Revisi sila pertama dalam Pancasila melahirkan sejumlah konsekuensi besar. Oleh sebagian pakar, pengubahan itu dipandang sebagai bentuk toleransi keagamaan di Indonesia, sebagian lagi menganggapnya sebagai sikap gegabah Mohammad Hatta. Sementara itu, kelompok lainnya menolak sampai mendeklarasikan perang melawan NKRI.
Ketika dirumuskan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Juni 1945, sila pertama Pancasila (saat itu naskahnya dikenal dengan Piagam Jakarta) berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Perumusan itu berjalan dengan alot, muncul seiring dengan perdebatan hubungan antara agama dan negara di Indonesia.
Kendati demikian, Panitia Sembilan, badan kecil yang bertugas merumuskan dasar dan ideologi bangsa Indonesia bersepakat untuk menyetujui rumusan sila itu; yang salah satu bunyinya memuat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Di antara sembilan anggota panitia, hanya satu yang non-muslim, yaitu A.A. Maramis. Ia berpandangan bahwa kalimat itu tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain, serta penetapannya bukanlah suatu diskriminasi.
Namun, berbeda halnya ketika naskah Piagam Jakarta itu mulai tersebar luas. Sore hari selepas proklamasi kemerdekaan dibacakan, Mohammad Hatta kedatangan seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Di Indonesia masa itu, Kaigun berkuasa di wilayah Indonesia timur dan Kalimantan.
Dalam buku autobiografinya, Mohammad Hatta: Memoir (1979), ia (Hatta) menyatak telah lupa nama utusan Kaigun tersebut. Namun pesannya berujar bahwa “wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang [tinggal di wilayah yang] dikuasai Kaigun, sangat berkeberatan terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Tujuh kata itu dinilai amat sensitif dan menyinggung orang-orang non-muslim Indonesia. Hal ini juga ditegaskan oleh Johannes Latuharhary ketika ia menyatakan “kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan,” protesnya sebagaimana dikutip dari Piagam Jakarta 22 Juni (1981).
Melihat potensi cerai-berainya negara Indonesia yang baru diproklamasikan itu, Moh. Hatta memutar otak, ia pun menerima keberatan penyantuman “syariat Islam” dalam dasar negara yang dapat ditafsirkan sebagai diskriminasi pada golongan minoritas.
Hatta berpandangan bahwa ancaman ini amat serius sehingga “jika diskriminasi itu ditetapkan, mereka [Indonesia timur] lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.”
Apabila ancaman dari utusan Kaigun itu bukan gertakan sambal belaka, maka kondisi Indonesia dalam keadaan berbahaya. Perpecahan itu bisa jadi akan dimanfaatkan Sekutu untuk menerkam Indonesia timur dan mengadu-domba rakyat Indonesia.
Karena itulah, esoknya pada 18 Agustus 1945, Hatta melobi Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim (ada yang menyatakan bahwa Wahid Hasyim tidak hadir), Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk merevisi Piagam Jakarta tersebut.
Setelah rapat alot, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan berganti: “Ketuhanan yang Maha Esa”. Ketika disidangkan dalam rapat PPKI, keputusan itu disetujui dengan suara bulat.
Sampai saat ini, utusan yang dianggap Kaigun oleh Mohammad Hatta itu masih menjadi misteri sejarah. Bahkan, ada pakar yang menganggapnya sebagai akal-akalan pemuda di masa itu dan Hatta termakan gertakan sambal (hoaks) sehingga gegabah merevisi sila pertama Pancasila.
Namun, kelima sila yang kita jumpai sekarang adalah sila yang utuh disepakati founding fathers Indonesia. Jikapun dianggap bahwa penghapusan tujuh kata itu adalah bentuk toleransi keagamaan, pemimpin Islam di masa silam sudah bermurah hati melepas kata “syariat Islam” demi persatuan Indonesia, kendati penduduk muslim tercatat sebagai mayoritas 90 persen populasi Indonesia pada 1945.
Negara Islam Indonesia (NII) Menolak Pancasila
Akan tetapi, keputusan itu nyatanya tidak menyenangkan semua kelompok Islam. Seorang tokoh pentolan muslim kala itu, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (SMK) menolak keras pengubahan sila pertama Pancasila. Bahkan, kabarnya SMK juga mengusulkan ide pembentukan negara Indonesia merdeka yang memberlakukan syariat, yang disampaikan melalui wakil-wakilnya seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi dalam sidang BPUPKI.
Bunyi Piagam Jakarta dengan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” juga lahir dari ide SMK melalui wakil-wakilnya di atas. Karena itulah, ketika kalimat “syariat Islam” dihapuskan, SMK meminta agar Kiai Joesoef Taudjiri memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Namun, permintaan itu ditolak oleh Kiai Joesoef.
Setelah serangan Agresi Militer Belanda I dan II, SMK kian yakin untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). SMK menganggap bahwa revisi Pancasila telah menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler atau negara kafir.
Sebagai respons atas hal tersebut, pada 7 Agustus 1949, SMK menerbitkan Maklumat NII No. 7 yang berisi pernyataan bahwa NII telah berdiri. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) diumumkan di desa Cisampah, Tasikmalaya.
SMK mengangkat dirinya sendiri sebagai imam, panglima tertinggi NII. Ia menganggap bahwa Pancasila adalah jahiliah bentuk baru. Pancasila yang sekuler, dalam pandangan SMK, telah menjadi berhala yang disembah di Indonesia. Ideologi tersebut adalah campuran berbagai paham, seperti Shintoisme Jepang, Animisme Indonesia, Hokkoitjiu atau teori kemakmuran Asia Timur Raya, dan Nasionalisme Indonesia jahil yang bercorak komunisme (Konsep Negara Indonesia Menurut S.M. Kartosoewirjo, 1999: 121).
Akhirnya, setelah 13 tahun memperoleh status pemberontak oleh pemerintah Indonesia, SMK diringkus dan dijatuhi hukum mati dengan ditembak oleh aparat di Kepulauan Seribu (1962). Meskipun sudah dijawab dengan timah panas, rupanya penolakan atas penghapuskan tujuh kata dalam Pancasila belum benar-benar redup.
FPI Menolak Sila I Pancasila
Usaha untuk mengembalikan tujuh kata yang dihapus itu juga dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI). Meskipun saat ini, organisasi FPI sudah dilarang pemerintah dan tidak boleh beroperasi lagi. Namun, ide untuk mengembalikan tujuh kata itu berkali-kali mereka gaungkan. Misalnya, pada 17 Agustus 2003, FPI menuntut MPR/DPR untuk mengubah Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta yang dirumuskan selama sidang BPUPKI.
Tidak hanya itu, pada 2020 lalu, Persaudaraan Alumni (PA) 212 juga meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta kembali dimasukkan sebagai sila pertama Pancasila. Komentar PA 212 itu merupakan tanggapan atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sempat ramai dibahas tahun lalu.
Pengembalian tujuh kata itu dapat dipandang sebagai usaha untuk melakukan dominasi agama dalam negara. Kendati pemimpin Islam di masa silam sudah bertoleransi merelakan tujuh kata itu dihilangkan, namun tidak demikian bagi kelompok Islam yang lain. Upaya-upaya pengembalian “syariat Islam” terus dilancarkan, bahkan mungkin hingga sekarang melalui lobi-lobi politik tertentu.
Namun, yang harus diingat, pengubahan itu sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tokoh Cendekiawan Islam Muhammad Imaduddin Abdulrahim, salah seorang penggagas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menyatakan bahwa kelima sila dalam Pancasila sejatinya adalah saripati ajaran Islam yang digali tokoh pendiri republik ini. Pancasila adalah sumbangsih Islam untuk Indonesia atau juga bagi kemanusiaan yang universal.