Ketua Pengarah Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II, Nyai Hj Badriyah Fayumi menjelaskan tentang perkembangan KUPI yang signifikan sejak kelahirannya pada 2017. KUPI telah menjadi objek penelitian di lebih dari 30 karya ilmiah, termasuk skripsi, tesis, hingga disertasi. Riset-riset ilmiah tersebut yang turut mengamplifikasi semangat KUPI untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dalam ranah intelektual.
Orasi ini dia sampaikan dalam Pidato Gerakan KUPI bertajuk “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan” yang merupakan satu dari rangkaian acara Pembukaan Kongres II di Kompleks Madrasah Aliyah Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara (24/11).
“Dulu, institusi pendidikan dan keagamaan selalu dipimpin oleh seorang laki-laki. Tidak ada yang membayangkan wilayah-wilayah itu akan dipimpin oleh seorang perempuan. Namun, KUPI menjawab imajinasi tentang “adanya ulama perempuan”. Sekarang, Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari dipimpin oleh seorang perempuan,” terang Badriyah Fayumi.
Ia melanjutkan bahwa ulama perempuan telah menjadi bagian dari setiap peradaban ilmu pengetahuan. Ulama perempuan, seperti halnya ulama laki-laki, mengemban misi para Nabi untuk berpihak dan membela kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Keberadaan dan kehadiran para ulama yang sering dijuluki sebagai pewaris para Nabi adalah untuk menebarkan kebaikan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam sehingga tercipta kehidupan yang damai, berkeadilan, dan berkesetaraan.
Dalam menjalankan misi profetik ini ulama perempuan sering mengalami berbagai tantangan, seperti pengabaian, delegitimasi, bahkan kekerasan. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya penguatan pengetahuan dan keahlian, jejaring antar ulama perempuan, afirmasi dan apresiasi kerja-kerja mereka, serta pengokohan eksistensi secara kultural. Oleh karena itu KUPI lahir pada tahun 2017.
“KUPI bukan organisasi massa maupun organisasi struktural. KUPI adalah sebuah gerakan dan ruang perjumpaan yang disangga oleh banyak pihak dengan satu visi utama, yaitu peradaban yang berkeadilan,” lanjutnya.
Menurut Nyai Badriyah, Kongres ini adalah ruang perjumpaan antar pejuang ulama perempuan, para pemangku kebijakan, ruang bertemunya berbagai sudut pandang, serta ruang untuk mengkompromikan antara teori dan praktik semangat keadilan KUPI.
Ia juga membincang soal rekognisi timbal balik antara KUPI dan negara. Dalam pidatonya, Nyai Badriyah mengapresiasi rekognisi substantif negara terhadap KUPI yang luar biasa. KUPI, misalnya, sering mendapatkan undangan untuk diminta pandangannya dari perspektif ulama perempuan dari beberapa perguruan tinggi, KPPPA, BAPPENAS, dan institusi-institusi lainnya.
Rekognisi ini, dalam hemat saya pribadi, menjadi wujud nyata kesadaran Indonesia untuk bersikap egaliter dan mulai memahami pentingnya melibatkan perspektif perempuan dalam kebijakan publik. Pun, sebagai manifestasi kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dalam hal mengungkapkan pendapat, tidak ada lagi tendensi mendiskreditkan satu pihak tertentu.
“KUPI adalah satu-satunya suara ulama Islam yang telaten untuk beraudiensi secara rutin dengan pemerintah, dan alhamdulillah apa yang kami sampaikan didengar dan kemudian mempengaruhi kebijakan.” tegas Nyai Badriyah.
“Rekognisi terhadap KUPI juga datang dari dunia internasional, misalnya Inggris, Turki, Afghanistan, Pakistan, dan yang lainnya. Kehadiran 31 negara sahabat dalam Kongres II kali ini juga turut menegaskan tentang rekognisi nyata itu.” lanjutnya.
KUPI menegaskan empat komponen penting yang menjadi fondasi yang menopang semangat KUPI, yaitu rekognisi, kaderisasi, edukasi, dan diseminasi. Seperti yang telah dibincang, rekognisi substantif menjadi krusial untuk menegaskan eksistensi KUPI. Setelah ia mapan, maka yang paling penting adalah kaderisasi untuk menjaga keberlanjutan peran KUPI dan mencetak ulama-ulama perempuan baru yang lebih relevan dengan zamannya.
Dalam hal edukasi, Bu Nyai menegaskan untuk tidak hanya mengedukasi pada tataran elit saja atau orang yang sudah terpelajar, tapi juga edukasi pada masyarakat umum. Oleh karena itu, KUPI II menggandeng erat majelis ta’lim dan ormas-ormas Islam untuk merealisasikan pesan-pesan dakwah KUPI.
Lalu, yang menjadi pokok KUPI adalah soal diseminasi pemikiran. Oleh karena KUPI adalah gerakan intelektual, sosial, dan kultural, maka tugas utama KUPI adalah menyebarkan semangat keadilan yang berkelanjutan dan lintas lini kemasyarakatan. Berkenaan dengan hal itu, Nyai Badriyah menegaskan soal empat visi KUPI yang saling berintegrasi, yaitu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.
“Visi-visi itu kita wujudkan dalam tema-tema musyawarah keagamaan, di mana setiap tema ini memiliki tekanan tertentu pada satu visi, tetapi semua visi akan terintegrasi.” Terang Nyai Badriyah. Ia membincang soal diskusi panel-panel yang akan dilakukan di kompleks MA Hasyim Asy’ari hari Jum’at (25/11) sebagai bagian dari agenda KUPI II.
Akhirnya, Nyai Badriyah mengungkapkan rasa syukur terhadap hadirnya para KUPI muda yang lebih kreatif dan inisiatif. Ia menilai bahwa para kader muda ini adalah masa depan KUPI, dan generasi sebelumnya sangat memerlukan mereka untuk mendiseminasikan KUPI di kalangan kaum muda, di kalangan masyarakat umum, terutama melalui media sosial yang memang sangat familiar dengan generasi millenial dan gen-Z.