Pelarangan Natal di Maja: Negara Perlu Evaluasi Aturan Pembatasan Hak-hak Umat Kristen di Indonesia

Pelarangan Natal di Maja: Negara Perlu Evaluasi Aturan Pembatasan Hak-hak Umat Kristen di Indonesia

Negara semestinya tidak cukup hanya menghargai dan melindungi, namun juga perlu memfasilitasi, karena beribadah dan mengamalkan ajaran agama secara nyaman merupakan hak setiap warga negara.

Pelarangan Natal di Maja: Negara Perlu Evaluasi Aturan Pembatasan Hak-hak Umat Kristen di Indonesia

Perayaan Natal tinggal menghitung hari. Ia semestinya menjadi momen bahagia bagi umat Kristen di seluruh dunia. Sebagai hari besar agama Kristen, perayaan Natal menjadi ajang sukacita dan menjadi ruang bertemunya keluarga besar. Bagi non-Kristen di Indonesia, perayaan Natal setidaknya menjadi momen liburan, atau bisa juga silaturahmi, dan tentu saja berbelanja.

Namun, euforia Natal ini sepertinya tidak bisa dirasakan secara paripurna oleh umat Kristen di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten. Pasalnya, mereka tidak memiliki Gereja di sana. Dengan demikian, umat Kristen Maja harus memutar otak bagaimana caranya agar bisa merayakan ritual Natal dengan nyaman.

Terdapat dua komunitas Kristen di Maja. Mengingat tidak adanya Gereja sebagai lokasi perayaan Natal. Kedua komunitas tersebut bersepakat untuk melakukan kebaktian Natal di Eco Club Citra Maja Raya pada tanggal 18 dan 25 Desember 2022. Sayangnya, inisiatif dua komunitas Kristen tersebut ditolak oleh Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya. Ia mengatakan bahwa ibadah harusnya dilakukan di rumah ibadah. Ruko tidak bisa digunakan karena izin fungsi bangunannya bukan untuk ibadah.

Iti menuturkan bahwa pelarangan itu merupakan hasil musyawarah antara Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lebak, Banten. Artinya, tidak ada ruang lagi di Maja yang bisa digunakan oleh komunitas Kristen Maja untuk melakukan kebaktian Natal. Gereja tidak ada, alternatif menggunakan ruang publik pun tak boleh.

Solusinya, Iti Octavia Jayabaya meminta umat Kristen Maja untuk merayakan ritual Natal di Rangkasbitung. Edi Nurhedi, Camat Maja, mengatakan bahwa umat Kristen Maja akan disupport oleh Persekutuan Gereja di Rangkasbitung, seperti Gereja Pasundan. Perlu diketahui, Jarak Maja ke Rangkasbitung hampir satu jam. Ya, seperti jarak tempuh Jogja-Magelang kira-kira.

Lalu bagaimana mereka melakukan kebaktian mingguan jika tidak ada Gereja di Maja? Orang nomor satu di Maja itu mengatakan bahwa umat Kristen Maja biasanya menggelar ibadah mingguan di rumah warga. Meskipun belum ada jumlah rinci mengenai pemeluk agama Kristen di Maja, realitas ini nampak miris jika dilihat dari lensa kebebasan beragama di Indonesia.

Setelah September lalu, viral penolakan pendirian Gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon oleh Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta, Indonesia kembali diuji dengan ketimpangan hak-hak warga negara di Lebak, Banten. Kedua kasus tersebut mempunyai pola-pola yang sama, dijustifikasi oleh Kepala Daerah masing-masing dan berkaitan dengan rumah ibadah Kristen.

Yap, Kepala Daerah lagi-lagi menjadi “stempel” atas pembatasan hak umat beragama di Indonesia. Secara tersurat, kebijakan yang dikeluarkan oleh Iti Octavia Jayabaya nampak tidak menciderai norma hukum apapun. Mungkin benar jika bangunan harus dipergunakan sesuai fungsi yang disepakati di awal izinnya. Namun tentu hulu dari segala isu hak kebebasan ini adalah soal legalitas pendirikan Gereja di Banten, khususnya di Kecamatan Maja.

Absennya Gereja di Kecamatan Maja merupakan buntut dari penolakan ratusan warga dari tiga desa di Maja (Desa Pasirkembang, Maja Baru, dan Curugbadak) terhadap pendirian Gereja di kawasan perumahan Citra Maja Raya (CMR) pada tahun 2019. Mereka menolak dengan dalih karena tidak ingin dilingkungan yang mayoritas umat Islam dan pondok pesantren berdiri sebuah Gereja. Kesepakatan ini, saat itu, rencananya akan diteruskan kepada pemerintah desa setempat, kecamatan, FKUB, MUI, dan Kementerian Agama. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan terkait aspirasi “intoleran” tersebut. Yang jelas adalah bahwa sampai saat ini, belum ada satupun Gereja berdiri di Maja.

Dengan demikian, kebahagiaan Natal yang harusnya dirasakan oleh umat Kristen Maja menjadi sedikit terciderai oleh realitas yang pahit ini. Umat Kristen Maja harus menempuh satu jam perjalanan guna mencapai Gereja terdekat untuk melaksanakan kebaktian Natal. Tak hanya itu, mereka bahkan harus mendayagunakan rumah warga sebagai ganti Gereja untuk melakukan ibadah mingguan mereka. Sesuatu yang harusnya tidak perlu mereka lakukan jika kebebasan beragama dan berekspresi berjalan baik di Indonesia. Sayangnya, kebebasan itu “dimonopoli” oleh sebagian kelompok yang mengaku taat beragama di Indonesia.

Bisa jadi, umat Kristen Maja tidak merasa keberatan dengan arahan orang nomor satu di Lebak itu. Namun, jika mereka diberi legalitas untuk mendirikan Gereja di Maja, itu akan sangat membahagiakan mereka dan memudahkan mereka untuk menjalankan ajaran-ajaran Kristen secara lebih nyaman dan kondusif daripada harus keluar kota dan meminjam rumah warga.

Sebagai pengingat, Indonesia pernah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Internasional Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) melalui UU No. 12 /2005 sebagai bentuk komitmen terhadap kebebasan warganya untuk memeluk agama yang diyakininya. Berdasarkan ratifikasi itu, negara dengan demikian mempunyai tiga kewajiban terhadap umat beragama, to repsect, to protect, and to fulfil (menghargai, menjaga, dan memfasilitasi). Tiga tersebut erat berkelindan dan tidak dapat dipisahkan.

Dalam kasus Kristen Maja, negara nampak melupakan prinsip terakhir, “to fulfil”. Negara tidak cukup hanya menghargai dan melindungi, negara juga perlu memfasilitasi, karena beribadah dan mengamalkan ajaran agama secara nyaman merupakan hak setiap warga negara. Para Kepala Daerah, sebagai salah satu instrumen negara dalam konteks daerah, seperti Iti Octavia Jayabaya, sepertinya perlu mengevaluasi bagaimana agar distribusi hak-hak warga negara tidak macet.

Sebagian warga negara yang kesusahan mengakses hak-hak warga negara menjadi evaluasi serius bagi pemerintah. Wacana terkait Natal bukan lagi soal kebolehan mengucapkan selamat Natal atau tidak, namun tentang hak-hak sebagian saudara Kristen kita  yang “dikebiri” yang membuat mereka tidak bisa merayakan Natal dengan damai.