Gagasan Syekh Siti Jenar Tentang Reforma Agraria

Gagasan Syekh Siti Jenar Tentang Reforma Agraria

Jika kita telisik lebih mendalam, gagasan reforma agraria sebenarnya telah muncul jauh sebelum itu di tanah nusantara. Salah satunya dipelopori oleh seorang penyebar agama islam yang masyhur, yakni Syekh Abdul Jalil.

Gagasan Syekh Siti Jenar Tentang Reforma Agraria

Gagasan terhadap gerakan agraria memang telah muncul sejak lama di Indonesia sebagai bagaian penting revolusi Indonesia. Gagasan reforma agraria tidak hanya muncul di era-era pergolakan kemederkaan nasional dan bermuara pada pengesahan UU Pokok Agraria di tahun 1960. Jika kita telisik lebih mendalam, gagasan reforma agraria sebenarnya telah muncul jauh sebelum itu di tanah nusantara. Salah satunya dipelopori oleh seorang penyebar agama islam yang masyhur, yakni Syekh Abdul Jalil.

Syekh Abdul Jalil atau juga sering dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar adalah salah satu wali penyebar agama Islam di nusantara yang terkenal sekaligus digambarkan kontroversial. Syekh Abdul Jalil dikenal memiliki pemikiran-pemikiran yang sangat kritis dan tajam. Di antaranya yang dapat kita temui dalam karya kasusasteraan baik suluk, serat, ataupun babad, seperti Babad Cirebon, Negara Kerthabumi, dan Purwaka Caruban Nagari, adalah buah pikiranya mengenai reforma agraria.

Sejak diangkat sebagai anak asuh pengausa Caruban Larang, Pangeran Walangsungsang bergelar Sri Magana, Abdul Jalil diberikan tanah sebanyak 200 jung atau seluas 560 hektar di wilayah Lemah Abang yang masih belum berpenghuni. Tanah itu lalu diberikannya kepada siapa saja warga yang datang untuk dibangunkan hunian, dijadikan sawah atau tegalan. Hal itu mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Tidak butuh waktu lama, Lemah Abang segera tumbuh menjadi wilayah yang ramai di medio abad 15.

Pemikiran Abdul Jalil menjadi anti-tesa situasi politik yang terjadi saat itu. Dimana raja, dianggap memiliki kedaulatan atas segala hal, termasuk tanah. Sementara kawula tak memiliki hak atas apapun. Oleh karena itu, Abdul Jalil melakukan pembaharuan. Dalam hal ini, Ia melakukan restrukturisasi tanah dengan mengubah tatanan hak kepimilikan dan pengelolaan tanah.

Gagasan ini memiliki dasar-dasar yang kuat. Menurut Abdul Jalil, manusia adalah wakil al-Haqq di muka bumi ini. Ini berarti, keberadaan manusia di bumi diakui setara dalam menyampaikan kebenaran dan juga dalam hal hak milik terhadap sesuatu. Selain perwakilan al-Haqq, manusia juga merupakan perwakilan dari al-Malik. Kepemilikan manusia atas tanah juga menjadi perlambangan manusia sebagai wakil dari Yang Maha Memiliki. Jika Tuhan adalah maha pemilik segalanya, maka waki-Nya pun memiliki fitrah untuk memiliki sebagian kecil (secukupnya) untuk menguji kesetiaan dalam menjalankan tugas sebagai wakil.

Konsepsi hak atas kepemilikan tanah masyarakat Lemah Abang disandarkan atas dua hal itu. Dengan mengakui kesetaraan manusia berikut dengan hak-haknya, maka dapat dipahami jika perampasan hak atas tanah itu merupakan hal yang tidak diperbolehkan oleh Abdul Jalil. Status manusia sebagai al-Haqq dan al-Malik menjadi landasan kepemilikan tanah secukupnya dan pantang menjarah hak sesamanya.

Kehidupan masyarakat Lemah Abang terbukti makmur dan relatif merata. Ini membuat Lemah Abang terlihat sangat berbeda dengan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Senada dengan gagasan Abdul Jalil, penguasa Caruban Larang, Sri Magana, ayah asuh Abdul Jalil, menetapkan kebijakan yang sama untuk seluruh kawasan Carubann Larang.

Raja mengakui kehadiran setiap warganya sebagai pribadi yang bebas dan setara satu sama lain. Atas dasar hal ini, ditetapkanlah kebijakan yang berisi pengakuan atas hak kepemilikan tanah untuk setiap warga. Dan seperti halnya Abdul Jalil, kebijakan Sri Magana ini disambut dengan gengap gempita oleh masyarakat Caruban Larang.

Mereka lalu melakukan batas-batas kepemilikan tanah mereka yang selama ini merupakan tanah yang mereka sewa dari para petinggi kerajaan. Namun, banyaknya warga yang ingin mendapatkan tanah yang lebih luas ketimbang yang lain telah memicu lahirnya kerusuhan yang melahirkan korban jiwa.

Sebagai respon atas hal itu, Sri Magana kemudian menetapkan peraturan tambahan yang berisi mengenai batas maksimum kepemilikan tanah bagi setiap warga sesuai dengan kebutuhan. Batas maksimum kepemilikan tanah ini tentu sangatlah familiar bagi agenda pembaharuan agraria. Selaras dengan pemikiran Tiberus Gracchus (134 SM) dalam Undang-Undang Agraria (lex agrarian) yang jejaknya dapat kita lihat pada UU Pokok Agraria kita.

Kemudian, untuk mencegah adanya kerusuhan dan kecuragan, maka akan diberikan hukuman yang sangat berat bagi siapa saja yang melanggar hak atas tanah warga  yang lain. Hak atas tanah tidak hanya diberikan kepada warga pribumi, melainkan juga diberikan kepada para penduduk pendatang dari berbagai bangsa, seperti Persia dan China. Di mata hukum, semua kedudukannya sama.

Abdul Jalil menjadikan hak atas tanah sebagai sebuah amanah dari Tuhan untuk wakilnya di muka bumi. Oleh karena itu, manusia harus tegas dan berani dalam melawan segala tindakan perampasan hak, termasuk hak atas tanah mereka sendiri serta kepemilikan yang berlebihan. Tindakan perlawanan tersebut merupakan perjuangan mempertahankan  amanah Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi.

“Siapa pun di antara manusia yang akan merampas hak milik kalian, hendaknya kalian lawan mereka dengan sekuat daya dan segenap kekuatan. Sebab, dengan melawan para perampas itu maka kalian sesungguhnya telah menunjukkan keberadaan diri sebagai wakil al-Haqq dan wakil al-Malik.