
Tiga hari aku pulang kampung. Di hari kedua, kami menggelar haul Mbah Kiai Soleh. Seperti biasa, pagi-pagi ngeteh dan jagongan dengan kerabat dan kawan-kawan lama.
Udara pagi menyimpan aroma tanah basah, suara ayam berkokok bersahut-sahutan, dan dari dapur aroma wedang jahe merayap pelan, membuka pintu-pintu kenangan.
Di sela canda, ada yang memantik: cerita para sepuh kampung kami. Dalam jagongan itu, sejarah bukan sekadar masa lalu yang beku, tapi hidup, menyala, dan menyusup dalam percakapan santai. Seperti kata R.G. Collingwood, dalam bukunya “The Idea of History” (Oxford University Press, 1946). Sejarah bukan hanya tentang peristiwa, tetapi tentang pikiran, keputusan dan maksud manusia di baliknya.
Mbah Kiai Soleh
Beliau bukan hanya tokoh agama. Melainkan pilar pengetahuan kampung kami. Sekitar tahun 1940-an, jauh sebelum republik ini memiliki nama, Mbah Kiai Soleh mendirikan pondok pesantren, tanpa nama, tanpa papan yang terpacak di halaman. Orang hanya menyebutnya: Pondok Mbadeg.
Santri-santri tua dari berbagai penjuru Jawa datang berguru. Mereka mengaji kitab kuning, wirid malam, dan ngalap barokah. Ada yang mengaji karena ingin sembuh, ada yang ingin sakti, ada pula yang ingin kuat lahir batin melawan penjajah.
Pondok itu sederhana, tapi wibawanya menembus batas-batas desa.
Konon, sebagian santri pondok ini ikut bergabung dalam barisan Hizbullah. Ketika Rembang mencekam oleh agresi Belanda, keluarga Mbah Kiai Bisri (ayah Gus Mus – Kiai Mustofa Bisri) mengungsi ke pondok Mbah Soleh.
Pada masa genting menjelang 1965, para santri datang lagi. Tapi bukan membawa kitab, melainkan rotan. “Pisang dipukul rotan, daun-daunnya layu seketika,” kisah Lek Khoiron, saksi yang masih hidup.
Lalu, sekitar tahun 1950-an, Mbah Soleh mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Sebuah langkah besar untuk pendidikan formal bagi anak-anak usia SD/MI. MWB ini kemudian menjadi MI, dan konon yang pertama berdiri di Rembang.
Di sinilah semangat literasi dibumikan. Bukan hanya ngajari baca tulis dan berhitung, tapi juga membentuk watak dan keberanian.
Namun warisan terbesar Mbah Soleh bukan rotan, bukan pula bangunan pondok. Tapi semangat menyalakan ilmu. Kini kampung kami punya dua pondok, satu MI, satu madrasah diniyah, satu MTs, dan satu madrasah aliyah yang sedang dibangun.
Santrinya kini tersebar: dari kampus Timur Tengah hingga Amerika. Ada lebih dari 30 penghafal Al-Qur’an. Ada lima doktor dan master. Bahkan Yu Rimah, janda pemungut buah asem yang jatuh dari pohon, mampu menyekolahkan anaknya hingga menjadi sarjana dan guru. Itu bukan keajaiban. Itu nyala yang diwariskan.
Kiai Asmawi
Beliau badal sekaligus menantu Mbah Soleh. Kepala sekolah MWB dan khatib masjid yang tak tergantikan hingga akhir hayatnya. Waktu kecil, aku sering ngaji kuping, menyimak diam-diam dari balik dinding saat Mbah Mawi mbalah kitab.
Beliau asal Kajen, sepupu Kiai Mahfudz (ayahanda Kiai Sahal). Alim dan ikhlas, tekun dan pekerja keras. Bekerja sebagai tukang gergaji, membelah kayu dengan tenaga manual. Karena mengajarnya tak pernah dibayar. Saat diminta Mbah Bisri jadi guru negeri, ia menolak.
“Upah perjuangan jangan dipanen di dunia,” katanya.
Mbah Bisri menjawab, “Bisa dipanen di dunia dan akhirat.” Tapi Mbah Mawi tetap manut dawuh gurunya: Mbah Soleh.
Meski menolak jadi pegawai, ia tetap menentukan arah. Semua calon guru agama negeri yang hendak melamar harus dapat rekomendasi darinya. Mbah Bisri percaya pada Mbah Mawi sebagai penyaring. Kiai yang hidupnya pas-pasan dipercaya jadi penyeleksi pegawai. Karena siapa pun tahu: ilmu dan kejujurannya tak tergugat.
Mbah Mawi juga jadi ‘marketing’ kitab-kitab Mbah Bisri. Ia edarkan ke pesantren-pesantren di Jawa Tengah dan Timur. Anak-anaknya semua pintar, lulusan pondok. Salah satunya, Kiai Rofii, kini punya pondok di Mbadeg. Kitab dan tahfidz. Satu halaman dengan pondok Kiai Muzammil, keponakan Mbah Soleh.
Guru Rohmat
Beliau ayahku. Murid Mbah Soleh. Lulusan Sekolah Rakyat, seangkatan dengan Kiai Kholil (ayah Gus Yahya Cholil Staquf). Mondok di Kajen, tamat dari Matholek. Tahun 1961, jadi guru agama negeri pertama di Rembang. Yang menguji: Mbah Bisri dan Mbah Khafidz.
Tugas pertamanya di SD Mbabatan, desa basis kelompok merah. Lek Khoiron bilang, “Bapakmu pemberani, jadi guru agama di kandang palu arit. Kalau bukan santri Mbadek, nggak berani.”
Bapak cerdas. Jago debat, mantap baca kitab. Kalau ada yang ngajar salah, langsung dikoreksi. Tapi mengajarnya menyenangkan. Beliau keras, tapi tidak kejam. Tegas dan matang secara pedagogis. Banyak guru agama junior konsultasi ke beliau.
Meski guru negeri, hidupnya sangat sederhana. Rumah bilik bambu, tapi punya tanah luas. Setiap gajian, beli tanah, terutama tanah wingit yang harganya murah. Sepeda onthelnya paling bagus. Beliau selalu necis.
Katanya, “Kalau berpakaian harus bagus, agar tidak direndahkan orang. Kalau sudah punya banyak uang, baru boleh tidak necis.” Artinya: bapakku tidak punya banyak uang, karena selalu necis.
Tapi tubuhnya ringkih. Sejak mondok, paru-parunya bermasalah. Beliau wafat muda saat usiaku baru 17 bulan. Tak sempat pensiun. Hanya ada ijazah Matholek dan foto kecil yang buram. Untung Kiai Kholil, waktu itu anggota DPRD, turun tangan membantu agar ibuku dapat pensiun.
Api itu Terus Menyala
Kini, setiap haul Mbah Soleh, kami berkumpul. Bukan hanya mendoakan, tapi menyulam ulang semangat yang diwariskan: nyala ilmu, keberanian, kesederhanaan, dan pengabdian.
Dari tanah kecil Mbadeg, nama-nama besar lahir. Tapi tak satu pun melupakan akar. Mereka tahu, jalan terjal mereka dirintis oleh tangan-tangan renta yang dulu gergaji kayu, membelah batu, menebar hikmah, dan menanam nilai-nilai dasar kehidupan.
Dan kami, anak-anak kampung, adalah penjaga api itu. Agar tak padam oleh zaman. Agar tetap menyala, meski kadang hanya seperti nyala lilin di pusaran angin.