Reuni ke-2 Gerakan 212 baru saja berlalu. Terlepas dari perdebatan apakah perhelatan kemarin bernuansa kampanye capres atau tidak, ada sejumlah persoalan penting yang patut untuk dijadikan renungan bersama. Persoalan penting ini adalah relasi ayat suci dengan konstitusi dan nuansa sektarianisme.
Saya ingin mulai bahasan ini dengan mengutip dari reportase Tempo.co (2/12/18), bahwa ada 6 hal yang jadi poin Habib Rizieq dalam acara kemarin.
Enam hal tersebut adalah 1) Mengurus negara jangan bohong, 2) Ayat suci di atas konstitusi, 3) Gerakan menghancurkan sendi agama, 4) Ekonomi neo-liberal, 5) 2019 Ganti Presiden, dan 6) Tidak pilih partai penista agama.
Mari fokus pada poin kedua, yakni statement Rizieq bahwa ayat suci berada di atas konstitusi. Poin ini sangat krusial untuk ditelisik lebih jauh demi melihat struktur gagasan yang diperjuangkan oleh sang Habib dan gerakannya.
Pertama-tama, bisa dipertanyakan, apakah statement bahwa ayat suci berada di atas konstitusi ini merupakan pernyataan Rizieq yang bersayap? Ada dua makna umum yang bisa kita tafsir dari pernyataan ini. Dua makna yang menginduk pada dua kiblat gerakan keagamaan.
Kiblat pertama, dengan statement tersebut, bisa diartikan bahwa selayaknya core agama yang dikristalisasikan pada konstitusi mestilah mewujud dalam bentuk cita-cita etis dan spirit yang universal. Kiblat kedua, statement tersebut memiliki makna bahwa konstitusi harus ditundukkan pada ayat suci dalam pengertian formal.
Statement Habib Rizieq senyatanya mengambil pijakan pada kiblat kedua ini. Bukan yang pertama. Mengapa? Seperti ditulis Tempo: “Selagi konstitusi sejalan dengan ayat suci maka wajib dipatuhi,” kata Rizieq. “Kalau bertentangan wajib diganti agar diamandemen.” Ia meminta massa aksi 212 mengawal konstitusi agar sejalan dengan ayat suci. Pada titik inilah, menurut hemat saya, terkait dengan “mengganti” konstitusi, pertanyaan implisit yang layak dikemukakan kemudian adalah: 1) Jika ada sebutan ayat suci, maka ayat suci siapa? 2) Dalam relasi konstitusi dengan ayat suci, siapa yang berhak melakukan tafsir terhadap ayat suci tersebut? Dan, atas dasar apa?
Dikaitkan dengan Habib Rizieq, jelas bahwa sebutan ayat suci yang dimaksudkan tentunya menunjuk ke dasar Islam, yakni al-Quran. Bolehkah kemudian ayat suci kitab-kitab lain dipakai? Besar kemungkinan jawabnya tidak. Bila ditanya mengapa tidak boleh? Jawabnya karena umat Islam mayoritas.
Logika mayoritas bagi Habib Rizieq secara imperatif bisa berarti memaksakan pemaknaan yang dia mau, terlepas dari fakta bahwa ayat suci selalu multi-interpretable baik berdasarkan faktor historisitas, konteks, faktor hermeneutis sampai institusional. Logika mayoritas ini sudah pasti bertentangan dengan cita-cita luhur didirikannya bangsa ini sebagai rumah bersama sesama warga bangsa.
Dihubungkan dengan pertanyaan siapa yang berhak melakukan tafsir terhadap ayat suci, maka sangat mungkin jawabannya adalah ulama. Bila ditanya lagi ulama mana? Jawabnya akan memutar, ulama yang bukan pendukung penista agama. Jawaban-jawaban atas pertanyaan akan redundant (berputar-putar) yang di ujungnya memusat pada dikotomi penista agama dan pembela agama.
Lantas bagaimana ukuran untuk memutus siapa penista agama dan pembela agama ini? Semua akan bermuara pada judgment Rizieq. Pertanyaannya, berhakkah Rizieq menjadi penentu utama keberagamaan warga negara? Pertanyaan ini tak perlu dijawab, mari biarkan terbuka.
Lebih jauh, statement “ayat suci di atas konstitusi” di atas mesti dilihat memiliki relasi dengan fakta fenomena pasca-pembakaran bendera hitam yang kontroversial di Limbangan lalu. Fakta yang dimaksud adalah penurunan bendera merah putih dan pengibaran bendera hitam-putih di Poso dan Samarinda. Bendera hitam dan putih ini jelas bersifat ambivalen.
Satu kalangan melihat bendera ini sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesi (HTI), namun bagi kalangan yang berada di kutub berbeda, bendera yang ada itu adalah bendera tauhid. Meski disebut berdalih spontanitas, pengibaran bendera hitam-putih menggantikan bendera merah putih ini senyatanya merupakan kudeta simbolik. Meski segera setelahnya bendera hitam itu diturunkan, namun fakta semiotisnya abadi.
Fakta semiotis apa yang dibicarakan? Peristiwa Limbangan dibalas dengan peristiwa Poso dan Samarinda. Muncul kemudian penempelan bendera tauhid ini di kediaman Habib Rizieq di Saudi. Peristiwa yang ditepis Rizieq tidak dia lakukan melainkan “aksi intelijen busuk”. Namun, bendera tauhid ini kemudian diglorifikasi sebagai upaya mengumpulkan massa dalam Reuni 212 baru lalu. Sebuah upaya yang bisa dibilang relatif berhasil. Dalam rangkaian semiotis inilah kita mesti memaknai kata-kata Rizieq tentang ayat suci di atas konstitusi. [ ]