Kebanyakan masjid dan mushalla bahkan pesantren di lingkungan kita dalam bacaan surat saat Tarawih adalah surat-surat akhir dari juz Amma. Tahun lalu saya mengutip dari kitab Hasyiyatul Jamal tentang kebolehan hal itu.
Berikut ini ada penjelasan dari ulama Syafi’iyah mutaakhirin yang lebih mengutamakan membaca Al-Qur’an sampai khatam. Sebenarnya di lingkungan kita juga banyak yang mengamalkan hingga saat ini. Syekh Abu Bakr pengarang kitab I’anat Ath-Thalibin berkata:
ﻓﻤﺎ ﻳﻌﺘﺎﺩﻩ ﺃﻫﻞ ﻣﻜﺔ ﻣﻦ ﻗﺮاءﺓ ﻗﻞ ﻫﻮ اﻟﻠﻪ ﺃﺣﺪ ﻓﻲ اﻟﺮﻛﻌﺎﺕ اﻷﺧﻴﺮﺓ، ﻭﻗﺮاءﺓ ﺃﻟﻬﺎﻛﻢ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺴﺪ ﻓﻲ اﻟﺮﻛﻌﺎﺕ اﻷﻭﻝ، ﺧﻼﻑ اﻷﻓﻀﻞ.
Kebiasaan penduduk Makkah berupa membaca Qul huwa Allahu Ahad di setiap rakaat akhir dan membaca surat At-Takatsur sampai Al-Masad di rakaat awal adalah menyalahi keutamaan (1/307)
Namun bolehkah membaca ayat tertentu setiap shalat? Berikut uraian ulama ahli hadits dari madzhab Syafi’i, Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika mensyarah hadis berikut:
ﻛﺎﻥ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ اﻷﻧﺼﺎﺭ ﻳﺆﻣﻬﻢ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻗﺒﺎء، ﻭﻛﺎﻥ ﻛﻠﻤﺎ اﻓﺘﺘﺢ ﺳﻮﺭﺓ ﻳﻘﺮﺃ ﺑﻬﺎ ﻟﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ ﻣﻤﺎ ﻳﻘﺮﺃ ﺑﻪ اﻓﺘﺘﺢ: ﺑﻘﻞ ﻫﻮ اﻟﻠﻪ ﺃﺣﺪ ﺣﺘﻰ ﻳﻔﺮﻍ ﻣﻨﻬﺎ، ﺛﻢ ﻳﻘﺮﺃ ﺳﻮﺭﺓ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﻌﻬﺎ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺼﻨﻊ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺔ
Ada seorang shahabat Ansor yang menjadi imam dari mereka di masjid Quba’. Setiap mengawali bacaan surat di dalam shalat yang ia baca adalah Qul huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surat lainnya. Ia lakukan itu di setiap rakaat…
Para jemaah kurang senang terhadap kebiasaan imam ini, sehingga mereka mengeluh kepada Rasulullah. Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertanya kepadanya:
«ﻭﻣﺎ ﻳﺤﻤﻠﻚ ﻋﻠﻰ ﻟﺰﻭﻡ ﻫﺬﻩ اﻟﺴﻮﺭﺓ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺔ» ﻓﻘﺎﻝ: ﺇﻧﻲ ﺃﺣﺒﻬﺎ، ﻓﻘﺎﻝ: «ﺣﺒﻚ ﺇﻳﺎﻫﺎ ﺃﺩﺧﻠﻚ اﻟﺠﻨﺔ»
Apa yang mendorongmu untuk tetap membaca surat Al-Ikhlas ini di setiap rakaat? Ia menjawabnya: “Saya senang dengan Al-Ikhlas”. Nabi bersabda: “Kecintaanmu pada Al-Ikhlas memasukkanmu ke dalam surga” (HR Bukhari)
Ibnu Hajar berkata:
ﻭﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ ﺗﺨﺼﻴﺺ ﺑﻌﺾ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﻤﻴﻞ اﻟﻨﻔﺲ ﺇﻟﻴﻪ ﻭاﻻﺳﺘﻜﺜﺎﺭ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﻳﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻫﺠﺮاﻧﺎ ﻟﻐﻴﺮﻩ
Dalam hadis ini terdapat dalil diperbolehkannya mengkhususkan sebagian surat sesuai kecondongan hati dan memperbanyak hal itu. Dan hal tersebut tidak dianggap sebagai mengacuhkan pada surat yang lain (Fathul Bari 2/258)