Ayat-Ayat Cinta 2: Melihat Fahri Bekerja Mengenalkan Islam ke Publik Internasional

Ayat-Ayat Cinta 2: Melihat Fahri Bekerja Mengenalkan Islam ke Publik Internasional

Ayat-ayat Cinta 2 adalah upaya sederhana mengenalkan nilai islam ke publik internasional

Ayat-Ayat Cinta 2: Melihat Fahri Bekerja Mengenalkan Islam ke Publik Internasional
Apakah film ayat-ayat cinta 2 memakai ayat patrialkal untuk legitimasi?

Tentu saja kita mengenal film Ayat-ayat Cinta 2. Film adaptasi dari novel Habiburrahman El-Shirazy dengan judul yang sama dan meledak di pasaran. Bayangkan, belum genap dua minggu film tersebut sudah ditonton oleh 2.2 juta pasang mata. Meskipun dihajar pelbagai kritik, tampaknya tidak begitu memengaruhi animo masyarakat untuk menyaksikan film bergenre religius tersebut.

Kritikannya pun bermacam-macam, mulai menyebut sosok Fahri terlalu sempurna, jalan cerita yang kurang nendang dan kritikan-kritikan lainnya (Baca: Ayat-ayat cinta 2: Yang Fana adalah Fahri, Patriarkhi Abadi) Tapi, saya tidak ingin mengulas mengenai film tersebut laiknya seorang kritikus.

Saya hanya ingin mengulas beberapa hal yang perlu diambil teladan dalam film ini. Terutama nilai-nilai Islam yang berkembang di Nusantara. Karena film tersebut merupakan adaptasi dari novel, maka beberapa adegan yang sengaja saya ceritakan semoga tidak masuk kategori spoiler gawat.

Toleransi

Islam dianggap sebagai biang terorisme. Akibatnya, orang yang beragama Islam kerap dimusuhi di negara-negara Eropa. Hal ini jelas digambarkan bagaimana sosok Fahri sangat dibenci oleh beberapa tetangganya yang beragama Nasrani dan Yahudi. Kiera, seorang gadis Kristen, dan adiknya bernama Jason sangat membenci Fahri yang seorang muslim. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Ayahnya tewas saat peristiwa bom London terjadi. Karenanya, ia memiliki dendam pribadi kepada orang-orang muslim. Selain Kiera dan Jason, orang yang sangat memusuhi Fahri adalah nenek Catarina, seorang Yahudi.

Dimusuhi sedemikian rupa, apa yang dilakukan Fahri? Doktor muda yang mengajar di Edinburgh itu justru membalas keduanya dengan kebaikan-kebaikan. Mulai dari memberi berbagai macam hadiah, hingga menolong dalam kesulitan. Kisah selengkapnya silakan nonton film atau baca novelnya. Yang patut diambil pelajaran adalah seberapa pun orang memusuhi, sebaiknya dibalas dengan kebaikan-kebaikan. Apa pun latar belakang agamanya.

Fahri yang alumni Al-Azhar dan seorang yang sangat taat beragama mau mengantar nenek Catarina ke Sinagog, tempat ibadah umat Yahudi. Padahal perbuatannya semula ditentang oleh asistennya karena sentimen terhadap Yahudi. Dengan lugas, Fahri mengatakan: “Yang kita tentang adalah zionismenya, kezalimannya, bukan individunya. Kepada semua orang, kita harus saling menolong.”

Sosok Fahri dalam scene tersebut mengingatkan saya tentang kisah Nabi Muhammad yang menyuapi seorang Yahudi di pasar. Padahal, si Yahudi selalu mengumpat dan menjelek-jelekkan Nabi, bahkan di saat Nabi Muhammad sedang menyuapinya. Karenanya, mari menjadi pengikut kanjeng Nabi yang selalu menolong orang lain tanpa melihat latar belakang agamanya.

Jika kita malah memusuhi orang karena ia beda agama, maka perlu bertanya: siapa sebenarnya nabi kita?

Nasionalisme

Fahri tinggal di sebuah perumahan yang sangat multikultural. Diceritakan bahwa Aisha sengaja memilih tempat itu untuk mengobati kerinduan Fahri atas kampung halamannya di Indonesia yang sangat plural. Semangat Pancasila yang menjamin keberagaman sangat melekat di dada Fahri. Itulah yang membuatnya selalu bisa menangani konflik di perumahannya yang sentimen keagamaan kerap muncul sebagai pemicu konflik.

Kata Fahri, walau di luar negeri, Pancasila harus tetap hidup karena Pancasila tidak terikat geografi, tetapi melekat di hati. Begitu juga semboyan Bhinneka Tunggal Ika mesti dijaga di mana pun kita berada. Ia bisa diterapkan di mana-mana, di setiap situasi. Fahri digambarkan sebagai sosok religius yang sangat memahami konsep kebangsaan. Orang-orang seperti Fahri inilah yang bisa menjadi agen perdamaian di negeri orang. Berbeda dengan gerakan-gerakan transnasional yang justru membuat citra Islam semakin buruk di mata orang yang tidak begitu mengenal Islam.

Hidup di lingkungan yang beragam akan membuat kita semakin memahami betapa indahnya perbedaan-perbedaan. Alhamdulillah, Allah sudah ciptakan Indonesia sebagai rumah keberagaman. Tugas kita terus menjaga agar keberagaman yang harmonis ini tetap ada.

Monogami

Kehilangan istri tercinta jelas merupakan situasi yang tidak diharapkan semua orang. Apalagi jika sang istri hilang di wilayah konflik yang tidak jelas kabarnya. Setelah sekian lama tanpa kejelasan di mana sang istri berada, Fahri memilih untuk terus hidup sendiri. Ia berkali-kali diingatkan untuk segera mencari istri yang baru, namun Fahri menolak karena ia tetap menunggu kabar Aisha.

Bayangkan saja seorang doktor yang masih sangat muda, punya usaha di mana-mana, dosen di kampus bergengsi, dan hafiz Al-Quran masih tidak mau untuk meninggalkan istrinya demi istri yang baru. Alih-alih berdalih menikah lagi karena istrinya tak juga ketemu, Fahri tetap berikhtiar menjaga kesucian cintanya dengan istrinya. Abaikan lanjutan ceritanya, tetapi saya ingin mengingat kisah Ayat-ayat Cinta yang pertama di mana Fahri kukuh menolak menikahi Maria karena ia tidak mau berpoligami. Ketika akhirnya ia berpoligami, itu karena paksaan dari istrinya dan demi tujuan yang baik, bukan karena dorongan nafsu birahi semata.

Mencintai Sesama

Fahri mengutip sebuah ungkapan dari Syekh Badiuzzaman Said Nursi: Yang patut dicintai adalah cinta itu sendiri. Yang patut dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.

Ungkapan ini diucapkan oleh Fahri dalam sebuah forum debat. Ia menyinggung bahwa konflik besar yang melanda umat manusia adalah karena adanya pembiakan kebencian dan kecurigaan antar sesama umat manusia. Manusia kerap membenturkan agama atau ras untuk menciptakan permusuhan-permusuhan.

Konflik Israel dan Palestina adalah buntut dari pembiakan kebencian dan ego atas nama Tuhan. Atas nama Tuhan, manusia bisa seenaknya membantai manusia lainnya. Atas nama membela agama, sekelompok orang dianggap menjalankan perintah suci jika sudah membunuh kelompok lainnya. Padahal agama hadir untuk menjadi pedoman kehidupan manusia yang penuh kedamaian dan harmonis.

Itulah beberapa pelajaran yang bisa diambil dari film Ayat-ayat Cinta 2. Terlepas dari berbagai komentar baik dan buruk dari beberapa kalangan, saya menilai film ini cukup bagus bagi orang yang ingin melihat ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin. Begitulah seharusnya berislam karena dunia ini butuh Islam ramah, bukan Islam marah.

Sarjoko Wahid, penulis adalah penikmat film yang bergiat di Islami Institute Jogja.