Pernahkah terlintas di benak Anda mengapa intoleransi sepertinya semakin marak di Indonesia? Pencarian dalam literatur psikologi dengan dipandu pertanyaan ini mengantarkan saya pada penemuan ini: manusia adalah mahkhluk sosial. Saya tahu ini bukan kabar baru. Yang baru, minimal bagi saya, adalah fakta bahwa kebutuhan kita untuk berelasi dengan manusia lain membuahkan mekanisme-mekanisme psikologis tertentu yang dapat menghasilkan sikap yang secara superfisial terasa kontradiktif dengan tujuan awal mekanisme itu tersusun: intoleransi terhadap manusia lain.
Dari kebutuhan untuk merekatkan hubungan antar manusia, muncul mekanisme loyalitas pada kelompok. Keberadaan mekanisme perekat kohesivitas kelompok macam ini sangat penting bagi kelangsungan hidup karena dahulu kala terpisah atau dikucilkan dari kelompok dapat membuat manusia lebih rentan diserang (dan kalah melawan) predator yang secara fisik lebih kuat semacam harimau atau beruang.
Jutaan tahun hidup seperti ini tak pelak membuat manusia menumbuhkan mekanisme psikologis semacam konformitas (lebih baik nurut lah daripada dimakan harimau), kesedihan atau bahkan kepedihan tiada tara ketika kita merasa sendiri dan terkucilkan dari lingkungan sosial, serta kecenderungan tak sadar untuk selalu mengikuti arahan kelompok yang menjadi identitas sosial kita.
Perlu diingat, loyalitas kelompok ini tak selalu melekat pada etnisitas. Ia melekat pada segala macam identitas sosial. Ia bisa melekat pada identitas keagamaan, identitas rasial, identitas kedaerahan.
Loyalitas ini memunculkan hal-hal baik sebenarnya. Ia memunculkan empati dan altruisme pada sesama anggota kelompok. Namun sayangnya, sebagaimana terekam dalam berbagai riset mengenai psikologi kelompok (misalnya eksperimen terkenal dari Muzafer Sherif, juga eksperimen Henry Tajfel), identifikasi pada satu kelompok ini membawa dampak sampingan. Orang jadi cenderung menganakemaskan kelompoknya sendiri dan mendiskriminasi kelompok lain dalam banyak hal: dalam mengevaluasi suatu berita, dalam menilai suatu kejadian, dalam mengalokasikan sumber daya yang ada, dan sebagainya.
Menariknya, nyaris semua mekanisme otak yang menghasilkan keputusan atau tindakan ini bisa dibilang terjadi di luar kesadaran kita. Kita tidak dengan sengaja atau penuh kesadaran melakukan ini. Nalar kita dengan cerdik memberi pembenaran untuk semua hal yang kita lakukan itu, untuk semua bias kita dalam memandang liyan, memandang mereka yang bukan bagian dari kita, sebagaimana diulas panjang lebar oleh Jonathan Haidt, seorang ahli psikologi yang mendalami soal moral dalam bukunya “the Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion.”
Mekanisme psikologi kelompok juga membuat orang cenderung memberi streotipe dan memandang outgroup atau kelompok lain sebagai lebih homogen dari seharusnya. Hal negatif dalam diri seorang anggota kelompok cenderung dianggap merepresentasikan keseluruhan kelompok. Beberapa koruptor di kelompok lain dijadikan bukti bahwa seisi kelompok tersebut memang tidak bermoral, sementara beberapa koruptor dalam kelompok kita diberi keistimewaan benefit of the doubt “jangan dihakimi dulu sebelum pengadilan memutuskan bersalah”, “diingatkan dengan baik-baik”, dan dianggap sebagai sekadar penyimpangan, sekadar “oknum” yang tak mewakili keseluruhan kelompok. Kita melupakan bahwa di dalam kelompok lain pun, selalu ada keragaman, selalu ada individu-individu dengan keunikan dan kemandirianya masing-masing
Mekanisme-mekanisme psikologis semacam ini lebih melandasi sikap intoleransi ketimbang apa isi ideologi atau keyakinan masing-masing kelompok. Artinya, mencoba melawan intoleransi dengan memberi wacana tandingan yang diposisikan secara diametral tak akan banyak berguna karena upaya macam ini hanya menegaskan identitas kelompok. [Bersambung]