi, sebaiknya kurang-kurangilah membuka media sosial, niscaya hidupmu akan lebih ceria. Kalau tetap tidak bisa, coba deh ketika menemukan di beranda akun media sosial berita politik tanpa sumber jelas, jangan ragu untuk laporkan dan block.
Umat Islam Tertindas oleh Siapa?
Umat Islam Indonesia terlalu kuat untuk dihancurkan oleh golongan dan kelompok lain. Justru kita hanya bisa dihancurkan dari dalam. Oleh umat Islam itu sendiri yakni perilaku umat Islam itu sendiri yang yang tidak islami dan jauh dari nilai-nilai agamanya.
Ulama asal Mesir, Muhammad Abduh, pernah mengatakan “Al-islamu mahjubun bil muslimin (kehebatan dan keindahan islam, tertutupi oleh perilaku umat Islam)”.
Kitalah sendiri yang merusak dan membuat cinta Islam menjadi buruk. Berteriak takbir saat mengintimidasi golongan yang berbeda pendapat dengan kita. Saya masih heran loh dengan maksud berteriak takbir untuk melakukan kekerasan, merusak bahkan menyatakan kebencian. Seakan-akan dengan berteriak takbir itu Allah ridha dengan perilaku bar-barnya dan umat Islam respek terhadap perilakunya. Padahal mah bikin risih tauk.
“Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekitarmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam segala urusan.” (Q.S. Ali Imran :159).
Menurut Habib Prof. Quraish Shihab, makna ayat tersebut adalah kasih sayang Allah kepada kita semua, maka kita harus bersikap lemah lembut dan tidak berkata kasar karena kesalahan kelompok lain. Dan seandainya kita bersikap kasar dan keras, mereka pasti akan bercerai berai meninggalkan kita. Oleh sebab itu, lupakanlah kesalahan kelompok lain dan mintakanlah ampunan.
Jika pun berat melupakan kesalahan, ajaklah kelompok berseberangan dengan kota bermusyawarah untuk mengetahui pendapat mereka dalam berbagai persoalan. Apabila kita telah bertekad untuk mengambil suatu langkah setelah terlebih dahulu melakukan musyawarah, laksanakanlah hasil musyawarah itu dengan bertawakkal kepada Allah, karena Allah benar-benar mencintai orang-orang yang menyerahkan urusan kepada-Nya.
Penutup, saya teringat sebuah sabda Rasulullah berbunyi “Aku (Rasulullah) tidak diutus sebagai pengutuk, melainkan sebagai rahmat bagi semesta”. Jika kemudian ada yang mengaku sebagai umat Rasulullah, tetapi gemar mengutuk. Tentu kita layak bertanya “Siapa yang mereka ikuti? Rasulullah ataukah nafsu amarahnya?”. Wallahu’alam bishawab.