Sependek penetraan saya, sejak wacana “Islam Nusantara” mulai digulirkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 2015, para ustaz populer dari poros Islam politik atau para islamis langsung mengambil jatah. Mereka juga ikut memberisiki ruang publik dengan perbincangan perihal sejarah Islam di Nusantara, Walisongo, kebudayaan Islam, hingga politik Islam di Indonesia. Nama-nama tokoh islamis semisal Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Abdullah Azzam dan lainnya mulai diselingi alih-alih diganti dengan nama Sunan Kalijaga, Sultan Agung, Sunan Giri, dan nama Walisongo lainnya.
Sejak itulah, para ustaz populer itu kini mulai sering merambah berbagai tema ceramah di luar keahlian mereka. Sekali lagi, di luar keahlian mereka.
Seorang ustaz populer dari tlatah Andalas, misalnya, pernah berulang-kali menyampaikan pendapatnya perihal konflik di Suriah meskipun ia memiliki nilai nol koma nol nol dalam ilmu politik internasional.
Ada lagi ustaz yang pernah berceramah tentang asal-usul nama-nama daerah di nusantara, namun, sangat jauh dari asas ilmu penelusuran asal-usul kata, yang biasanya masuk ke dalam bahasan antropologi linguistik berpadu dengan sastra, filologi, arkeologi, sejarah, dan ilmu humaniora sejenis.
Tidak hanya berceramah, para ustaz populer itu juga menulis buku, menerbitkan artikel populer, hingga memproduksi podcast tentang tema-tema keislam-nusantaraan.
Hasilnya, mereka menangguk pendukung dari umat populer yang sehari-hari hidup berlandaskan konstitusi dunia maya. Arus islamisme yang mulai menggelombang sejak Gerakan 411 dan Gerakan 212 menakdirkan mereka untuk dilirik oleh berlaksa panggung dan berjuta penonton. Mereka ditempatkan di atas altar kehormatan seiring dengan geliat anti rezim politik yang terus-menerus digaungkan dari Pilkada ke Pilkada dan dari Pilpres ke Pilpres. Terbukti, para ustaz populer itu bahkan menjadi aktor penggeret suara dari untuk tokoh tertentu yang dipasak sebagai anti-tesis rezim politik penguasa.
Jawa dan Islam dalam Gejala Cocoklogi
Ada satu tema menarik perihal Jawa dan Islam yang dibicarakan para ustaz islamis populer itu. Di satu sisi, saya menemukan ada bergantang-gantang manfaat di sana. Paling tidak mereka menjadi barisan terkuat untuk membentengi umat Islam agar tetap beriman-islam dengan keyakinan kuat.
Melalui penelusuran dan penyampaian para ustaz islamis populer itu pula membenderanglah kebenaran perihal betapa Islam telah menjadi jiwa kebudayaan Jawa. Misalnya ketika mereka dengan sangat bersemangat menegaskan bahwa Jawa adalah Islam dan Islam adalah Jawa.
Hanya saja, ada perkara fatal dan vital yang dibuang begitu saja di sana. Pada gilirannya, Islam dan Jawa yang mereka bincangkan malah melenceng dari garis sejarah yang telah ditolok oleh Walisongo. Alhasil, kebaikan dan kemanfaatan intelektual tema semlohai ini bisa meraib dan bahkan menimbulkan kebencian kuat di kalangan kelompok pengalergi kebudayaan Jawa-Islam dari golongan bani rahayu dan sejenis mereka.
Contohnya begini. Ada seorang ustaz populer yang membabarkan sejarah Islam di nusantara lewat ceramahnya yang diunggah di YouTube. Ia diketahui berafiliasi pada partai politik tertentu dan terlibat pada penggeloraan gerakan islamis di Indonesia. Tidak diketahui ia mengambil mata kuliah ilmu sejarah dari mana, dari siapa, dan apa referensinya. Namun, fakta kekosongan latar belakang keilmuan itu dienyahkan dulu. Ilmu sekarang sangat gampang dijumput dari mana saja. Tinggal bagaimana berbijak-bijak dalam mencerna dan bersadar-diri dalam menyampaikannya.
Sepengematan saya, ketika sang ustaz membincangkan sejarah Kesultanan Demak, biasanya ia akan mengaitkannya dengan satu-dua ayat, hadis, dan sejurus kemudian ditarik-simpulkan dengan isu-isu politik tertentu seperti wacana jihad.
Begitu pula di saat seorang ustaz mengulas benda-benda material dalam sejarah Islam di Jawa, misalnya keris. Ia akan mengungkap betapa keris hanya berstatus sebagai benda seni semata. Bila ada kegaiban di sana, itu hanya aspek simboliknya. Aspek simbolik itupun dibatasi hanya pada aspek pragmatis kehidupan manusia modern. Jadi, isi ceramah keduanya lebih tampak sebagai ayatisasi atau cocoklogi peristiwa sejarah atau fakta budaya dengan kitab suci dan demistifikasi kebudayaan spiritual.
Ada pula seorang ustaz populer yang membahas seorang wali besar di Jawa, Syekh Siti Jenar dengan sentimen tertentu. Berbekal pada tafsir cocoklogi berbasis isu islamisme terkini di Indonesia, sang ustaz memekikkan wacana anti-Syiah.
Alhasil, ia mendakwa bahwa wali yang juga dikenal dengan nama Syekh Sitibrit itu adalah seorang penganut mazhab Syiah. Ia datang ke Jawa untuk memporak-porandakan tatanan keislaman yang telah dibangun oleh Sunan Kalijaga dan para wali lainnya.
Kata sang ustaz, “Siti” artinya tanah. “Jenar” artinya merah. Jadi, katanya lagi, ”Siti” itu maksudnya adalah tanah karbala yang memerah karena darah Sayyidina Husain. Jadi, lanjutnya, sudah sejak dari dulu orang-orang Syiah memang telah merongrong nusantara.
Ada lagi seorang ustaz islamis populer yang mewicarakan satu benda bernilai estetika tinggi yang tergolong sebagai artefak kebudayaan Jawa. Lalu setiap kali membahas benda itu, ia akan menyebutnya sebagai perwujudan dari sebuah ayat al-Quran. Di satu sisi ia memang berada di dalam kebenaran. Sejarah mengisyaratkan bahwa tidak mungkin nafas Islam diingkari dari eksistensi kebudayaan nusantara, apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja ada dua catatan yang perlu dikritisi di sana.
Pertama, penyimpulan bahwa “ada Islam” di balik setiap artefak kebudayaan Jawa tidak bisa secepat itu diutarakan. Ada alur nalar yang mendasarinya atau, dalam bahasa filsafat, ada epistemologi yang melandasi kemenyatuan Islam dengan kebudayaan Jawa sebagaimana dulu dibangun secara rapi dan tuntas oleh Walisongo.
Kedua, harus pula ditegaskan bahwa sekalipun “ada Islam” di setiap fakta kebudayaan Jawa, namun “Islam” di sana tidak “secorak” dengan “Islam” sebagaimana dimaksudkan oleh para wali pencipta kebudayaan Jawa. Maksud saya, Islam yang menjadi nafas kebudayaan itu bukanlah Islam seperti diceritakan sang ustaz, yaitu Islam yang lebih cenderung kepada gerakan politik dakwahis-jihadis.
Tegasnya, merupakan kekeliruan ketika sang ustaz justru mendakwa kebudayaan Islam di Jawa dalam irama Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan apalagi Turki Usmani.
Bener ning ora pener, kata orang Jawa. Benar, tapi tidak pada tempatnya. Betul bahwa ketan, kolak, apem dan mustaka masjid kuno di Jawa yang berbentuk daun kluwih itu digunakan oleh para wali dulu untuk menyimbolkan ajaran Islam yang bersumber dari ayat atau hadis tertentu. Sayangnya, seperti halnya matematika, untuk menemukan ayat-hadis di balik simbol daun kluwih atau ketan-kolak-apem itu harus ada jalannya.
Mengapa ketan, kolak, apem dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan salah dan permohonan maaf (khothoan qola afwan) pada bulan Ruwah? Mengapa pula untuk menerapkan ajaran Islam tentang maaf dan meminta maaf sebelum memasuki bulan puasa harus disimbolkan dengan ketan, kolak, dan apem? Ada nalar sufistik apa di balik ketan, kolak, apem? Apa hubungannya dengan ayat-hadis tentang permohonan dan pemberian maaf? Mengapa daun kluwih diletakkan sebagai puncak mustaka masjid kuno? Apa hubungannya daun kluwih dengan masjid? Mengapa ia diletakkan sebagai puncak mustaka masjid?
Pasti ada nalar tersimpan di balik perlambangan itu. Tidak serta-merta daun kluwih itu digunakan tanpa nalar khas kewalian di Jawa. Begitu juga ketan, kolak, apem. Begitu pula keris, tombak, batu akik dengan corak masing-masing, aneka kuliner, dan lain-lain semisalnya. Tanpa memahami nalar di balik perlambangan itu, merupakan sesuatu yang sumir untuk “menebak”, “membacakan”, dan melantik ayat-hadis tertentu sebagai landasan bagi sebilah keris, sebungkus nasi uduk, dan sebuah bangunan suci.
Sekali lagi, sangat bisa dan sangat boleh untuk mengatakan bahwa semua fakta kebudayaan di Jawa sebagai perwujudan dari ajaran Islam. Tapi nalar yang bekerja di balik perlambangan itu bagaimana? Mengapa kok daun kluwih yang dipakai? Kenapa bukan yang lain? Ke-kenapa-an dan ke-mengapa-an itulah yang seharusnya dilisankan. Baru kemudian bisa ditemukan apa ayat-hadis yang melatarinya.
Jadi, tata kawidyan (epistemologi) kewalian di Jawa seharusnya ditemukan dan dibahas. Jika tidak, maka mustahil pula menemukan ayat atau hadis yang berada di balik setiap benda-benda tinggalan sejarah dan kebudayaan. Logikanya mudah saja. Karena nalar kewaliannya belum ditemukan, kok bisa ayat dan hadisnya langsung disebutkan? Jika rasionalitas di balik pengambilan lambang yang nanti dihubungkan dengan ayat atau hadis tidak diketahui, lalu bagaimana mungkin ayat atau hadis tersebut dengan sangat mudah dipakai untuk menjelaskan benda budaya tertentu? Di sinilah, ada gejala cocoklogi di sana.
Tidak ada “Sufi”, “Tarekat”, dan “Tasawuf”
Bahwa rata-rata para ustaz populer itu berasal dari golongan Islam bercorak purifikasi. Sebagaimana jamak diketahui, mereka sebenarnya anti atau setidaknya kurang bersahabat dengan kebudayaan Islam di nusantara yang dibangun di atas landasan tasawuf. Dengan demikian, mereka akan membuang nalar tasawufnya, namun, mengambil aspek lain dari sejarah dan kebudayaan Islam di Jawa yang bagi mereka bisa dieksploitasi untuk diambil narasi “jihadisme” dan “dakwahisme”.
Dengan kata lain, mereka berkepentingan dengan Walisongo dan sejarah kebudayaan Islam di Jawa hanya untuk menegaskan gerakan islamis-politik yang sedang mereka perjuangkan hari ini. Tasawuf, yang melandasi kebudayaan Islam di nusantara, adalah bid’ah bagi kalangan ini. Terlebih lagi tasawuf khas Walisongo, yang oleh Ronggawarsita, disebut memiliki karakteristik sendiri sejak dibentuk oleh Sunan Ampel dan dibudayakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Setelah melakukan penelitian sederhana atas sebagian besar isi ceramah para ustaz populer itu tentang sejarah Islam di Nusantara hingga Walisongo, saya menemukan bahwa sulit atau bahkan tidak mungkin ditemukan kata “tasawuf”, “tasawuf jawa”, “sufi”, “tarekat”, dan sejenisnya di lidah mereka. Justru lebih mudah untuk menemukan kata-kata semacam “jihad”, “dakwah”, “futuh” dan sejenisnya. Kata yang paling mungkin mereka ucapkan adalah “santri/kesantrian”. Itupun, konsep “santri” yang mereka pakai mengacu pada santri sebagai bukan “abangan” dan bukan “priyayi” sebagaimana dimunculkan oleh Clifford Geertz pada 1950-an.
Empat Nalar
Memang, bahan dan data sejarah yang mereka rujuk terkadang sebangun dengan arus utama historiografi Islam di nusantara. Hanya saja, mereka memasukkan narasi khusus di balik itu yang dilandasi oleh ancangan pikiran (paradigm) tertentu. Butuh waktu dan ruang berlebih untuk menguraikan hal ini.
Sependek penelusuran saya, setidaknya para ustaz islamis populer ini melambari pembacaan mereka atas sejarah Islam di Nusantara dan terlebih lagi para Walisongo dengan tiga ancangan pikiran.
Pertama, nalar jihadi. Beberapa ceramah-ceramah mereka tentang sejarah Islam di Nusantara dan Walisongo biasanya akan berujung pada pem-bahasa-an ajaran jihad Islam dalam kerangka pembangunan tatanan keislaman setelah keruntuhan tatanan peradaban “kafir” Hindu-Budha. Memang, saya belum menemukan mereka secara gamblang mendakwa ke-kafir-an peradaban sebelum Islam di Jawa. Hanya saja, ada gejala dan irisan pikiran yang mengarah ke sana. Apalagi, pem-bahasa-an ajaran jihad Islam dalam ceramah-ceramah itu, lebih menunjuk pada upaya peng-Hasan Al-Banna-an sejarah Walisongo.
Kedua, nalar politik. Singgungan-singgungan pada peta politik kekhilafahan Turki Utsmani sangat sering dihamparkan oleh para ustaz islamis populer. Dapat ditebak dari sana bahwa di balik upaya mereka untuk menarasikan Walisongo dan Islam di Nusantara, ada kemungkinan kuat bahwa mereka ingin menunjukkan hisorisitas sistem khilafah dan atau tatanan daulah Islam di nusantara. Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan bahwa gerakan islamisasi yang mereka gaungkan hari ini merupakan kelanjutan dari islamisasi yang sekira 500 tahun lalu pernah dikerjakan oleh para Walisongo.
Seorang ustaz dari kalangan ini malah pernah berceramah tentang gelombang ketujuh islamisasi nusantara, yaitu fase kemunculan harakah-harakah internasional yang datang ke Indonesia. Di situ ada Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan berbagai macam harakah-harakah dakwah. Sifat gerakan ini adalah mengembalikan Islam di nusantara kepada sifat globalnya. Sejak dulu, tegas sang ustaz, Islam adalah gerakan transnasional. Gerakan transnasional tersebut merupakan langkah untuk mengembalikan Islam di nusantara pada khittah. Mereka masuk melakukan pembinaan dan menjadikan jejaring Islam ke kancah global.
Ketiga, nalar purifikasi, untuk tidak mengatakan wahabisasi. Ini sangat mudah dilihat dari latar-belakang aktivitas keorganisasian mereka. Sebagian besar di antara para ustaz islamis populer memang memiliki jejak pendidikan pesantren. Bedanya, mereka berdiri di atas landasan garis politik ikhwani (Ikhwanul Muslimin) dari Mesir, khilafahisme ala Hizbut Tahrir, bayang-bayang pan-Islamisme Muhammad Abduh, imajinasi Islam trans-nasional, dan politik “revivalisme Masyumi” atau sejenisnya.
Keempat, nalar modern. Jika mereka membaca naskah, fakta budaya, atau apa saja yang mencirikan keislaman di nusantara, maka mereka akan memaknainya dengan pikiran khas manusia modern. Salah-satu ciri dari corak pikiran modern adalah anti dengan mistisisme dan sejenisnya. Sangat mudah dipahami bahwa mereka tidak mungkin akan masuk ke dalam sistem pemaknaan kebudayaan Islam-Jawa yang sangat “mistis-sufistik”. Di sinilah mereka akan sangat mudah mengimani anggitan historiografi para sarjana kolonial dan sekaligus rasionalitas peradaban modern.
Empat nalar yang melandasi gerakan mereka itu dapat dimaklumi. Sekira sebelum 2015, mereka masih termasuk di dalam barisan yang sering membid’ah-bid’ahkan amaliyah masyarakat muslim di Jawa seperti maulidan, salawatan, nariyahan, manaqiban, walikutuban, kenduren, tahlilan, tumpengan, slametan, nyadran, dan masih banyak lagi. Mengapa tiba-tiba hari ini mereka tampil sebagai sosok-sosok yang tampak mengambil porsi besar untuk membicarakan Islam di Nusantara? Bukankah sebelum hari ini mereka mengamini pendapat para sarjana dari “luar” yang menegaskan bahwa Islamnya orang Jawa adalah Islam tidak murni, sinkretis, dan bercampur dengan Hindu-Budha?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan sangat asyik dijawab secara sambilan. Maksud saya, menjawabnya sambil mempelajari statistik perolehan suara partai politik induk gerakan islamis di Indonesia dalam gelaran Pilkada, Pemilu, dan Pilpres di Indonesia sejak era BJ Habibie hingga Jokowi.
Tentu tidak mungkin mereka dapat mendulang suara sebagian besar umat Islam di Indonesia bila mereka terus-menerus menyebut nama Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Abdullah Azzam, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Taqiyyuddin Al Nabhani, dan tokoh-tokoh Islam trans nasional lainnya. Telinga orang Indonesia tidak akrab dengan nama-nama itu. Solusinya adalah mengolah nama-nama tokoh yang telah berbunyi nyaring di kuping masyarakat muslim Indonesia. Ada Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sultan Badaruddin, Sultan Babullah, Sultan Hasanuddin, Sultan Agung, Jendral Sudirman, Pangeran Diponegoro, dan nama-nama “pahlawan asli” Indonesia lainnya.
Ke depan, bukan tidak mungkin generasi milenial Islam di Indonesia akan menyebut bahwa Sunan Kalijaga adalah pejuang khilafah Islamiyah. Ia diutus oleh khalifah Turki Utsmani untuk membangun daulah Islamiyah di Jawa. Lalu, gerakan-gerakan Islam politik atau para islamis dan underbow Bani Ikhwani lainnya akan dipahami sebagai penerus dakwah Walisongo. Benarlah ancangan teoritik perihal kebudayaan versi mazhab Cultural Studies. Bahwa kebudayaan adalah kontestasi. Sejarah berada di tangan siapa saja yang paling kuat dan tahan banting untuk berdiri di atas altar kontestasi itu. Wallahu a’lam.