Abad Pertengahan: Fase Trauma Bangsa Barat Terhadap Institusi Agama di Eropa (Bagian 2)

Abad Pertengahan: Fase Trauma Bangsa Barat Terhadap Institusi Agama di Eropa (Bagian 2)

Abad Pertengahan: Fase Trauma Bangsa Barat Terhadap Institusi Agama di Eropa (Bagian 2)

Mengacu pada teori Ahmet T. Kuru, hubungan romantis antara agama dan negara bisa melahirkan sebuah otoritarianisme dan menyebabkan sebuah kemunduran peradaban. Hal ini terlihat ketika Gereja Katolik Eropa pada tahun 800 M yang dipimpin oleh Paus Leo III memutuskan untuk melantik Charlemagne, atau Charles the Great, sebagai Kaisar Romawi di Saint Peter Basilica, Roma. Ia dianggap sebagai suksesor Kekaisaran Romawi yang runtuh pada abad ke-5 M. Kerajaannya pun mendapatkan gelar “The Holy Roman Empire” atau Kekaisaran Romawi Suci.

Relasi mutualisme antara Gereja dan Kekaisaran itu menandai awal mula dominasi doktrin Gereja Katolik di Eropa. Abad Pertengahan, dengan demikian, juga bisa disebut dengan abad kebangkitan agama di Eropa. Pada masa ini, agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh lini kehidupan manusia, terutama aspek sosial politik. Segala laku keseharian masyarakat Eropa harus sesuai dengan doktrin Gereja.

Salah satu konsekuensinya adalah sains yang sudah berkembang di zaman klasik mulai dipinggirkan. Karya sastra, filsafat, astronomi yang sangat maju di era Yunani Kuno dianggap sebagai ilmu sihir yang mengalihkan manusia dari pemikiran ketuhanan.

Pada zaman tersebut, karya para ilmuwan banyak ditentang oleh Gereja karena dianggap pengusung ajaran sesat. Gereja Katolik Roma bahkan mempunyai pengadilan berupa komite inkuisisi yang bertugas mengadili dan menghukum siapa saja yang berani dan menyelisihi ajaran resmi Gereja saat itu.

The New Encyclopaedia Britanica menjelaskan “inkuisisi” sebagai sebuah institusi hukum kepausan yang dibentuk untuk memberantas kaum “heretics (orang sesat) dan sejenis pelaku magic dan kekuatan yang dianggap berbahaya oleh Gereja. Dalam mekanisme kerjanya, komite inkuisi tidak hanya menunggu laporan akan adanya heretics, tetapi juga aktif menyelidiki kaum heretics. Mereka dianggap sebagai kelompok yang menyerang doktrin gereja dan dilabeli sebagai “musuh masyarakat”.

Tensi antara ilmuwan dan Gereja itu, misalnya, dapat dilihat dari penelitian Nicolas Copernicus (1473-1543 M). Pada sekitar 1508 M, Copernicus sudah mulai membangun model alam semestanya sendiri. Ia membuat sistem tata surya dengan Matahari sebagai pusatnya. Konsep tersebut dikenal dengan teori Heliosentris.

Ide itu sebenarnya sudah muncul pada abad ke-3 Sebelum Masehi. Astronom Yunani Kuno, Aristarchus of Samos, sudah menyebut Matahari sebagai unit pusat yang dikelilingi Bumi. Namun, teori itu dieliminir di masa hidup Copernicus karena ide Bumi sebagai pusat tata surya lebih diterima Gereja Katolik yang sangat berpengaruh di masa itu.

Gagasan Copernicus itu mengguncang Gereja Katolik dan dianggap melanggar ajaran agama. Teori Copernicus tersebut akhirnya dicekal Gereja dan dilarang disebarkan hingga ia meninggal dunia di usia 70 tahun. Gereja memberikan label “heretic” pada dirinya dengan menandai kuburannya dengan kalimat “Si pecundang yang meminta ampun kepada Tuhan seperti seorang pencuri yang mati di kayu salib.”

Akhir hidup Copernicus masih lebih beruntung dari pada akhir hayat Giodarno Bruno. Bruno adalah seorang filsuf dan matematikawan asal Italia yang sangat gigih mendukung teori Copernicus. Ia sempat melontarkan satu gagasan masterpiece yang masih relevan hingga saat ini, yaitu bahwa bintang-bintang hanyalah matahari yang dikelilingi oleh exoplanet. Bruno langsung dianggap sesat oleh komite inkuisisi. Ia dijebloskan ke penjara dan divonis mati. Karena Bruno tidak mau mengubah pendirian tentang karya ilmiahnya itu, Gereja semakin murka hingga ia divonis untuk dibakar hidup-hidup di alun-alun Kota Roma.

Meskipun inkuisisi Gereja telah menghukum para pendukung teori heliosentris, nyatanya teori tersebut semakin mendapatkan justifikasi yang kuat di tangan para ilmuwan. Pada tahun 1604, Galileo Galilei (1564-1642 M) secara terbuka menyatakan mendukung teori Copernicus. Galileo memiliki andil yang besar dalam penyempurnaan teleskop dengan membuat pembesaran hingga 30 kali dengan kualitas proyeksi yang lebih baik.

Dengan teleskop yang diciptakannya, Galileo kemudian mengamati benda-benda di tata surya. Ia kemudian mampu menjabarkan teori tata surya secara lebih detail dan masuk akal. Namun sekali lagi, karena berbeda dengan doktrin Gereja, ia ditentang oleh banyak pihak. Benar saja, ia lalu ditangkap dan dibawa ke Roma untuk menjalani inkuisi. Gereja Katolik memvonis Galileo dan menjatuhi hukuman tahanan rumah seumur hidup dan buku karya Galileo dilarang dipublikasikan.

Periode ini memang masih ada penemuan. Namun, para ilmuwan dari Abad Pertengahan hampir semua adalah para teolog. Dengan demikian, temuan-temuannya hanya berkutat pada seputar doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan di belahan dunia yang lain, peradaban Islam mulai sibuk dalam produksi ilmu pengetahuan.

Dunia Islam maju dalam bidang matematika dan sains dengann merujuk dasar ilmu peninggalan Yunani dan teks-teks kuno lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Al-Khawarizmi, misalnya, mulai memperkenalkan aljabar ke dunia Eropa, termasuk solusi sistematis pertama dari persamaan linear dan kuadrat, melalui magnum opus-nya Al-Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah.

Kondisi demikian, membuat masyarakat Eropa mengalami degradasi peradaban, kemunduran ilmu pengetahuan, dan keterbelakangan intelektual. Abad Pertengahan tersebut kemudian lazim disebut sebagai Abad Kegelapan atau The Dark Ages. Gereja dan Negara yang secara masif melakukan “kekejaman-kekejaman” pada akhirnya menciptakan sebuah traumatis tersendiri bagi bangsa Eropa. Sebuah pengalaman pahit yang nantinya memicu lahirnya berbagai gagasan-gagasan progresif di Barat, seperti paham sekulerisme.

Baca Juga, Abad Pertengahan: Fase Traumatik Bangsa Barat Terhadap Institusi Agama di Eropa (Bagian 1)