Untuk mempersiapkan era baru dalam orientasi niaga-laut yang akan mulai kita kembangkan dalam waktu dekat ini, peran penting pelabuhan samudera di berbagai tempat sangat nyata bagi kita. Kalau kita mulai dari pulau Jawa, yang menjadi konsentrasi sebagian besar penduduk Indonesia, maka beberapa buah pelabuhan samudera harus dibangun. Seperti di Gresik, Banyuwangi, Perigi (Trenggalek), Pacitan, Gunung Kidul, Cilacap, Baya (Banten), Bojonegara, (Tanggerang), Cimalaya, Indramayu, Jepara, Tuban. Kemudian di bagian selatan pulau Sumatera kita memerlukan pelabuhan samudera di Kruwi (Lampung Barat) dan Tanjung Siapi-Siapi (Sumatera selatan), Tanjung Jabung ( Jambi) Sabang dan Simelue (Aceh Barat), Natuna (Riau). Di Kalimantan, sebuah pelabuhan samudera di Teluk Balikpapan (Kalimantan Timur), sebuah di pulau terbesar Sulawesi Barat, Bitung (Sulawesi Utara), di Propinsi Maluku tidak jauh dari Ambon, di Pulau Biak dan sebuah lagi di Teluk Wamena (Irian/Papua) dan di Selat Lombok berseberangan dengan Pulau Bali.
Ini semua akan menghasilkan begitu banyak pekerjaan umum (P.U -public works), sehingga mendorong munculnya kegiatan kawasan-kawasan yang menjadi tempat pembangunan pelabuhan-pelabuhan samudera itu. Namun pembangunan pelabuhan samudera itu harus digilir begitu rupa, sehingga denagan cara rotasi semuanya terbangun dalam lima belas tahun. Dalam konsep, hal itu sama dengan pembangunan di RRT (Republik Rakyat Tiongkok) sekarang ini, yang ditekankan pada pembangunan jalan raya, jembatan dan rel kereta api.. Kita sengaja tidak membangun tanah-tanah pemukiman dalam bentuk perumahan di daerah-daerah transmigrasi (melainkan hanya dibangun prasarana minimal seperti sekolah dasar, puskesmas, bangunan toko serba ada, Masjid, Gereja dan tempat ibadah lainnya, serta sebuah bengkel besar). Walaupun demikian para transmigran nantinya akan datang dan membangun tempat-temapt tinggal mereka sendiri.
Pembangunan kawasan seperti ini akan berdampak pada dibangunnya jaringan trasportasi umum ke arah tempat-tempat yang diharapkan dibangun sendiri oleh para pendatang. Hal ini seperti dimaksudkan dalam Home Stead Act di Amerika Serikat sejak paruh kedua abad ke-19 Masehi, yang jelas memisahkan antara kewajiban negara menyediakan prasarana umum dengan kewajiban warga negara menyediakan prasarana umum untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri. Semakin tinggi kemampuan “para trasmigran sukarelawan” itu untuk menghasilkan produk-produk yang dapat diekspor dan atau dijual ke daerah lain, maka semakin tinggi pula kemampuan tawar-menawar yang mereka miliki terhadap daerah lain mauapun dunia Internasional. Sebetulnya inilah yang dimaksudkan dengan trasmigrasi swakarsa, yang membebani pemerintah “hanya” dengan tugas menyediakan prasarana saja.
Konsep pengembangan pembangunan prasarana di daerah ini sebenarnya merupakan adopsi kreatif dari cara-cara DR. Dr. Hjalmar Schacht, bekas menteri perekonomian Adolf Hitler, yang pernah diundang ke Indonesia dalam tahun 50-an oleh Prof. DR Sumitro Djoyohadikusumo, mitranya yang juga menjadi Menteri Perekonomian kita. Schacht secara tidak tanggung-tanggung membangun jaringan jalan raya (autobahnen) sepanjang lebih dari 80.000 kilometer yang menciptakan akibat ganda (multi effects), yaitu memungkinkan tumbuhnya industri produksi barang jadi (manufacturing industry), dan berdampak menaikan penghasilan warga negara Jerman secara mencolok.
Tentu saja kenaikan pendapatan demikian besar yang diakibatkan oleh pembangunan prasarana tersebut, haruslah disalurkan dengan tepat agar tidak membawa akibat-akibat negatif bagi bangsa kita. Kalau Hitler menyalurkan naiknya pendapatan orang Jerman itu sebagai modal untuk menjadi “raksasa militer”, yang akhirnya diwujudkan dalam ekspansi militer besar-besaran negeri itu, dengan alasan membuat negara-negara lain disekitarnya sebagai lebensraum (ruang hidup bagi industri Jerman). Maka kita justru harus mencontoh Kanselir Jerman Barat Conrad Adenauer dalam membangun kembali ekonomi negeri itu melalui perluasan industri dan perdagangan dengan negeri-negeri lain. Kanselir berikut, Ludwig Erhard dengan konsepnya Sozialen Marktwirtschaft (ekonomi sosial dan pasar) haruslah kita kenal dengan mendalam dan kita terapkan secara kreatif di Indonesia.Kemampuan belajar dari sejarah inilah yang kita perlukan, pertama dengan menghilangkan hal-hal dogmatis dan ideologis dari yang kita ketahui melalui proses mempelajari sejarah orang lain itu.
Kita ambil sebagai contoh, bagaimana bangsa Prancis menggabungkan wewenang Presiden dan Perdana Menteri dalam kerjasama kreatif berupa pembagian wewenang bidang-bidang yang berbeda antara mereka berdua. Sistem yang dikenal juga dengan cohabitation (hidup bersama) antara mereka itu, telah menimbulkan “ketegangan kreatif” antara kedua pejabat pucuk itu. Di samping wewenangnya atas beberapa bagian penting dari kehidupan bangsa dan dengan demikian menyerap dalam dirinya kewajiban-kewajiban protokoler, Presiden harus berbagi wewenang dengan Perdana Menteri yang juga memiliki wewenang atas bidang-bidang yang sendiri, serta penguasaan atas administrasi negara.
Kita juga harus mengembangkan jawaban-jawaban atas berbagai masalah yang kita hadapi, dan membentuk pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan kita, tanpa mengekor negara lain. Namun ini merupakan proses sangat lama, memakan waktu sekian dasawarsa, dan perdebatan yang berkepanjangan dalam kehidupan bangsa kita di masa yang akan datang. Bangsa Iran melalui perkembangan pemikiran Imam Ruhollah Khomeini, pertama melalui karya beliau Wilayat al-Faqih, setelah Desember 1979 menjalankan “pemerintahan tiga pihak” yaitu Presiden, Perdana Menteri yang membawahi pertemuan majlis dan Khubrigan (Dewan Ulama) yang membatalkan keputusan kedua pihak, jika dianggap melanggar ajaran agama. Namun proses inipun belum selesai, dengan melihat perjuangan para mahasiswa Universitas Teheran dewasa ini dan kegiatan para aktivis yang mengkritisi sistem itu dengan sengit.
*****
Nah, kehendak kita untuk merubah pandangan hidup dan orientasi perekonomian, akan membawa kita kepada kebutuhan-kebutuhan yang tadinya kita tidak duga sama sekali. Bermula dari orientasi niaga-laut yang dikembangkan Sriwijaya dan Majapahit, yang didampingi/disaingi oleh orientasi agraris serba sistematik yang dikembangkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram dalam abad ke-16 Masehi. Di situ tampak adanya proses sangat menarik dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Bahwa kemudian sistem itu membuat kebutuhan kita hanya bersandar kepada sistem perekonomian agraris saja, yang mengakibatkan keterikatan kita kepada ekonomi substitusi impor, seperti jaman pemerintahan Orde Baru hingga hari ini, mengharuskan kita untuk mengadakan pemeriksaan mendalam atas orientasi perekonomian kita sendiri. Kemudian barulah kita dapat mengambil bentuk-bentuk sistem politik, yang diperlukan untuk menyusun pemerintahan yang kita perlukan di masa depan. Jika ada titik temu antara kebutuhan sistem pemerintahan tertentu di satu pihak, dengan orientasi perekonomian yang sanggup mengembangkan kekakayaan sumber alam kita yang luar biasa dipihak lain, serta menyediakan prasarana bagi penumbuhan kekuatan ekonomi bangsa kita dalam waktu cepat -katakanlah 15 tahun pertama-, maka akan tumbuh sebuah pola hidup sebagai kekuatan raksasa di kalangan bangsa kita. Hal-hal seperti kejelasan orientasi perekonomian yang kita perlukan, serta kemampuan menggabungkannya dengan tuntutan perdagangan internasional, dikehendaki dari kita semua, terutama dari pemimpin pemerintahan. Mudah dikatakan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?
Jakarta, 17 Desember 2003