Salah satu fenomena yang masih terus eksis di dalam kehidupan beragama kita adalah adanya kelompok yang gemar membid’ahkan amalan kelompok lain. Seakan-akan amalan yang tidak sesuai dengan sunnah Rasululllah adalah salah di mata mereka. Antara lain misalnya Maulid Nabi, do’a berjama’ah, salam-salaman setelah shalat, kenduri, tahlilan, dan lain-lain.
Surat Al-Maidah ayat 3 merupakan salah satu dalil yang sering dipakai kelompok pembid’ah. Asumsinya adalah bahwa pada hakikatnya agama telah sempurna, tidak perlu penambahan dan pengurangan dan Allah telah meridhoi agama yang sempurna ini, kata mereka. Sehingga amalan-amalan yang ada atau diadakan setelah Nabi wafat betentangan dengan agama yang sudah sempurna.
…ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ….
“ … Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu …”
Di satu sisi, pendapat seperti ini sebenarnya merupakan hasil dari kesalahan berpikir dan memahami ayat. Pemahaman tekstual dan monodisipliner menuntun pembacanya menuju pemahaman monoton, statis, dan kolot. Ya begitulah akhirnya, menjadi hobi menyalahkan sana sini.
Baiklah, mari kita lihat kembali ayat tersebut. Ada redaksi “Kusempurnakan” dalam QS. al-Maidah: 3 di atas. Di sini kemudian muncul pertanyaan, “sempurna” yang dimaksud apakah sempurna apa adanya atau sempurna sebagai dalil?
Jika pertanyaan ini diajukan kepada si tukang membid’ahkan, mereka akan senantiasa menjawab sempurna apa adanya. Artinya setelah turun ayat ini, sempurna dan final sudah agama Islam. Segala amalan yang tidak berdasar al-Quran dan sunnah, setelah ayat ini turun, akan otomatis mendapatkan konsekuensi sebagai mengada-ada, alias bid’ah.
Namun, pasca Nabi Muhammad wafat, Aisyah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya banyak diceritakan melakukan ijtihad-ijtihad agama dalam memutuskan sesuatu dan bertindak.
Jika merunut pada asumsi “sempurna apa adanya”, apakah para sahabat ini bisa dikatakan menandingi Allah Swt. dalam arti menambahi kesempurnaan yang telah Allah Swt. putuskan, atau bahkan merasa kurang sehingga kesempurnaan itu harus ditambahi? Sungguh berani sekali jika menjawab bisa.
Oleh karena itu, sempurna yang dimaksud adalah sempurna sebagai dalil, bukan sempurna apa adanya. Semuanya mengacu dalil. Pokok isi al-Qur’an adalah ayat-ayat muhkamat. Salah satu dalilnya adalah untuk taat kepada Allah dan taat kepada rasul-Nya.
Dalam potongan ayat tersebut setidaknya ada empat variabel yang bisa diambil, yaitu hari ini, agama telah sempurna, nikmat yang sudah dicukupkan, dan Islam diridhoi Allah sebagai agama Nabi.
Poin-poin tersebut menciptakan pertanyaan yang bisa menguji logika. Pertama, jika hari itu, saat turunnya ayat tersebut, Allah telah sempurnakan agama Islam, lalu apakah ketika ada ayat lain yang turun setelah ayat tersebut, Islam berarti belum sempurna? Nyatanya, banyak perbedaan riwayat dan pendapat mengenai ayat al-Qur’an yang terakhir turun. Bahkan Imam Bukhori meriwayatkan pernyataan Ibn Abbas dalam Shahih-nya bahwa ayat yang turun terakhir adalah QS. al-Baqarah: 278-281, ayat yang berbicara mengenai riba.
Kedua, pada hari itu, nikmat telah dicukupkan. Pertanyaannya, apakah setelah turunnya ayat, Nabi masih hidup? Jika masih, maka masih membutuhkan nikmat tambahan untuk kelangsungan hidup beliau. Apakah akan seperti itu memhami ayat tersebut?
Ketiga, jika pada hari itu Islam diridhai sebagai agama Nabi, lalu apakah sebelum-sebelumnya ke-Islam-an Nabi tidak diridhoi? Akankah sesederhana itu kita berpikir? Kesalahan berpikir tersebut muncul karena hanya mengambil yang jelas-jelas saja, yang tekstual dan langsung diolah begitu saja.
Pada kenyataannya, sumber utama beragama Islam adalah al-Quran dan hadis. Sedangkan setelah ayat ini turun, Rasulullah masih hidup beberapa tahun dan mengerjakan sunnah-sunnah baru. Bahkan dalam salah satu sabdanya, beliau bersabda bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah sahabat sepeninggal Nabi. Hal ini tentu bertentangan dengan legitimasi pembid’ahan berdasar ayat Surat Al-Maidah ayat 3. Dan perlu diingat, zaman sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin banyak sekali menciptakan amalan-amalan baru yang tentu tidak ditemukan ketika Rasulullah masih hidup.
Tentu kita ingat cerita Muadz bin Jabal ketika diutus Rasul ke wilayah Yaman. Rasul bertanya mengenai kebijakan apa yang akan Muadz lakukan jika ada suatu perkara yang diputuskan kepadanya. Muadz menjawab bahwa ia akan memutuskan dengan al-Qur’an. Rasul bertanya kembali, jika tidak ada dalam al-Qur’an. Muadz menjawab akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah. Rasul bertanya kembali, jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah bagaimana? Muadz menjawab bahwa ia akan mencurahkan pikirannya tanpa ragu sedikitpun.
Mendengar jawaban itu, Rasulullah meletakkan tangannya di dada Muadz seraya berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasulullah.” Kejadian tersebut terjadi setelah Surat Al-Maidah ayat 3. Nabi tidak membid’ahkan ijtihad Muadz meskipun ayat mengenai kesempurnaan agama telah turun.
Hal itu menunjukkan bahwa argumen setiap perbuatan yang tidak dicontohkan Nabi adalah bid’ah, seperti yang dituduhkan sebuah kelompok pada kelompok lainnya, justru sangat tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah sendiri. Maka ketika acuannya saja tidak sesuai dan relevan, bagaimana bisa itu dikait-kaitkan dan dijadikan legitimasi.
Wallahu a’lam bisshawab.