Beberapa hari lalu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melaunching hasil riset mutakhirnya. Penelitian ini terkait tren gerakan hijrah kontemporer di Indonesia. Penelitian diadakan di dua kota; Bandung dan Jakarta. Mulai dari bulan Juni hingga November 2020. Ada lima komunitas hijrah yang dikaji; Pemuda Hijrah Sifth, Kajian Musawarah, Yuk Ngaji, The Strangers al-Ghuroba, dan Terang Jakarta. Metode penelitiannya adalah kualitatif yang berbasis studi teks dan visual, yakni menganalisis content Instagram dan YouTube. Didukung dengan wawancara mendalam 24 aktivis dan pengikut 5 gerakan hijrah di atas.
Ada empat pertanyaan yang hendak dijawab. Pertama, bagaimana tipologi dan spektrum gerakan hijrah kontemporer di Indonesia? Kedua, bagaimana kelompok gerakan hijrah menanggapi isu-isu kontemporer terkait dengan demokrasi, kenegaraan, pluralisme, dan upaya melawan ekstremisme keagamaan? Ketiga, bagaimana kelompok gerakan hijrah memandang perempuan dan isu-isu terkait dengan gender? Dan keempat adalah strategi apa yang digunakan kelompok hijrah untuk menarik pengikut dari kalangan milenial? Tiga konsep kunci yang digunakan adalah salafisme (Quintan Wictorowicz, 2001 ), islamisme (Bassam Tibi, 2012), dan konservatisme (Martin van Bruinessen, 2013).
Banyak temuan yang disajikan tim peneliti, namun setidaknya ada tiga hal menarik. Pertama, tren hijrah kontemporer di Indonesia, khusunya lima kelompok di atas, dominan digerakan oleh konservatisme dan islamisme. Konservatisme ini mencakup salafi (The Strangers al-Ghuroba, Terang Jakarta) dan non-salafi (Pemuda Hijrah Sifth, Kajian Musawarah). Gerakan hijrah salafi ada yang bercorak akomodatif dan ada juga yang murni. Semisal dalam penerimaan musik. Ada kelompok hijrah salafi yang mengharamkannya ada juga yang memperbolehkannya. Sedangkan ide islamisme diwakili oleh gerakan hijrah Yuk Ngaji. Dalam beberapa hal, Yuk Ngaji masih memperjuangkan ajakan menegakkan sistem khilafah.
Kedua, dari kelima gerakan yang dikaji, hampir sepakat menerima konsep kebangsaan dan menolak terorisme berbasis kekerasan. Meskipun ada yang mendakwahkan sistem khilafah, namun tidak setuju jika dilakukan dengan kekerasan. Dari titik ini, gerakan hijrah kontemporer di Indonesia tidak melulu berorientasi pada gerakan politik. Meskipun dalam beberapa kesempatan, kelompok hijrah di atas dapat disatukan dalam bingkai Muslim United ataupun Barisan Bangun Negeri. Kenyataan ini masih perlu dikaji apakah ini menjadi strategi gerakan politik atau lebih cenderung pada realita akomodatif. Demikian halnya kaitannya dengan dinamika politik global.
Ketiga, kelima gerakan hijrah di atas cukup cedas dan cerdik menggunakan strategi dakwah yang sesuai dengan selera kalangan milenial. Kenyataan ini diakui oleh sebagian jamaah yang mengaku tertarik karena menjadi antitesis dari model dakwah organisasi mainstream, semisal NU ataupun Muhammadiyah. Sebagai misal adalah ustadz-ustadznya berpakaian gaul sesuai style anak muda, kekinian namun tetap syar’i, menggunakan ikon-ikon populer di kalangan anak muda (K-Pop, anime, skateboard), dan banyak menggunakan istilah gaul dalam bahasa Inggris. Tampilan dakwah ini dianggap kalangan milenial dekat dan sesuai dengan dunianya. Sehingga nilai-nilai ajaran agama mudah dipahami dan dirasa sangat kontekstual.
Terkait hal ini, di bagian akhir, ada tiga rekomendasi yang diajukan. Satu di antaranya adalah pentingnya peran Kementerian Agama RI dan masyarakat umum untuk memfasilitasi ruang perjumpaan antara kementerian, komunitas hijrah, MUI, ormas mainstream (semisal NU-Muhammadiyah), dan kelompok intra agama lainnya. Harapannya adalah untuk membangun kesepahaman agar tercipta harmonisasi di tengah heteroginitas pemahaman keberagamaan.