Bagi sebagian orang, puasa bagi umat Kristen adalah upaya untuk sebagai bentuk penebusan dosa dan pembaharuan rohani. Argumen tersebut benar adanya dan amat kristiani. Dalam hemat saya, argumen itu bisa dieksplorasi lebih lanjut sebab puasa dalam perspektif Kristen sebetulnya jauh lebih dalam dari sekadar bentuk penebusan dosa dan pembaharuan rohani. Dalam praktek puasa Kristen yang amat beragam, dosa dan kebersihan batin (askestis) hanyalah beberapa alasan dari ragam motivasi berpuasa. Pada beberapa konteks, puasa sangat erat dengan perubahan kehidupan. Alih-alih merubah diri, puasa dapat dipahami sebagai tindakan untuk menata kehidupan ke arah yang lebih baik sesuai maslahat publik. Ini artinya, puasa tidak mesti lahir dari ajaran Kristen melainkan dari tuntuntan kebaikan bersama.
Dalam pandangan saya, puasa dalam agama Kristen bisa dimaknai sebagai “kebijaksanaan hidup”. Dalam perkembangannya, motivasi puasa,bagi orang Kristen selalu berbubah-ubah seturut konteks kehidupan. Di samping motivitasi teologis atau iman, hari ini bagi sebagian umat Kristen, puasa adalah tindakan untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan relasi manusia dengan kehidupan dunia yang lebih luas. Singkatnya, puasa adalah seperti yang disinggung tadi, soal kebijaksanaan hidup.
Oleh sebab itu, tulisan ini membincang segala hal tentang puasa dan dinamika praktiknya secara argumentatif dari perspektif saya sebagai akademisi dan praktisi Kristen.
Puasa sebagai Tindakan Personal dan Komunal
Secara umum, puasa dalam tradisi Kristen dapat dibagi menjadi dua macam yaitu puasa personal dan komunal. Puasa sebagai pilihan personal adalah sikap dan komitmen orang untuk meningkatkan ketahanan imannya. Model puasa personal bersifat unik pada tiap orang sesuai dengan kebutuhan perubahan diri masing-masing. Secara tradisional, puasa dilakukan dengan cara menahan diri dari kebutuhan tubuh seperti makan, minum, dan ragam hawa nafsu seperti misalnya hasrat seks.
Tanpa meninggalkan aspek puasa tradisional, orang Kristen memperluas tindakan puasa pada berbagai objek di luar diri manusia. Puasa tidak hanya berorientasi pada penekanan kebutuhan fisik saja melainkan juga tindakan sosial. Puasa seperti ini, dalam sejarahnya, dipopulerkan oleh tokoh gerakan Reformasi Kristen, Marthin Luther. Bagi Luther, puasa bukan melulu persoalan menahan kebutuhan tubuh (makan, minum, dan seks) melainkan etika publik. Artinya, puasa adalah upaya untuk membenahi wajah publik. Puasa bukan tentang tindakan terhadap diri sendiri melainkan dampaknya terhadap kehidupan sosial. Pandangan Luther ini sejalan dengan pesan Alkitab yang tertulis dalam kitab Yesaya 58. Berikut sepenggal makna Puasa menurut kitab Yesaya ayat 6 dan 7;
58:6 Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, 58:7 supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
Dari kita Yesaya, pesan puasa bukanlah soal menahan diri. Puasa adalah tindakan untuk melawan ketidakadilan. Puasa adalah gerakan sosial. Maksud dari frasa ‘membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk’ pada ayat 6 adalah penindasan terhadap kaum Israel pada masa nabi Yesaya hidup. Yesaya, sebagai penulis ayat itu, memaksa orang Israel untuk melawan penindasan demi tergapainya keadilan sosial. Secara implisit, puasa adalah aksi penebusan (redemption). Puasa adalah gerakan untuk melawan atau menekan dosa (tindakan keliru) dari luar diri dan bukan dari diri sendiri.
Berangkat dari keterkaitan puasa dengan aspek sosial, kita dapat dengan mudah memahami aspek puasa secara komunal, yang sebetulnya adalah bentuk perluasan dari puasa personal. Puasa komunal adalah sikap dan komitmen hidup sekelompok orang kristen untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya, sekelompok orang kristen di Gereja tertentu yang berkomitmen untuk melawan korupsi di lingkungan masyarakat mereka, maka kelompok kristen tersebut akan berpuasa bersama untuk meminta dukungan Tuhan melancarkan aksinya.
Paham puasa komunal ini sudah dilakukan oleh kelompok kristen sejak waktu yang sangat lama. Tradisi puasa komunal merupakan warisan dari pola hidup membiara (monasticism) yang dilakukan oleh para bapa-bapa Gereja sejak masa abad pertengahan. Singkat kata, puasa komunal adalah aksi untuk mencapai tujuan bersama sebagai bentuk sikap iman yang disepakati oleh kelompok kristen tertentu. Oleh karena itu, dalam kelompok kristen, puasa dengan tujuan berbeda-beda sangat umum untuk ditemukan.
Makna puasa sebagai aksi personal dan komunal menurut saya amat dekat dengan puasa dari tradisi Muslim. Perbandigan tersebut juga saya temukan dalam kajian Andi Alfian pada artikelnya Comparing the Teachings of Fasting in Christianity and Islam: A Reflective Comparison (2022). Menurut pandangan saya, sebagai orang Kristen, Alfian cukup jeli memahami perbedaan puasa sebagai bentuk kesalehan personal dan publik dalam perspektif kristen. Sepakat dengan Alfian, puasa dalam tradisi Kristen sangat fleksibel dan kontekstual. Sesuai temuan Alfian, fleksibilitas dan kontekstual menjadi pembeda tegas antara puasa pada tradisi kristen dan tradisi Islam yang sangat terstruktur dan ketat dengan berbagai aturannya.
Orang Kristen dapat berpuasa kapan saja, untuk alasan apa saja, dan untuk batas waktu yang amat beragam. Asas kontekstual pada puasa Kristen terletak pada ragam motivasi dan tantangan hidup pribadi atau kelompok kristen masing-masing. Yang membedakan pandangan saya dengan Alfian ialah, pada dasarnya, puasa personal dan komunal selalu berkaitan erat satu sama lain dan terkadang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, bagi orang kristen, fondasi puasa terletak pada aspek relasionalitas dengan kehidupan keseharian, termasuk di dalamnya, relasi tentangn seluruh ciptaan.
Puasa sebagai Jalan Kebijaksanaan
Puasa sebagai pilihan personal dan komunal merupakan dualisme prinsip yang berkelindan. Alasannya, apa yang kita lakukan bagi diri kita tentu secara langsung akan berdampak bagi orang lain. Dalam perspektig kristen, puasa sebagai aksi personal dan komunal hadir dan berjalan bersamaan.
Sebagai contoh, kita dapat melihar contoh aksi gerakan “puasa plastik” yang dikampanyekan oleh kelompok katolik, umat paroki Santo Fransiskus di Keuskupan Bogor. Puasa plastik yang mereka lakukan sejak 2020 adalah upaya untuk menyelamatkan bumi dengan ‘puasa plastik.’ Penting untuk dicatat, ‘puasa plastik’ tidak mengindikasikan bahwa umat katolik di Bogor tidak mengunakan plastik sama sekali melainkan upaya untuk ‘menekan’’ penggunaan plastik. Plastik tetap boleh digunakan tetapi dengan metode yang sangat ekologis.
Di paroki Santo Fransiskus, umat katolik dihimbau untuk melakukan lima hal berikut sebagai bentuk ‘puasa plastik.’ Pertama, penolakan (refuse) sebagai penolakan terhadap timbulnya sampah plastik di setiap kegiatan yang dilakukan. Kedua, pengurangan (reduce) untuk mengurangi timbulnya sampah plastik di setiap kegiatan yang dilakukan. Ketiga, penggunaan Kembali (reuse), yakni aksi untuk menggunakan kembali sampah plastik yang masih layak pakai. Keempat, daur Ulang (recycle). Artinya sampah plastik dijadikan produk baru untuk kebutuhan lain. Yang terakhir, pembuangan (disposal) : alternatif terakhir yang boleh dilakukan jika 5 tahapan sebelum sudah tidak memungkinkan.
Dari pengalaman puasa plastik di Bogor, kita dapat menarik sebuah pelajaran menarik bahwa uamt Katolik paroki Santo Fransiskus tidak, secara naif, memusnahkan plastik demi kebaikan bumi. Melainkan umat katolik di Bogor dihimbau untuk menggunakan plastik secara bijaksana. Kebijaksanaan plastik adalah kunci dari penyelamatan bumi. Kebijaksanaan plastik itu dimulai dari segi personal dan secara langsung berdampak bagi kebaikan komunal: lingkugan dan sesama manusia.
Contoh lain, yang menurut saya menarik, datang dari sahabat saya bernama Imbran Bonde, seorang Kristen berdarah Poso. Imbran melakukan sebuah puasa yang ia sebut ‘puasa Facebook.’ Dalam percakapan saya dengan Imbran, ia mengatakan bahwa dirinya sudah tidak menggunakan Facebook selama dua tahun belakangan. Mengapa demikian? Karena menurut Imbran, ia memiliki kecenderungan memakai Facebook secara berlebihan sehingga dirinya tidak dapat bekerja dan belajar dengan serius.
Dalam kasus Imbran, Facebook adalah hambatan personalnya dan puasa menjadi jalan spritual bagi Imbran untuk mencapai keseimbangan hidup. Benar adanya. Kata Imbran, dirinya lebih dapat produktif dalam bekerja dan belajar berkat “puasa Facebook”. Tindakan Imbran tentu sangat personal. Imbran berhenti bermain Facebook untuk kebaiknnya. Tetapi kebaikan Imbran berdampak bagi orang lain. Imbran menjadi lebih produtif pada lingkungan pekerjaan dan pendidikannya.
Dalam perspektif yang lebih luas, puasa Facebook dari teman saya Imbran, dapat dikategorikan sebagai “puasa digital” seperti yang sekarang dipopulerkan oleh teman saya Reza Wattimenna. Melalui puasa digital, manusia diajak untuk memusatkan diri pada realitas keseharian. Menyatu kembali dengan dunia yang sebenarnya agar terlepas dari bahaya hoaks dan kepalsuan dunia maya. Puasa digital seperti ini juga beberapa kali saya lakukan sebagai laku hidup keseharian. Di waktu-waktu tertentu, saya meninggalkan dunia per-drakor-ran demi menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang menanti di Google Classroom.
Akhir kata, puasa dalam pandangan Kristen memang mirip dengan puasa dalam ajaran Islam yang menekankan tentang “mati raga”, yang artinya bebas dari berbagai aspek yang memancing hasrat tubuh seperti makan, minum, seks, dan lain sebagainya. Ajaran Kristen juga berbicara tentang puasa sebagai langkah untuk membentuk disiplin spiritual. Kendati demikian, orientasi dari puasa adalah keseimbangan hidup. Soal kebijaksanaan hidup untuk dapat memberi kebaikan pada diri, sesama manusia, alam, dan tak lupa Sang Pencipta.