Kajian tentang Maqasid Syariah telah banyak ditulis dan dikaji oleh para peneliti hukum Islam. Ada yang menulis tentang konsepnya, pemikiran para tokoh, kemudian aplikasinya terhadap berbagai isu hukum Islam dan pembaharuannya. Sebagai sebuah kajian baru, Maqasid Syariah banyak dikaji dalam rangka pembaharuan hukum Islam. Namun, kebanyakan pembahasan yang ada langsung kepada goal atau tujuannya dan tidak banyak yang membahas tentang sejarah lahirnya istilah tersebut.
Maqasid Syariah akhir-akhir ini juga menjadi primadona bagi para pengkaji hukum Islam, karena penggunaan istilah tersebut dianggap lebih fleksibel ketika meneliti teks-teks agama terutama ketika merespons berbagai fenomena baru yang terjadi di tengah masyarakat. Hal tersebut tentu tidak lepas dari adanya berbagai fenomena baru yang tidak disebutkan atau belum terbahas dalam teks-teks agama. Sehingga menurut para ulama, perlu adanya sebuah pendekatan baru yang kemudian disebut dengan Maqasid Syariah.
Walaupun sebagai sebuah kajian keilmuan baru, gaung Maqasid Syariah seolah-olah sudah matang dari aspek ontologis, epistimologis maupun aksiologisnya. Sehingga banyak bermunculan istilah-istilah yang menyematkan kata maqasid seperti Ijtihad Maqasidi, Tafsir Maqasidi dan lain sebagainya. Padahal Maqasid Syariah di kalangan para ulama masih diperdebatkan posisinya, apakah ia sudah menjadi sebuah disiplin ilmu baru atau masih nimbrung dari bagian ilmu Ushul Fiqh. Karena lahirnya sendiri tidak bisa lepas dari ilmu Ushul Fiqh.
Maka dari itu, sebelum lebih jauh membahas tentang Maqasid Syariah, alangkah baiknya jika kita mengetahui sejarah penggunaan istilah tersebut, dan para ulama yang mempunyai peran besar dalam diskursus tersebut.
Lahirnya istilah ini tentu tidak lepas dari adanya ilmu Ushul Fiqh, karena secara historis memang lahir dari rahim Ushul Fiqh. Sehingga untuk melihat sejarah perjalanan mengenai kajian Maqasid Syariah, perlu dilacak awal mula istilah tersebut digunakan dan juga perlu dijelaskan para ulama yang mempunyai andil dalam kajian terebut.
Selama ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa Maqasid Syariah pertama kali ditawarkan oleh Imam al-Syatibi, salah seorang ulama dari kalangan Mazhab Maliki yang membahas Maqasid menjadi sebuah pembahasan khusus dalam karyanya Al-Muwafaqat fi Ushuli As-Syari’ah. Sehingga nama al-Syatibi sering disebut sebagai bapak Maqasid Syariah. Padahal perhatian terhadap Maqasid Syariah sebenarnya sudah ada sebelum al-Syatibi yang dianggap sebagai pencetus istilah itu, bahkan sudah ada pada zaman Rasululllah SAW.
Hammadi al-Ubaydi dalam karyanya al-Syatibi wa Maqasid al-Syari’ah menyebut orang pertama yang berbicara tentang Maqasid Syariah yaitu Ibrahim al-Nakhai, seorang dari Tabi’in yang wafat pada 96 H, dan pernah mengatakan di setiap hukum Allah SWT mempunyai tujuan, yaitu kemaslahatan.
Akan tetapi menurut Jasser Auda dalam karyanya al-Maqasid lil Mubtadi’in, bahwa Maqasid Syariah sudah diperbincangkan pada masa Abu Bakar, tepatnya ketika mengkodifikasikan Al-Quran. Setelah masa Sahabat, berkembanglah teori dan klasifikasi Maqasid. Namun, Maqasid yang kita lihat dan kenal sebagaimana saat ini tidak begitu matang pada masa sebelum para ulama Ushul Fiqh yaitu dari abad ke-5 H sampai dengan abad ke-8 H.
Meski demikian, pada tiga abad pertama sudah dikenal istilah hikmah,‘illah (motif), ma’ani (tujuan-tujuan) dan hal tersebut sudah ada dalam metode berpikir para ulama hukum Islam terdahulu, bahkan mereka sudah menggunakannya. Di mana kata-kata tersebut merupakan padanan kata Maqasid. Dan menjadi bagian penting dalam kajian Maqasid Syariah.
Setelah al-Nakhai, muncul Tirmidzi al-Hakim (w. 296 H/908 M). Beliau bisa dikatakan sebagai orang yang menulis naskah pertama tentang pembahasan Maqasid Syariah. Di mana kata “Maqasid” terdapat dalam karyanya al-Shalah wa Maqasiduha. Sebuah kitab yang berisi tentang penelitian rahasia spiritual, dan hikmah di setiap gerakan shalat, dan dzikir-dzikirnya.
Kemudian pada abad ke-3 muncul nama Abu Zayd al-Balkhi (w.322 H/933M), yang menulis naskah pertama Maqasid Syariah dalam bidang mu’amalah. Karyanya yang berjudul al-Ibnah ‘an ‘Ilal al-Diyanah adalah sebuah karya yang menelusuri berbagai tujuan yang ada di balik hukum Islam. Karya yang sama dengan judul Masalih al-Abdan wa al-Anfus, membahas bagaimana praktik agama Islam dan hukum-hukumnya berdampak positif terhadap fisik dan kejiwaan.
Setelah Tirmidzi al-Hakim, ada nama al-Qaffal al-Kabir al-Syashi (w.365 H/975 M) dengan sebuah karya tentang Maqasid Syariah dengan judul Mahasin al-Syara’i. Sebuah manuskrip yang membahas mengenai aturan, tujuan, dan hikmah syariat. Susunan pembahasan dalam karya tersebut seperti halnya susunan fikih klasik. Dimulai dengan thaharah, wudhu, dan seterusnya. Pengembangan berbagai konsep seperti al-dharuriyyah, al-siyasah dan al-makrumah yang dilakukan al-Qaffal juga mempermudah jalan Imam al-Juwaini dan Imam al-Ghazali dalam mengembangkan teori fikih mazhab Syafi’i, dan teori Maqasid Syariahnya. Kedua ulama tersebut kemudian mengemukakan konsep al-dharuriyyah, al-hajjiyyah dan al-tahsiniyyah.
Setelah al-Qaffal, ada nama Ibnu Babawayh al-Qummi (w.381 H/991 M). Ulama terkemuka dan pertama abad ke-4 H dari kalangan Syi’ah, yang mengkaji tentang Maqasid Syariah dengan karyanya ‘Ilal al-Syari’. Studi terkait kajian Maqasid kemudian dilanjutkan oleh al-Amiri al-Faylasuf (w. 381 H/991 M), melalui karyanya al-I’lam bi Manaqib al-Islam. Dalam karya tersebut, beliau berusaha mengkaji klasifikasi teoritis tujuan syari’at Islam terkait al-Hudud atau hukum pidana dalam Islam. Dengan pembahasan hukuman bagi pembunuh, pencuri, orang yang membuka aib orang lain, dan lain sebagainya.
Pembahasan al-Qaffal menurut Ahmad al-Raysuni dalam karyanya Baths fi al-Maqasid al-Shari’ah; Nash’atuhu wa Tatawwuruhu wa Mustaqbaluhu menjadi inspirasi para ulama setelahnya dalam merumuskan al-kulliyah al-khomsah yaitu menjaga agama (hifdz al-din),menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), menjaga akal (hifdz al-aql), dan menjaga harta (hifdz al-mal).
Setelah al-Qaffal, ada nama Abu Ja’far Muhammad Ali (w.381 H) dari kalangan al-Imamiyah yang mengkaji tentang ‘illah hukum lewat karyanya I’lal al-Shara’i. Pada masa yang berdekatan sebagaimana disebut oleh Muhammad Husayn al-Tanzir dalam karyanya al-Maqasid inda al Imam Muhammad Tahir Ibn Asyur, terdapat nama Abu Bakr ibn al-Tayyib al-Baqilani (w. 403 H) dengan karyanya al-Ahkam wa I’lal yang menggabungkan antara ilmu kalam dengan Ushul Fiqh yang berbuah kajian Maqasid Syariah. (Bersambung)