Ayat-ayat Cinta 2: Yang Fana adalah Fahri, Patriarkhi Abadi

Ayat-ayat Cinta 2: Yang Fana adalah Fahri, Patriarkhi Abadi

Bagaimana Ayat-ayat Cinta 2 melihat sosok perempuan? Simak catatan kritis ini

Ayat-ayat Cinta 2: Yang Fana adalah Fahri, Patriarkhi Abadi
Apakah film ayat-ayat cinta 2 memakai ayat patrialkal untuk legitimasi?

Nikahi aku fahri~, bimbing aku fahri~, aku telah hancur fahri~

Secara berurutan, kata-kata tersebut adalah sederet kata dari tiga pemain perempuan dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 (AAC2) yang sedang happening saat ini yaitu Chelsea Islan sebagai Keira, Tatjana Saphira sebagai Hulya, dan Dewi Sandra sebagai Aisha.

Jika pembaca hendak membaca tulisan ini sebelum menonton film AAC2 maka ulasan film ini tidak akan menambah gairah pembaca untuk segera menontonnya, maaf. Namun, jika pembaca hendak membaca tulisan ini setelah menonton film AAC2 maka tulisan ini adalah ungkapan kritis dari penontonnya yang kecewa. Kamu jahat, Fahri~. Penulis juga tidak hendak menceritakan kembali alur cerita film ini dengan detail. Pembaca tidak akan mendapatkannya disini, jika hal itu yang sebenarnya ingin pembaca dapatkan maka jangan scroll kebawah ya!

Alur cerita AAC2 mirip sekali dengan alur cerita sinetron atau FTV di saluran televisi kesayangan pembaca. Mengapa begitu? Karena bagi saya yang tidak pernah membaca novel karya Habiburrahman ini sangat mudah sekali menebak endingnya. Layaknya FTV, siapa yang bakal jadian pasti sudah ketebak walaupun harus melewati sekian “drama” (bacanya pakai bahasa Inggris ala Cinta Laura). Namun begitu, pemirsa Indonesia sangat menggandrunginya, inilah tipe penonton Indonesia. Jadi, buat kamu yang sok-sok an gak suka sinetron atau FTV tapi suka film AAC2 itu sama kayak kamu yang ogah-ogahan sama mantan tapi masih suka stalking.

Fahri. Fahri. Fahri. Kusebut namamu tiga kali. Karena dalam film ini Fahri adalah tokoh utama yang sangat protagonis. Mengapa memakai kata sangat? Karena baik, ganteng, tinggi, suka menolong, setia, dan rajin menabung adalah citranya dalam film ini. Perfect!

Lalu mengapa Fahri rajin menabung? Karena Fahri mampu menolong nenek Catarina dengan membeli kembali rumah bagusnya. Fahri juga mampu menggagalkan transaksi pelacuran yang ingin “membeli” Keira dengan membeli transaksi tersebut dengan harga lebih lebih mahal. Tidak hanya itu, Fahri memberi Keira beasiswa les biola sampai Ia menjadi pemain biola yang terkenal. Jadi, tidak mungkin Fahri tidak suka menabung, karena Fahri bisa mengeluarkan uang demi siapapun dalam jumlah besar.

Tak lupa dengan Brenda, tetangga Fahri yang berprofesi sebagai pengacara ini tak luput dari pertolongannya pula. Setiap Ia mabuk, Fahri selalu memberinya bantal dan selimut untuknya agar tidak merasa kedingingan walaupun terlantar didepan rumah. Jika pembaca bertanya mengapa Fahri tidak membawanya kedalam rumah? Jawabannya adalah, bukan muhrim ukh~. Kira-kira hampir separuh durasi dari film ini hanya menceritakan kebaikan-kebaikan Fahri kepada orang lain. Hooaam.

Nenek Catarina adalah seorang yahudi, sedangkan Keira adalah seorang nasrani. Keduanya adalah tetangga Fahri yang sering ditolongnya walaupun mereka pernah berbuat tidak baik kepada Fahri. Utamanya Keira, perbuatan tidak baiknya selalu dilandasi karena Fahri seorang muslim, baginya semua muslim adalah teroris.

Peristiwa ini tentu memberikan pesan baik kepada penonton tentang harmony in diversity. Namun begitu, pesan ini sangat tersurat. Artinya pesan ini diberikan secara sangat langsung. Lagi-lagi memakai kata sangat. Mengapa begitu? Ini kayak kamu yang biasa meresapi pesan-pesan dari lirik lagu Payung Teduh, tapi setelah lagu berjudul Akad rilis, aku kecewa Fahri~.

Ini adalah salah satu adegan, Keira meminta Fahri menikahinya dengan alasan harus memenuhi sebuah janji.

Film ini tidak hanya memiliki pesan tersurat, ada pesan tersirat didalamnya yang menurut penulis akan lebih bahaya jika pesan ditangkap secara tidak sadar. Seolah-olah, film ini pro pada perempuan. Perkataan-perkataan Hulya misalnya, Ia dengan tegas mencontohkan perempuan-perempuan Islam yang mencerminkan bahwa Islam tidak menematkan perempuan sebagai gender kedua. Fahri tentu saja setuju dengan pernyataan Hulya, karena Fahri adalah perfect!.

Di saat yang sama, film ini justru mendiskriminasi citra tubuh perempuan. Aisha, sosok perempuan yang menjadi korban perang di Palestina mengalami ketidaksempurnaan pada wajahnya. Karena itulah Aisha menghilang, identitasnya tidak ingin diketahui oleh siapapun utamanya Fahri. Aisha merasa jika dirinya telah hancur dan tidak pantas dengan Fahri hanya karena separuh wajahnya rusak.

Lalu kenapa emangnya kalau wajah perempuan rusak? Sebegitu inginnya film ini mendefiniskan perempuan yang harus tampil cantik didepan suami? Parahnya, Aisha memperbaiki mukanya dengan oprasi plastik. Muka Aisha diganti dengan muka Hulya yang sudah mati, tentu atas amanat Hulya.

Walaupun begitu, tetap saja film ini secara tersirat ingin mencitrakan perempuan itu harus cantik, kalo tidak cantik ya tidak pantas bersanding dengan suaminya, Fahri, yang fana itu.

Di saat yang sama pula, film ini berkuasa penuh atas perempuan. Nikahi aku Fahri~ menjadi kalimat yang sering dipakai penonton perempuan yang ingin menikah, dinikahi, dan menginginkan sosok Fahri. Seolah-olah perempuan hanya akan bahagia jika Ia dinikahi, hal yang tidak dipikirkan oleh kebanyakan lelaki. Kuasa Fahri selanjutnya adalah menentukan Hulya harus memakai jilbab atau tidak. Dengan tidak ragu Hulya justru meminta maaf karena Ia tidak berjilbab sesempurna Aisha yang memakai cadar. Memangnya kenapa kalau tidak bercadar?

Film ini seolah-olah menyampaikan pesan bahwa jilbab yang sempurna adalah jilbab yang memakai cadar, dan perempuan yang baik adalah perempuan yang disukai Fahri yakni, memakai jilbab yang “sempurna”.

Film ini sama sekali tidak memperlihatkan otoritas perempuan atas tubuh dan pikirannya. Semuanya atas nama Fahri. Pesan-pesan tersirat ini menurut saya berbahaya. Apa jadinya Indonesia jika perempuannya menganggap laki-laki adalah satu-satunya sumber kebahagiaan bagi mereka dan tujuan hidupnya hanya untuk menikah? Apa jadinya jika perempuan Indonesia tidak bangga dengan tubuhnya sendiri? Yang mengagung-agungkan kecantikan demi untuk dilihat lelaki. Saya tunggu jawaban dari pakar-pakar sekalian.

Mengutip kalimat salah satu rekan saya bernama Tatok “Mengagungkan perempuan untuk memaklumi kebejatan laki-laki adalah pembodohan patriarki”. Perempuan tak sebercanda itu Fahri~

*Tulisan ini pertama kali terbit di gubuktulis.com disunting dan diterbitkan atas persetujuan penulis