Mungkin belum ada tokoh Islam yang punya aura sekharismatik dan se-eksentrik Habib Rizieq Shihab. Eksistensinya selalu jadi buah bibir. Belum lagi, ditengah situasi masyarakat yang saat ini sangat lekat dengan guyonan dan hal-hal satir di ruang maya, menambah sensasi buah bibir tersebut.
Kabarnya, sebentar lagi Habib Rizieq akan pulang ke Indonesia dan memimpin revolusi. Demikian kata Ahmad Shabri Lubis, Ketua Umum FPI. Bahkan, agenda ‘revolusi’ ini juga dikemas dengan serius melalui judul woro-woro i’lan min makkah al-mukarromah (pengumuman dari kota Suci Makkah). Kharisma transenden beliau tidak perlu diragukan lagi.
Sehingga, tidak perlu diragukan lagi kebertubuhan Habib Rizieq Shibab dengan Islam, Kota Mekkah, dan segerobak simbol Islam lainnya. Meskipun, di Mekkah ia bertemu Tommy Soeharto.
Akan tetapi, mungkinkah Habib Rizieq memimpin revolusi? Anak Tik-Tok mungkin akan menjawab “Mau Nyoba-Nyoba Revolusi Check.” Pertama, rekam portofolio beliau atas kemegahan dan berjilid-jilidnya aksi bela Islam beberapa tahun lalu menunjukkan, secara basis massa―baik itu dari segi kuantitas massa dan kerekatan kohesinya―beliau punya potensi.
Hanya saja, masalah di depan yang perlu ia tangani adalah, ia harus bisa memastikan kuantitas dan kohesi massanya terus berakumulasi sampai dengan jumlah energi yang dibutuhkan untuk mereset Indonesia. Namun, itu bukan satu-satunya masalah. Kalaupun ia sudah berhasil mengakumulasi basis massa, maka, di depan ia juga harus mampu memastikan ketahanan basis massanya jika harus bergesekan dengan basis massa dari ormas ataupun gerakan lain, baik itu yang berbasis agama ataupun non.
Kedua, kohesi massanya harus diikat dengan grafik kemarahan terhadap pemerintah dan sistem pemerintahan di Indonesia yang terus menanjak. Beberapa tahun lalu, berkat Ahok dan seabreg konten post-truth di internet, kohesi dan grafik kemarahan massa tersebut telah berhasil mencapai check point yang optimal.
Karena kohesi dan kemarahan tersebut telah mengalami cooling down saat pasca-pilpres, kini riwayatnya yang telah menjadi kenangan itu hanya perlu panaskan kembali agar dapat difungsikan ulang sebagai energi pendobrak. Masalahnya, Ahok sudah selesai. Musuh bersama telah hilang. Maka, kalau ingin dipanaskan kembali, ya butuh musuh bersama baru.
Kemarin, basis massa Habib Rizieq terlihat menemukan objek perekat baru, Omnibus Law. Meskipun kita belum tau akan setekun apa basis massa Habib Rizieq mengganyang Omnibus Law ke depan, tapi posisi sikap yang kini mereka tampilkan cukup menarik.
Ibarat bulan yang mengitari bumi, dulu pada awalnya FPI dan ormas serumpunnya adalah aktor politik ‘satelit’ yang tugasnya kadang cuma sekedar ‘bantu-bantu’ di sekitar episentrum politik. Namun di pilpres 2019 kemarin, mereka ditarik ke tengah dan ‘disuruh’ mengerjakan tugas utama kompetisi elektoral: membuat basis dan polarisasi calon pemilih. Bulan yang awalnya mengitari, kini ditarik dan menubruk Bumi.
Sebagaimana politik di Indonesia yang kental tradisi ‘balas budi,’ dulu juga sempat ada kabar bahwa pentolan-pentolan kelompok Islamis dijanjikan posisi politik oleh salah satu calon presiden bila ia terpilih. Namun dibalik itu semua, dan dibalik betapa dulu gontok-gontokannya NU dengan kelompok Islamis, ada kekuatan oligarki yang mendalangi pilpres. Dengan kata lain, satu, ternyata persaingan kuasa di Indonesia bukan tentang Islamis vs Nasionalis, tapi tentang Islamis vs Nasionalis vs Teknokratis (oligarki). Kedua, masalahnya, Islamisme dan Nasionalisme kerap terjebak dimanfaatkan oleh oligarki.
Pilpres 2019 selesai, dan dimasukkannya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi menandakan fase awal konsolidasi oligarki atas biaya yang telah dikeluarkan saat kampanye lalu. Konsolidasi oligarki semakin menjadi-jadi dengan disahkannya UU KPK dan Omnibus Law. Basis massa Habib Rizieq yang dulu secara muatan narasi dan cara gerak sering bertentangan kelompok nasionalis, kini berdiri satu suara menentang oligarki.
Cakupan Omnibus Law yang luas dapat menyatukan keresahan bermacam kelompok pada satu pendirian yang sama. Bagi kelompok Islamis, Omnibus Law telah mengusik perasaan termarginalisasi dari kue ekonomi dan perasaan ‘keterbelakangan islam’ yang sejak lama telah mereka pendam. Bagi kelompok Nasionalis, Omnibus Law jelas berpotensi besar melukai hak-hak adat, keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan masayarakat. Bagi buruh, aktivis, pengamat dan stakeholder lainnya, Omnibus Law adalah ancaman kongkrit.
Akan tetapi, sejauh apa resistensi masyarakat tersebut dapat bertahan, atau dapat berubah menjadi revolusi, tergantung pada seberapa keras kepalanya pemerintah terhadap Omnibus Law, dan tergantung seberapa marahnya publik terhadap pemerintah. Karena, Omnibus Law menyimpan potensi menjadi gerbang awal atas kemarahan publik yang meninggalkan trauma terhadap gurita oligarki, sebagaimana marahnya masyarakat Prancis terhadap Monarki di tahun 1789.
Selain bergantung pada akumulasi kemarahan publik, skenario revolusi juga bergantung pada kemampuan kelompok dalam melakukan tindakan ekstra-konstitusional. Kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Anarko, Marxisme dan sejenisnya, biasanya akrab dan paham mana saja yang perlu dihancurkan dan mana yang perlu diperbaharui. Inilah sebabnya, meskipun tidak selalu, tapi sering kali revolusi butuh biaya darah.
Mungkinkah kelompok-kelompok di Indonesia punya keberanian melakukan revolusi? Tidak ada jawaban pasti dalam dinamika sosial. Namun, di antara bermacam kelompok, basis massa Habib Rizieq adalah satu-satunya kelompok yang punya pengalaman tindakan ekstra-konstitusional yang teraktual. Hanya saja, pada ambang batas represi seperti apa yang dapat membuat Habib Rizieq mau memperluas spektrum tindakan ekstra-konsitusionalnya, dari sekedar aksi bela Islam menjadi aksi jihad Islam?
BACA JUGA Membaca Setrategi Revolusi Habib Rizieq Lewat Anime One Piece
Akan tetapi, masalah lain yang muncul setelah pertanyaan itu adalah, sering kali revolusi mengambang pada proses destruksi rezim/sistem yang sedang berkuasa dan meninggalkan kebingungan dalam menentukan desain bentuk sistem baru yang hendak dibangun, yang sering kali justru malah menimbulkan gontok-gontokan baru antar sesama kelompok pelaku revolusi. Dan kalau memang Habib Rizieq hendak melakukan revolusi, pastikan dulu beliau punya desain sistem baru yang jauh lebih ideal dibanding sistem yang hendak dihancurkan.
Desain sistem baru perlu dimatangkan sebelum revolusi. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar sistem yang baru punya signifikansi yang jelas, dan bukan malah jauh lebih timpang ataupun tiranik―baik itu dari segi hubungan antar kelas ataupun identitas.
Meski begitu, uraian yang telah penulis paparkan jangan buru-buru dipercaya. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa kata ‘revolusi’ yang dimaksud Ahmad Shabri Lubis punya makna yang jauh lebih sederhana dan jauh lebih rendah hati dibanding makna kata ‘revolusi’ yang ada di literatur teoritik. Jadi, belum bisa diketahui apakah Habib Rizieq akan memperlakukan oligarki sebagaimana Josef Stalin memperlakukan keluarga Tsar? Atau apakah hanya sekedar membesarkan volume toa mobil pick-up supaya gema takbir bisa lebih menggetarkan?