Abu al-Ala al-Maarri, Penyandang Disabilitas yang Produktif Berkarya

Abu al-Ala al-Maarri, Penyandang Disabilitas yang Produktif Berkarya

Banyak ulama difabel yang fenomenal dalam sejarah peradaban Islam, salah satunya adalah Abu al-‘Ala al-Ma’arri

Abu al-Ala al-Maarri, Penyandang Disabilitas yang Produktif Berkarya

Dalam sejarah peradaban Islam, mereka yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental ternyata banyak mempunyai kontribusi baik itu dalam keilmuan maupun lainnya. Salah satu nama yang yang tercatat adalah Abu al-‘Ala al-Ma’arri.  Beliau merupakan ulama dan sastrawan yang mempunyai kontribusi besar dalam sejarah peradaban Islam, walaupun beliau adalah merupakan penyandang disabilitas. Namun, keterbatasan fisiknya tidak menghalanginya untuk belajar mencari ilmu dan berkarya untuk membangun peradaban.

Abu al-‘Ala al-Ma’arri bernama lengkap Ahmad bin Abdullah bin Sulaiman bin Muhammad at-Tanukhi, yang kemudian dikenal dengan Abu al-‘Ala. Sedangkan nama al-Ma’arri adalah nisbah terhadap kota kelahirannya yaitu Ma’arratun Nu’man, sebuah daerah yang kini masuk dalam bagian negara Suriah. Al-Ma’arri lahir pada tahun 363 H/1058 M dan besar di Ma’aaratun Nu’man.

Al-Ma’arri besar di lingkungan keluarga yang mempunyai perhatian tinggi dalam hal ilmu dan pendidikan, karena beliau berasal dari Bani Sulaiman yang merupakan keluarga bangsawan di Ma’arra dari suku Tanukh. Sejak kecil al-Ma’arri semangat belajar dasar-dasar ilmu agama, bahasa dan sastra kepada ayahnya dan para ulama yang ada di Ma’arratun Nu’man. Pada waktu itu, daerah Ma’arratun Nu’man adalah daerah yang ditinggali oleh banyak ulama. Setidaknya ada sekitar 21 ulama dan 29 sastrawan yang tinggal di kota tersebut.

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Jundy dalam Kitabnya al-Jami fi Akhbari Abil Ala al-Ma’arri, bahwasanya ketika usia empat tahun al-Ma’arri terkena penyakit cacar yang mengakibatkan kebutaan pada matanya. Karena mata kanannya tertutup selaput putih dan mata kirinya total tidak bisa melihat. Wajahnya bopeng karena bekas cacar, badannya kurus dan rupanya buruk.

Akan tetapi, keterbatasan fisiknya tidak menghalanginya untuk terus belajar dan menuntut ilmu. Kota lahirnya yang kaya akan ulama ia manfaatkan untuk menimba ilmu kepada mereka, salah satunya adalah Abu Hamzah yang bermazhab Hanafi. Beliau kemudian banyak belajar berbagai disiplin keilmuan kepada para ulama yang ada di kota kelahirannya tersebut. Mulai dari tafsir, hadis, fiqh dan sejenisnya. Tetapi bakatnya yang besar justru pada bidang sastra. Karena beliau sangat mengagumi penyair Arab terbesar sepanjang sejarah yaitu Al-Mutanabbi (915 M).

Sejak usia muda, al-Ma’arri sudah kehilangan ayah dan ibunya yang menjadi tumpuan hidupnya. Orang tuanya meninggal dunia pada saat usia masih muda dan masih membutuhkan bimbingan dari mereka. Hal tersebut membuat kehidupannya semakin tertekan, karena Kebutaan yang dialaminya mengakibatkan tidak bisa mengetahui kebiasaan masyarakat sekitarnya. Padahal ia adalah sosok yang sangat takut berbuat salah dan mendapat ejekan karena ketidaktahuannya. Hal itulah yang kemudian membuat al-Ma’arri merasakan kehidupannya penuh dengan kesulitan dan penderitaan.

Lewat perjalanan hidupnya tersebut, al-Ma’arri kemudian mengekspresikan kesedihan dan penderitaannya lewat sebuah karya, sehingga menjadi sosok penulis produktif dengan ratusan karya dalam berbagai bidang baik dalam filsafat, sosial, politik, pemikiran keagamaan, kebahasaan dan sastra. Lewat puisi-puisinya yang penuh dengan pesan-pesan moral dan juga kesedihan, al-Ma’arri dikenal oleh publik sebagai sosok sastrawan.

Salah satu syairnya adalah tentang tujuan diciptakannya manusia yang terdapat dalam Siqtu az-Zand.  Yang salah satu arti teksnya sebagai berikut: Manusia diciptakan untuk hidup abadi tapi banyak orang tersesat # mereka menyangka hidup itu untuk mati. Mereka hanyalah berpindah dari kampung bekerja # menuju kampung kesengsaraan dan kebahagiaan.

Dalam syair tersebut, al-Ma’arri menjelaskan bahwasanya tujuan diciptakannya manusia adalah untuk hidup abadi di akhirat, bukan untuk hidup yang fana di dunia. Manusia semuanya akan berpindah dari kampung dunia yang hanya untuk bekerja menuju kampung akhirat dengan dua pilihan, sengsara atau bahagia.

Di tengah keterbatasan fisiknya, al-Ma’arri mampu mengungkapkan alam pikirannya dan sejajar dengan orang-orang yang mempunyai fisik sempurna. Dalam karya-karyanya, beliau mampu menghadirkan aspek filsafat dalam karya sastra, yang jika dibaca sekilas seperti sebuah ratapan. Namun jika ditelaah lebih dalam, sangat kental dengan unsur-unsur filsafat.

Keadaannya sebagai penyandang disabilitas tidak membuatnya putus harapan untuk terus belajar, justru menjadi hikmah yang besar. Keadaan itu membuat pikirannya berkembang cepat, ingatannya sangat kuat dan genius. Beberapa orang menulisnya sebagai “A’jubah min A’ajib al-Zaman” (salah satu tokoh yang sangat mengagumkan).

Abu al-‘Ala al-Ma’arri juga dikenal sebagai seorang cendikiawan, pemikir bebas dan filsuf. Tetapi namanya lebih masyhur sebagai penyair kelas atas dan sastrawan besar. Beliau meninggal pada 449 H di masa khalifah al-Qaim al-Abbasi, meninggalkan banyak karya di antaranya: Risalah al-Ghufron, Risalah al-Malaikat, Diwan Siqtuz Zand, Luzumiyat, Risalah Fushul wa Ghayah, Risalah al-Hina’.

Sosok al-Ma’arri menunjukkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga yang diciptakan dengan fisik yang baik, jangan sampai meremehkan mereka yang mempunyai keterbatasan fisik, karena semua orang di hadapan Tuhan sama. (AN)