Pada suatu ketika, beberapa perkembangan keadaan menuju kepada sebuah titik kulminasi yang bagi para sejarawan akan menjadi sangat menarik. Menurut Martin Van Bruinessen, ahli keIslaman yang sangat teliti itu, dalam abad 17 dan 18 masehi para pengikut tarekat Naqsyabandiah mulai mengadakan ekspansi. Setelah memindahkan pengikut tarekat mereka dari India ke tanah Kurdi dengan titik pusat di Diyar Bakr, mereka lalu mendirikan pusat di Aleppo (Halab) di pantai Laut Tengah Syria sekarang. Dari Aleppo tarekat itu lalu “meneruskan perjalanan” ke arah Selatan, yaitu ke Mekkah dan Madinah. Karuan saja, segera kedua tempat itu menjadi pusat pengetahuan Islam yang bermahzabkan fi’qh Syafi’i. Ketika mereka “mulai mapan” di kedua tempat itu, segera berdatangan murid-murid berupa para santri dari tanah Jawa dan seluruh Asia Tenggara.
Sekitar seabad setelah itu, pemerintah Belanda memberlakukan sistem tanam paksa. Secara tidak langsung mereka mengembangkan pertanian kapitalistik di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Usaha-usaha perkebunan tebu, kopi, teh dan tembakau bermunculan dengan pemilik perusahaan para pemodal dari negeri Belanda. Mereka menyewa tanah secara bergantian di Jawa, dan pemerintah mewujudkan sarana perhubungan untuk mengirimkan hasil-hasil pertanian olahan pabrik-pabrik yang mereka miliki, menggunakan jalan raya, kereta api dan pelabuhan dengan sangat cepat. Hasil sepertanian itu, menumbuhkan dengan cepat sebuah “kelas baru” di masyarakat yaitu kelas menengah atas yang memperoleh uang sewa bagi tanah-tanah mereka yang ditanami oleh pabrik-pabrik itu. Kelas menengah ke atas itu bukanlah para ningrat maupun pejabat pemerintahan kolonial, karenanya tidak dididik di sekolah-sekolah pemerintah.
Kalau para pengusaha Tionghoa mendirikan sekolah-sekolah dagang “Handle Schoolen ” di daerah perkotaan, maka “orang-orang kaya baru” (HKB) itu lalu mengirimkan anak-anak mereka ke pondok-pondok pesantren yang tekenal, untuk kemudian dikirim ke Mekkah dan Madinah. Ini relatif bersamaan waktunya dengan dibukanya Terusan Suez, yang memungkinkan pelayaran tetap antara Eropa dan kawasan Asia Tenggara. Dengan cepat dikirimkanlah puluhan ribu santri dari Asia Tenggara ke tanah suci. Dengan segera, hubungan tetap antara Mekkah dan Madinah di satu pihak dan kawasan Asia Tenggara dipihak lain, berkembang menjadi hubungan ekonomi dan pendidikan yang sangat kuat, yang akhirnya menopang solidaritas Islam di kedua kawasan itu. Kemudian terbentuk kesadaran yang mengobarkan semangat kaum muslim untuk menghadapi apa yang kemudian dikenal sebagai “imperalisme barat” atas kawasan-kawasan Islam di mana-mana. Cara hidup “orang-orang barat” yang sangat materialistik itu, segera dihadapkan kepada pembentukan nilai-nilai spiritual dan sosial dikalangan kaum elite muslimin, yang amat kritis sikapnya terhadap perkembangan dunia. Apa yang dirasakan sebagai “ancaman” nagi nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan manusia, segera terbentuk sebagai “nilai-nilai alternatif” untuk menghadapi komersialisasi semua aspek kehidupan oleh peradaban Barat. Seolah-olah “kebudayaan barat” dekaden dan hanya mementingkan uang. Padahal dalam kenyataannya budaya Barat maupun Timur sama-sama memiliki aspek material dan non-materialnya. Sikap untuk mengembangkan milik sendiri dan menjauhi budaya lain itu akhirnya berkembang menjadi sikap ultra-chauvinistik, yang terlalu kaku dan tidak dapat menerima perubahan-perubahan.
Dalam suasana seperti itulah para Kyai lulusan Timur Tengah kembali ke Indonesia. Seperti dikemukakan oleh disertasi Mona Abaza, Islamic Education Perceptions and Exchanges Indonesian Students in Cairo, mengenai tiga generasi lulusan Al-Azhar di Kairo yang memberikan “warna” yang berlain-lainan. Lulusan pertama, membuka cakrawala pemikiran kaum muslim mengenai diri mereka sendiri. Merekalah yang patut dianggap sebagai perintis pendidikan Islam modern di Indonesia. Lulusan kedua, merintis pengertian-pengertian yang mementingkan arti pengetahuan non-agama yang modern, untuk digabungkan dengan perombakan-perombakan pemikiran agama, seperti dibawakan oleh angkatan yang dipimpin oleh Prof. DR. A. Mukti Ali. Sedangkan angkatan yang ketiga dari Al-Azhar, justru menganggap bahwa antara pengetahuan agama dan pengetahuan-pengetahuan lainnya tidak ada bedanya. Terutama Ilmu pengetahuan sosial, yang sulit dipisahkan mana yang agama dan mana yang bukan.
Dalam perkembangan yang penuh kegalauan itu, para pemimpin gerakan Islam bergulat dengan berbagai masalah dasar-dasar: haruskah mereka berpikiran menurut agama Islam? Dimana harus diletakkan tempat Indonesia dalam pergaulan Internasional? Apakah bentuk struktur ekonomi yang harus dibangun untuk mencapai keadilan sosial? dan sederet pertanyaan lain. Ini membuat mereka untuk beberapa waktu lamanya tidak berpikir tentang sistem perekonomian yang harus dikembangkan bangsa Indonesia dan orientasi dari sistem itu. Dengan demikian seolah-olah semua pemikiran diarahkan pada perjuangan politik belaka. Dan memang hampir seluruh perhatian dan waktu dicurahkan untuk menentukan hubungan antara Islam dan negara dan hubungan pendidikan dan agama. Hampir tak tersisa waktu untuk memikirkan hal-hal lain.
Waktu dihabiskan untuk perdebatan mengenai tingkah laku dan pola kehidupan para pemimpin umat. Sudahkah pola hidup mereka sesuai dengan “warisan” ajaran yang diterima dari nabi Muhammad SAW. Karena sibuk “mengurusi” hal-hal semacam itu, para pemimpin itu tidak punya waktu luang dan perhatian. Sebagai akibat timbul semacam dikotomi antara para warga gerakan ‘Islam tradisional’ dan para anggota gerakan ‘Islam pembaharu’. Akhirnya perdebatan yang berjalan bukan tentang orientasi kehidupan bangsa, melainkan tentang mana yang benar antara tradisionalisme agama dengan gerakan-gerakan inovasi. Rentetan dari keadaan itu, muncul aliran-aliran yang bertindak seakan-akan mereka berideologi nasionalis, sosialis, komunis, dan Islam. Mereka saling bersaing memperebutkan pengikut, tanpa mengingat bahwa masing-masing “ideologi” yang dibawakan oleh tiap-tiap gerakan secara teoritis tidak bersambung dengan ideologi semula.
Kaum komunis di negeri ini hanya mengenal sekelumit tentang komunisme sebagai ideologi; demikian pula dengan kaum nasionalis. Hanya kebencian dan penolakan kepada kapitalisme yang menyatukan mereka. Sedangkan pengikut gerakan agama pun tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan-ketentuan ideologi agamnya. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan orientatif tentang corak hidup yang harus diambil bangsa ini, luput dari perhatian. Apakah orientasi niaga-laut ataukah orientasi agraris yang harus diberi tekanan utama, hampir-hampir tidak dibahas oleh mereka. Selama ini Nyanyian “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” akhirnya hanya menjadi sekedar sekilas nyanyian anak-anak tanah air kita. Jika dicermati tidak pernah muncul perbedaan ‘ideologis’ di antara mereka, yang tampak di depan hanyalah ungkapan-ungkapan setempat, yang menggambarkan budaya kita. Ada budaya laut seperti yang dicontohkan oleh orang-orang Bugis dengan perahu Phinisi mereka. Tetapi tetap tidak menggoyahkan keterlibatan sentral pada sistem agraris.
Setelah hutan-hutan kita dibabat oleh para pemegang HPH (hak penguasahaan hutan) yang terdiri dari para kroni pemerintahan orde baru dan pengelolaan barang tambang kita juga dirusak oleh pihak yang sama. Maka tinggal kekayaan laut-lah yang seharusnya menjadi dasar bagi kebangkitan kembali ekonomi kita sebagai bangsa. Kita harus memulai kembali menyusun tata niaga laut kita, guna menghindari pengurasan kekayaan laut untuk kepentingan orang lain. Kita harus banyak membangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di berbagai tempat di pulau-pulau yang besar guna memungkinkan masyarakat memanfaatkan hasil laut itu untuk kepentingan mereka. Dan dengan demikian memungkinkan tumbuhnya upaya memperlebar jaringan transportasi dan komunikasi umum. Ikan memang tidak dapat dijadikan substitusi ekspor, jadi dengan demikian tekanan ekonomi kita tidak lagi bersifat keluar melainkan ke dalam, dengan membuka bagian terbesar dari ekonomi kita bagi penumbuhan pasar dalam negeri yang kuat dan luas. Memang ini mudah dikatakan, tapi sulit dilaksanakan, bukan?
Jakarta, 8 Desember 2003