om
[:id]
Saya menghela napas ketika melihat timeline twitter menyebut Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ditetapkan sebagai tersangka penistaan Agama.
Ahok sebelumnya dilaporkan oleh Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Novel Chaidir Hasan atas pernyataannya di Pulau Seribu terkait Surat Al Maidah ayat 51. Saat itu Ahok menyatakan bahwa ia rela tidak dipilih lagi di Pilgub karena alasan keyakinan memilih pemimpin muslim seperti yang tercantum dalam surat Al Maidah ayat 51.
Tapi ia juga berharap calon pemilih tidak menelan mentah-mentah orang-orang yang menggunakan Surat Al Maidah ayat 51 untuk tujuan politis. Tapi sayangnya, seorang netizen bernama Buni Yani yang mentranskrip video Ahok tersebut, menghilangkan kata “pakai”. Sehingga pernyataan Ahok seakan-akan Surat Al Maidah membohongi umat Islam.
Kesalahan transkrip ini pun sudah diakui oleh Buni Yani. “Saya mengakui kesalahan saya sekarang. Di transkrip saya mengatakan dibohongi pakai surat Al Maidah,” kata mantan wartawan lepas dan dosen London School of Public Relations (LSPR) itu.
Tapi penetapan tersangka Ahok sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh beberapa ahli. Kasak-kusuk di grup perbincangan chat What’s app sudah mencium gelagat, bahwa di tengah perbedaan pendapat apakah ia menistakan agama Islam atau tidak, dia akan ditetapkan sebagai tersangka. Alasannya cuma satu, ini politik Pemilu Gubernur DKI Jakarta, dan yang dipertaruhkan stabilitas nasional.
Sebab setelah itu, Front Pembela Islam dan beberapa organisasi Islam lainnya berhasil menggalang ratusan ribu massa dan mengepung Istana Negara untuk menuntut penangkapan atas Ahok dan bahkan penggulingan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dianggap melindungi bekas wakil gubernurnya saat menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Demo itu akhirnya berakhir rusuh.
Karena itu saya menghela napas. Sebab, ada pikiran yang melayang akan masa depan Indonesia setelah ini. Karena penetapan tersangka Ahok secara samar-samar menunjukkan bahwa tekanan dari kelompok konservatif atau garis keras secara bertubi-tubi selama sebulan terakhir ini, akhirnya menunjukkan hasilnya. Boleh lah kita curiga, ini memang karena tekanan.
Karena seperti kata cendekiawan muslim yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif yang sudah melihat rekaman pernyataan Ahok tersebut, ia menyatakan gubernur etnis Thionghoa itu tidak melakukan penghinaan terhadap Alquran.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sekarang yang dipikirkan, apa selanjutnya? Apakah drama politik Pilgub ini akan berakhir? Mungkin tidak akan segampang itu.
Saya justru mengkhawatirkan lebih dari itu. Seperti perbincangan intensif saya via chat dengan Alissa Wahid, putri mendiang Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid: Siapa kelompok yang memegang kepemimpinan di Indonesia sekarang? Siapa kelompok yang merepresentasikan Islam di Indonesia sekarang? Apakah benar FPI? Kami berdua bertanya-tanya.
***
Dari semangat Revolusi Iran hingga demo 411
Jangan kaget dulu jika saya menyebut FPI. Karena anda mungkin tidak menyadari bahwa sepak terjang kelompok geng garis keras ini sudah terjadi jauh sebelumnya.
Bagaimana saya yakin? Pada 20–21 September saya mendampingi seorang wartawan senior penulis Doctrine Obama Jeffrey Goldberg untuk mewawancarai tokoh Islam dari liberal dan konservatif.
Kami bertemu dengan Pendiri Jamaah Islam Liberal hingga tokoh Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid. Tujuannya: mengetahui perkembangan Islam terakhir di Indonesia.
Dari wawancara maraton itu saya mendapatkan banyak ilmu. Salah satunya terkait dengan dari mana angin perubahan Islam di Indonesia ini berasal? Menurut salah satu narasumber, kebangkitan Islam konservatif justru diilhami dari Revolusi Iran pada 1977–1979.
Revolusi yang disebut sebagai terbesar ketiga di dunia itu, telah menginspirasi pemuda-pemuda Islam di Indonesia yang sebelumnya sudah memiliki kedekatan ideologis dengan wahabi di Saudi Arabia. Sebab, menurut salah satu sumber, anggota moslem brotherhood, setelah organisasi yang didirikan oleh Hasan Al Banna yang mengusung keadilan sosial itu, meneruskan pendidikannya di Universitas Madinah. Dari situlah mereka bertemu dengan pelajar dari Indonesia dan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.
Lalu, saya pun mengaitkan kebangkitan gerakan Islam progresif ini dengan hasil wawancara saat menggarap artikel tentang mengenang tragedi Mei 1998. Menurut kesaksian para aktivis 1998, kelompok ini mulai terlihat pergerakannya di kampus sejak 1980-an. Tahun di mana memakai jilbab masih dilarang di kampus-kampus. Semangat keadilan sosial inilah yang membuat gerakan ini pun berkembang, hingga pada awal tahun 2000, mahasiswa muslim dapat memakai jilbab dengan leluasa.
Gerakan mereka pun semakin solid, saat awal tahun 2002, gerakan Islam progresif ini mendeklarasikan Partai Keadilan.
Tapi gelombang Islam progresif tidak hanya menerpa satu kelompok ini, berkembang juga kelompok lainnya di kampus-kampus, ya semua berawal dari kampus, seperti Salafi dan Hizbut Tahrir Indonesia. Tak terhitung jumlah kelompok Islam progresif hingga radikal ini bertebaran di kampus-kampus.
Sayangnya, ada buah yang harus dipanen juga dari berkembangnya kelompok yang mensyiarkan Islam ini. Menurut hasil penelusuran saya saat meliput jaringan bom Thamrin di Solo, seorang sumber yang merupakan simpatisan Jamaah Islamiyah menceritakan bahwa rata-rata mujahid direkrut dari kelompok Hizbut Tahrir Indonesia atau Tarbiyah. Tarbiyah biasa diidentikkan dengan kelompok progresif di kampus.
Kini, dengan isu Al Maidah ayat 51, kelompok ini merasa memiliki satu tujuan. Memerangi seorang gubernur beragama Kristen yang dianggap melecehkan Alquran.
Saat saya meliput demonstrasi yang mereka gelar pada 4 November lalu, jika digabungkan dalam angka menjadi 411 yang mereka sebut identik dengan lafadz Allah, untuk pertama kalinya kelompok Islam progresif, konservatif, garis keras, dan radikal bersatu turun ke jalan.
Yang unik, komandan dari kelompok itu adalah Rizieq Shihab, pemimpin organisasi paling intoleran di Indonesia, yakni Front Pembela Islam.
Tahun 2016: Gesekan dengan kelompok garis keras
Tapi kesolidan dari kelompok ini sebenarnya juga tak lepas dari beberapa situasi belakangan yang membuat gerakan ini semakin berbaris rapi. Sebut saja peristiwa pecahnya isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) pada Januari tahun ini.
Saat itu, rakyat Indonesia bahkan terbagi menjadi dua. Mereka yang acuh atau sebaliknya peduli terhadap kelompok minoritas LGBT, atau mereka yang sama sekali anti atas nama moralitas dan keyakinan.
Lalu isu lainnya adalah upaya pengungkapan kasus Genosida tahun 1965 lewat Simposium yang digelar di Hotel Arya Dhuta pada April lalu, telah menyebabkan gesekan lebih dahsyat dengan, lagi-lagi FPI. Para petinggi kelompok ini terlihat sangat mesra dengan pensiunan-pensiunan jenderal Tentara Nasional Indonesia yang juga merupakan anak buah paling korup Soeharto.
Saya sendiri menjadi salah satu korban amuk massa FPI. Pada saat para pensiunan jenderal dan FPI menggelar acara simposium 1965 tandingan, mereka mengusir saya dari Balai Kartini, tempat acara itu diselenggarakan.
Lalu tiba-tiba gerakan itu menemukan momennya lagi, kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Mereka merasa dipersatukan oleh kasus ini.
Sayangnya, kelompok Islam moderat yang sebenarnya diharapkan menjadi penengah seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terlihat tak kompak. Ikon kelompok pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak ikut turun ke jalan. Ditambah pernyataan tetua NU Said Aqil Siraj yang mengatakan pernyataan Ahok menyinggung umat Islam.
Meski Sidney Jones, dalam sebuah wawancara dengan TIME mengatakan bahwa Very few people have had the courage to suggest that what Ahok said was aimed not at the Quran, but at the people who were using a Quranic verse to suggest that a non-Muslim couldn’t govern Muslims.
Itu berarti, pernyataan Ahok adalah kritik atas kampanye hitam dalam pemilu atas nama agama. Sayangnya, ia kurang beruntung, karena latar belakangnya sebagai seorang Thionghoa dan kristen.
Meski, kata Russel Dunne di artikelnya New Mandala mengatakan, Ahok is being Ahok. He is being honest, blunt and effective. Ahok like Jokowi, the previous incumbent of his job, is enforcing laws. In being effective at his job Ahok is hitting the FPI and their Preman associates where it hurts them the most?—?in their wallets.
Menyerahkan Islam pada kelompok garis keras?
Lalu apakah setelah kasus penistaan agama ini kelompok garis keras akan menjadi pemimpin dan panutan Umat Islam di Indonesia selanjutnya?
Kegelisahan Alissa Wahid tentu perlu ditampung, sebab dalam pandangan saya saat sekolah dulu, saat ayahnya Gus Dur menjadi presiden, saya membayangkan masa depan muslim di Indonesia seperti dia. Muda, kritis, toleran, dan menghargai kelompok minoritas bahkan LGBT. Dia tidak pernah larut dalam diskusi yang membuang-buang waktunya, tidak pula memancing kontroversi.
Bersama gerakan Gusdurian, dia memikirkan bagaimana mewujudkan Indonesia tetap dengan kebegaragamannya. Indonesia dengan muslim yang lebih relaks. Indonesia yang menghargai demokrasi di atas perbedaan kelas dan golongan.
Tapi sayangnya, mimpi itu masih jauh. Indonesia makin tidak toleran belakangan ini.
Nah, dengan kondisi saat ini, saya pun bertanya, apakah kita secara perlahan sedang menyerahkan representasi umat Islam Indonesia pada tangan kelompok garis keras?
*) Pertama kali dipublikasikan di medium.com