Saya tersentak atas satir yang diungkapkan Goenawan Mohamad di salah satu bukunya “Yang salah bukan agamanya, melainkan orangnya, begitu dikatakan. Jika demikian, tak mampukah agama mengubah kebuasan manusia?” saya kemudian lantas berpikir, jika kemudian kita melakukan kekerasan atas nama agama, berarti agama mendogmakan kekerasan. Jika kemudian kita bersikap buruk namun di sisi lain kita marah agama kita dilecehkan karena sikap kita tersebut, bukankah kita telah gagal mengambil makna yang penting dari agama?
Beragamalah dengan agama cinta, demikian yang pernah dikatakan Rumi. Sebab dalam cinta, “aku” dan “egoku” menjadi lenyap. Yang ada hanyalah ia yang dicintai. Maka dari itu, dengan beragama cinta, tidak ada lagi aku, agamaku, maupun aliranku. Aku ingin kita memasuki surga dan kita bersama menemui Tuhan dalam perjumpaan yang indah. Karena cinta, kita menjadi taklid, namun taklid dalam berkurban, melakukan kebaikan dalam hal apa pun. Tidak ada lagi perhitungan untung rugi.
Cinta merupakan dasar pergerakan alam semesta ini. Cinta adalah energi dasar segala perputaran, kebersatuan dan perpisahan. Jika kita selama ini terpaku pada konsep jiwa sebagai substansi, ternyata cinta jauh lebih halus daripada jiwa. Demikian yang didendangkan oleh Debu dalam lagunya yang berjudul “Nyawa dan Cinta”.
“Dengan cara sangat khusus
Roh dan cinta dicampurkan
Dan cinta yang memang halus
Menghilang dalam campuran”
Ketika cinta dan roh atau jiwa, dicampurkan dengan seizin Allah, maka yang menghilang adalah cinta. Menghilang dalam artian ia melebur dalam jiwa. Kehalusannya membuat ia menempati keseluruhan rongga dan pori di dalam jiwa, sementara jiwa tetap pada tampilan asalnya. Katakanlah, cinta menjadi substansi jiwa. Di sisi lain jiwa adalah substansi tubuh, sehingga ia pun merupakan representasi tubuh. Tubuh yang di dalamnya memiliki jiwa dengan substansi cinta yang memenuhi setiap rongganya, maka akan berpikir, bergerak, dan bertindak dengan cinta. Oleh karena segala sesuatu jika memiliki dasar cinta, maka segala ekspresi maupun hasil akan baik adanya.
Saya berpikir, itulah sebabnya di siang hari itu kami dipanggil dengan mesra sebagai “Saudara Terkasih.” Mereka melihat hal-hal baik di dalam diri kami karena kami bergerak atas dasar cinta.
Mengunjungi GPIB PKP yang terletak di Jalan Malioboro lantaran undangan yang dikhususkan kepada kami, membuat saya bangga dan bahagia sekali. Bagaimana tidak? Selama ini semacam ada jarak dengan rumah ibadah lain, pemeluk agama lain, maupun kurangnya atmosfer untuk memulai interaksi. Kecanggungan pasti ada, namun hati dan pikiran yang terbuka membuat langkah sangat ringan dan sumringah. Dan ternyata, penyambutan mereka sangat luar biasa. Salam, peluk cium, senyum yang merekah lebar, dan mempersilakan kami duduk serta mencicipi sedikit ransum dengan semangat, sampai rasanya tergopoh-gopoh. Kami tentu datang dengan atribut keagamaan kami, dan mereka sangat menerima dengan tangan terbuka. Bagaimana bisa hal itu dilakukan, jika tidak dengan orang-orang yang memiliki dasar keyakinan atas cinta, di dalam sanubarinya? Prinsip imannya terhadap Tuhan kemudian lebur dalam eja wantah cinta yang ditebarkan ke sekitarnya.
“Tuhan Allah tidak menghendaki kita untuk berbuat jahat. Bagaimana pun, kita selalu diingatkan bahwa kita semua memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu kekekalan hidup kelak. Jika kita menjunjung Al-Kitab atau Al-Quran (kitab suci masing-masing) di atas kepala kita, niscaya kita akan selamat karena kita berada dalam tuntunan Tuhan. Tapi sekarang, kitab suci ditaruh di bawah. Rupanya pemahaman dan penafsiran kita sendiri atas kitab suci jauh lebih dianggap daripada substansi kebenaran di dalam kitab kita masing-masing. Oleh karena itulah, yang terjadi saat ini adalah kepentingan mendahului ayat. Karena ayat digunakan untuk melegitimasi kepentingan.” Seorang Bapak aktivis GPIB PKP memulai tanggapan pertama di siang itu. Diiringi dengan cerita tentang kemajemukan beragama di Ambon, di mana masyarakat Islam-Kristen sangat akur, bahkan melindungi satu sama lain.
“Takut akan Tuhan adalah permulaan”, kata seorang Bapak lain yang merupakan aktivis Gereja Protestan. Saat ini beliau tinggal di Gunung Kidul. Selanjutnya mengalirlah cerita dari mulut beliau, terutama tentang kemajemukan beragama di daerah tempat tinggalnya. Di sana, Idul Fitri tidaklah seramai acara Rasulan, di mana acara Rasulan ini menjadi tempat berkumpulnya seluruh komunitas, dan tentu saja seluruh komunitas agama di daerah tersebut. Semuanya menjadi satu dalam suatu tradisi yang langgeng sampai sekarang, tidak pernah dipermasalahkan halal atau haramkah tradisi tersebut. Semuanya bersuka cita dalam mengimani Tuhan bersama-sama, karena percaya bahwa di dalam perbedaan itu terkandung satu tujuan yang sama. Keridhaan Tuhan.
Saya jadi teringat masa-masa kecil saya di pedalaman Kalimantan. Kampung saya merupakan sebuah perkampungan yang majemuk, di mana terdapat suku Melayu, Dayak dan Tionghoa sebagai penduduk yang sudah lama menetap. Dengan demikian, dinamika beragama juga menjadi beragam. Di sana terdapat Islam, Kristen Katolik maupun Kristen Protestan, dan Konghucu. Namun hidup berjalan lancar dan interaksi yang dilakukan antar penduduk sangat wajar dan biasa. Takbiran Idul Fitri bukan lagi menjadi milik orang Islam semata, namun seluruh penduduk turun ke jalan ikut pawai dan meramaikan suasana, maupun saling menjaga ketertiban. Silaturahmi Idul Fitri tidak hanya untuk orang Islam, namun orang Kristen dan Konghucu juga ikut berlebaran dari rumah ke rumah. Tidak hanya itu, pada saat Natal maupun Imlek, hal yang sama juga dilakukan orang Islam. Tidak hanya saling berkunjung, namunjuga saling memberi simbol perayaan. Rumah saya sering mendapat hantaran makanan, misalnya kue Keranjang saat Imlek berlangsung.
Kemudian setelah itu, apakah iman kami luntur? Apakah dengan silaturahmi dalam rangka hari Natal dan memakan kue keranjang saat Imlek, kami pun goyah dan berpindah agama? Nyatanya tidak. Yang tercipta adalah situasi impian kita semua. Situasi yang tenang. Situasi yang damai. Dalam kedamaian tersebut, kami merasakan nyaman untuk beribadah dan eksistensi kami sebagai makhluk beriman semakin teguh. Tidak ada lagi yang lebih diinginkan, bukan, selain menjadi manusia seutuhnya, yang produktif, beriman dan mencintai serta dicintai sesamanya? Semuanya bisa diraih tentu dengan terlebih dahulu mempunyai lingkungan dengan situasi yang kondusif.
Begitu pula ketika suatu siang berselang kami mengunjungi Ashram Smrti Krishna. Sebuah asrama dengan basis Weda di mana di sana merupakan kuil pemujaan Krishna. Ashram ini terletak di daerah Sleman. Kami datang dan diterima dengan tangan yang juga terbuka. Kami bahkan diizinkan untuk melihat perayaan Hari Sarasvati dan ikut melakukan pembacaan salah satu ayat dalam Bhagawad-gita. Kami turut diperciki air suci, meraba hangatnya api untuk diusapkan ke muka dan kepala, bahkan ikut mencium melati yang dibawa seorang anak sebagai bagian dari ritual. Seandainya saja saya hapal dendang dan tarian yang mereka bawakan saat ibadah, ingin sekali saya ikut serta. Namun saya hanya bisa menjoget-jogetkan kepala dan tangan mengikuti irama. Yang paling saya bisa rasakan adalah pengalaman religius mereka yang luar biasa dan terpancar sebagai keimanan yang tidak bisa digugat dengan cara apa pun. Pengalaman religius yang membuat saya ingin cepat-cepat melaksanakan shalat lalu bermesra dengan Allah, sembari membisikkan “Ya Allah, hari ini aku melihat-Mu di dalam nyanyian dan tarian itu. Aku tidak takut, tidak merasa asing sama sekali.”
“Bagi kami, Krishna adalah Tuhan. Namun, kami juga tidak berkeberatan jika Krishna dalam agama lain disebut Allah, Yesus, Yahweh. Sama seperti istilah Allahu Akbar, Krishna bagi kami juga adalah Mahima, atau Maha Besar. Tuhan memang satu namun karena ke-Maha Besar-anNya, maka Dia layak disebut dengan bermacam-macam nama. Karena Tuhan melampaui segala sesuatu yang ada. Dan karena Dia Maha Tahu, maka apa pun yang kita sebutkan pada-Nya, selagi hati kita memang tertuju kepada Dia, maka Tuhan akan tahu.” Wejangan dari Bapak Guru Mengaji Bhagawad-gita sungguh memberikan oase di siang yang panas itu, juga oase terhadap kegelisahan melihat tingkah segelintir orang beragamakan simbol yang sungguh jauh dari cinta kasih.
Setiap kali berdiskusi, membaca berita di surat kabar, maupun menonton televisi terkait tema dinamika kemajemukan agama, saya selalu teringat dengan apa yang pernah dikatakan Ayah saya pada waktu kanak-kanak. Beliau mengatakan dengan lugas dan yakinnya tentang kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang.
“Jika kamu dilahirkan di Amerika, misalnya, dan bukan di perkampungan Melayu seperti di sini, apa kamu yakin kamu akan tetap beragama Islam, bukan beragama lain? Jika demikian, kenapa lantas kamu sedemikian bangga, saking bangganya sampai antipati dengan orang lain yang agamanya berbeda darimu? Ketika takdir memilihmu untuk lahir di dalam keluarga Islam dan kamu menjadi Islam karenanya, apakah Allah lantas senang padamu dan akan menghukum orang yang ditakdirkan untuk lahir di Amerika dan karenanya ia memeluk agama selain Islam? Jahat sekali, Allah, jika begitu!”
Jika kita menyadari perbedaan adalah niscaya, bahkan sebuah rahmat, maka kita menyadari ada milyaran kemungkinan pengalaman religius-spiritual seseorang. Proses religius tentu tak lepas dari lingkungan, renungan, dan keterbukaan hati nurani. Pengalaman ini pada akhirnya akan membentuk iman. Dan berbicara tentang iman maka kita berbicara dalam tataran rasa. Rasa yang berakar kuat, penuh energi, penuh penyerahan dan kecintaan. Bayangkan, jika kecintaan kita dihina, akan sakit sekali, bukan? Dan karena saya sangat meyakini bahwa Allah sama sekali tidak jahat, maka saya percaya, perbedaan itu maupun eja wantahnya tidak lain adalah ke-Maha Besar-an Allah. Semacam kode dari Allah untuk kita semua : jika kamu sungguh mencintai-Ku, maka temukanlah Aku, di manapun!
Ria Fitriani, penulis adalah Jama’ah Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.