“Hari ini kita bersama-sama menundukkan wajah dan membungkukkan badan di hadapan beliau Bapak Ali Audah. Saya pribadi, kalau boleh jujur mempraktekkannya, tidak akan menundukkan wajah, melainkan menutupi wajah, karena rasa malu yang mendalam kepada beliau. Saya juga tidak akan membungkukkan badan, melainkan melarikan diri dan bersembunyi, karena rasa tak berharga di hadapan beliau.”
Itulah sebagian penggambaran budayawan Emha Ainun Najib tentang sosok Ali Audah. Tokoh yang satu ini adalah seorang dikenal sebagai seorang sastrawan yang handal. Ali audah, pria kelahiran di Bondowoso, Jawa Timur, 14 Juli 1924 dalah seorang yang tidak terpisahkan dalam sejarah sastra di tahan air. Masa kecilnya sangat berliku. Ayahnya Salim Audah meninggal ketika dirinya berumur 7 tahun. Ibunya Aisyah Jubran yang kemudian membentuk karakter Ali Audah.
Membaca riwayat hidupnya Anda akan berdecak kagum. Sastrawan, inteletual dan penerjemah andal ini tidak tamat madrasah ibtidaiyah. Mantan ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) bahkan pernah menjadi pembantu rektor sebuah perguruan tinggi. Ali Audah belajar membaca dari kawan sepermainan tahun 1930-an.
“Saya belajar membaca dan menulis dengan mencoret-coret huruf di tanah sambil main gundu,” tuturnya seperti dikutip dalam blog
Selebihnya kesehariannya hanya bermain layang-layang atau mandi di kali seperti layaknya anak-anak bengal lainnya. Saking bengalnya Ali pernah dikerangkeng.
Namun kemauan belajarnya keras dalam belajar menghantarkannya sebagai seorang yang luar biasa keilmuannya. Ia belajar secara otodidak dan gemar membaca buku apa saja. Sejak mampu membaca dan menulis di usia SD, Ali Audah kecil mempunyai keingintahuan yang luar biasa
“Saya baca apa saja, mulai dari kertas koran pembungkus kue atau gula pasir, sampai majalah bekas dan buku-buku pelajaran atau bacaan anak-anak sekolah kawan sepermainan,” tuturnya.
Tahun 1940-an, Ali mendapatkan hadiah sebagai juara dalam lomba menulis puisi dan drama se Jawa Timur. Ali juga sangat terkesan dengan karya-karya pengarang Muhammad Dimjati.
Bahkan dirinya berusaha mencari dan berkenalan dengan wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal di tahun 1950-an itu di Solo.
“Saya banyak belajar dan mendapat dorongan semangat dari Pak Dim yang tinggal di sebuah rumah sederhana di perkampungan batik di Laweyan,” tuturnya lagi.
Beberapa karyanya di antaranya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi – alihbahasa dari karya wartawan dan sastrawan Mesir terkenal, Dr. Muhammad Husain Haekal, Terjemahan dan Tafsirnya karya mufasir terkenal, Abdullah Yusuf Ali, penerbit Pustaka Firdaus) . Buku Konkordansi Qur’an, Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an yang diterbitkan Litera AntarNusa dikenal sebagai salah satu karya masterpiecenya. Ide menyusun konkordansi itu muncul ketika beberapa dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) mengeluh sangat sulit mancari ayat Al-Quran karena mereka kurang mengenal Bahasa Arab. Konkordansi Ali Audah ini memang sangat memudahkan bagi orang awam sekalipun untuk mencari ayat Al-Quran.
Di antara buku terjemahannya yang paling terkenal adalah Sejarah Hidup Muhammad, juga karya Muhammad Husain HaikalPertama kali terbit pada 1992, buku itu sudah dicetak ulang puluhan kali.
“Saya hanya menerjemahkan karya-karya besar yang saya nilai bermutu dan bermanfaat,” katanya suatu saat.
Wartawan senior Budiman S Hartoyo almarhum menulis tentang sosok ali Audah, “Tokoh kita ini berpembawaan tenang dan pendiam. Sifat itu pula agaknya yang berpengaruh atas perjalanan karirnya sebagai sastrawan. Sebagaimana terungkap dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (Pustaka Grafiti, Jakarta), ia berhasil mengangkat namanya di gelanggang sastra tidak dengan cara yang meletup-letup, sementara popularitasnya juga ajeg. Itu tak berarti tak ada frustrasi dalam diri tokoh novelnya, Jalan Terbuka.”
Tulisalnnya banyak muncul di Harian Pedoman, Abadi, Indonesia Raya, Kompas, Sinar Harapan, dan beberapa majalah seperti Kiblat, Gema Islam, Panji Masyarakat, Optimis, TEMPO. Karya-karya sastranya, berupa cerita pendek, esai, maupun karya terjemahan, dimuat di beberapa majalah sastra dan budaya terkemuka, seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Indonesia, Kisah, Cerita, Sastra, Budaya Jaya, Horison
Berikut adalah karya sastra Ali Audah: Malam Bimbang (Nusantara, Medan, 1961) dan Icih (Pustaka Jaya, Jakarta, 1972), keduanya kumpulan cerpen; serta novel Jalan Terbuka (Litera, Jakarta, 1971). Buku lainnya, Ibn Khaldun, Sebuah Pengantar (studi biografi); Konkordansi Qur’an (referensi, 1991). Beberapa karya terjemahan, antara lain, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya Muhammad Allamah Iqbal (bersama Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad); Dua Tokoh, Abu Bakar dan Umar; serta Hari-hari Berlalu, keduanya karya sastrawan Mesir, Thaha Husain. Selain itu juga Lampu Minyak Abu Hasyim karangan Yahya Haqqi, juga sastrawan Mesir terkenal.
Ia juga menerjemahkan kumpulan cerpen pengarang Arab modern, Kleopatra dalam Konperensi Perdamaian (Mahmud Taymur) dan Genta Daerah Wadi (1967); karya sastrawan Mesir seperti Suasana Bergema (kumpulan cerpen pengarang Mesir A. Hamid G. As-Sahar, Balai Pustaka, 1957); Kisah-kisah dari Mesir (1977); Murka (drama, Mustafa Hallaj); Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Hussein Heikal) dan Lorong Midaq (Najib Mahfuz). Karya sastrawan Aljazair, misalnya, Peluru dan Asap (Alma’arif, Bandung, 1972); Jembatan Gantung (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1980). Selain itu juga Oedipus dan Theseus, keduanya karya Andre Gide; Marie Antoinette (Stefan Zweig). Ali Audah wafat di usia yang ke 93 tahun selasa lalu (20/7).
Selamat jalan Pak Ali. Al Fatihah…