Beberapa hari ke depan bulan suci Ramadhan akan usai. Umat Muslim akan merayakan hari Idul Fitri alias lebaran. Seperti biasa, gema takbir akan terdengar bersahutan memehuhi rongga langit dan menyusupi sudut-sudut gelap kehidupan. Rasa bahagia yang menyesaki dada akan terpancar dari raut wajah setiap insan. Bermacam makanan akan terhidang di meja setiap rumah dengan aromanya yang khas dan nyaman.
Senyum sumringah yang setia menghias di bibir disertai pakaian indah mewangi nan menarik perhatian yang membalut tubuh, bersalam-salaman, bermaaf-maafan, bersilaturrahim, dan mudik atau pulkam (pulang kampung) bagi yang berada di luar wilayah asal merupakan formalitas yang biasa dilakukan ketika merayakan hari lebaran.
Idul Fitri. Inilah nama hari kemenangan yang setiap tahun dirayakan umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Sebetulnya, bila ditilik secara bahasa, Idul Fitri memiliki signifikasi spiritual sangat mendalam; kembali suci. Artinya, setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan îmân-an wa ihtisâb-an (penuh keimanan dan senantiasa mengharap ridha Allah), maka setiap muslim dianggap telah kembali kepada kesucian rohani dan jasmaninya.
Demikianlah sejatinya makna Idul Fitri seperti telah digariskan agama. Namun secara riil, di alam nyata, adakah makna Idul Fitri begitu adanya? Kalau kita baca di beberapa media massa tentang pencurian, pembunuhan, dan aksi-aksi kriminal lainnya yang terjadi tepat ketika aroma lebaran mulai memburai menyegat hidung, makna hakiki Idul Fitri sebagaimana disebutkan di atas jelas-jelas tidak terasa. Aksi-aksi kriminal itu telah menegasikannya.
Makna Idul Fitri yang saat ini tengah mengemuka dan menjadi tren di mana-mana adalah mudik bin pulkam (pulang kampung). Demi berkumpul bersama keluarga, orang-orang mulai dari pejabat, artis, mahasiswa/i, karyawan dan pedagang tidak takut mengeluarkan duit untuk membeli tiket bus dan pesawat yang harganya melangit. Tampak sekali, betapa Idul Fitri tidak lagi dimaknai “kembali kepada kesucian”, tetapi “kembali ke kampung halaman”.
Bagi masyarakat Indonesia aktivitas mudik dalam konteks Idul Fitri merupakan budaya masif yang senantiasa dijaga kelestariannya secara turun-temurun dan menjadi ciri khas Idul Fitri itu sendiri. Namun di masa merebaknya pandemik Covid-19 ini, setiap orang hendaknya bisa mengendalikan diri, tidak perlu berjuang mati-matian untuk mudik apalagi sampai menjadi korban. Di luar momen itu, dan di saat keadaan normal kembali pada Idul Fitri di tahun-tahun mendatang mudik bisa dilakukan sehingga tidak perlu khawatir kehilangan kontak batin dengan sanak famili di kampung halaman.
Aturan PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) dari pemerintah yang di antaranya mencakup larangan mudik menuntut masyarakat untuk mematuhinya. Di samping untuk memutus matarantai penyebaran Covid-19, juga, yang lebih penting, untuk tidak mengganggu ketenangan dalam melaksanakan ibadah puasa. Dan hal yang harus lebih diutamakan dalam momen Idul Fitri adalah kesucian jiwa dari segala noda dan dosa. Sebab inilah yang selalu ditekankan agama melalui teks-teks normatifnya, baik dari al-Qur`an maupun al-Sunnah.
Bulan Ramadhan adalah bulan pembersihan sekaligus pengisian diri. Dalam artian bahwa selama satu bulan penuh umat Muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa dengan spirit perjuangan, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu, tidak makan dan tidak minum, menahan amarah, dan hal-hal lain yang dapat merusak kesucian (pembersihan) di satu sisi, juga perjuangan berbuat amal kebajikan demi meraup pahala yang sebanyak-banyaknya (pengisian) di sisi lain.
Nah, ketika jiwa seseorang sudah bersih dari berbagai noda dan dosa, maka ia termasuk dalam golongan al-‘Â`idîn (orang-orang yang kembali [ke fitrah/kesucian]). Sedangkan bila jiwanya telah terisi dengan cahaya sebagai manifestasi pahala-pahala amal kebajikan yang dilakukannya, maka ia termasuk golongan al-Fâ`izîn (orang-orang yang menang dan berhasil [meraih banyak pahala]). Kedua hal ini, al-‘awdah (hal kembali [kepada fitrah]) dan al-fawz (kemenangan/keberhasilan [meraup banyak pahala]), harus sama-sama diupayakan oleh setiap muslim selama bulan Ramadhan. Yang pertama lebih bersifat personal (hubungan vertikal dengan Allah), adapun yang kedua lebih bersifat sosial (hubungan horizontal dengan sesama). Keimanan personal kepada Tuhan tanpa disertai kebajikan sosial kepada sesama manusia tidaklah berarti apa-apa, demikian juga sebaliknya.
Memang ada benarnya apabila orang yang menjalankan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh dan mengharap keridhaan dari Tuhan, begitu Idul Fitri tiba, ia dianggap suci dan bersih layaknya bayi yang baru lahir tanpa dosa. Tapi ingat, bayi tidak mempunyai kebajikan apapun, sehingga kesuciannya menjadi tidak berguna. Kesamaan orang yang telah menunaikan kewajiban puasa penuh kesungguhan dengan bayi yang baru lahir hanya pada satu sisi, yaitu sisi kesucian personalnya saja. Ini berarti orang yang berpuasa lebih baik dari bayi, sebab ia memiliki nilai plus berupa kebajikan sosial.
Dari itu, tidak dibenarkan bila ada orang ketika lebaran menjelang hanya sibuk mempersiapkan keperluan mudik dan mengabaikan aspek yang lebih penting dari itu, yaitu kesucian diri dan kualitas amal kebajikan kepada sesama. Maka hilanglah makna Idul Fitri yang sebenarnya, dan ia tidak termasuk ke dalam golongan al-Â`idîn wa al-Fâ`izîn yang sejatinya sangat diharapkan setiap orang yang menjalankan ibadah puasa.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa mudik menjelang lebaran pada masa pandemik Covid-19 ini tidak mesti dilakukan dan bahkan dilarang sesuai dengan aturan PSBB pemerintah. Komunikasi dengan keluarga untuk mencurahkan rasa rindu dan bermaaf-maafan tidak harus dilakukan dengan bertemu langsung, bisa saja melalui alat-alat komunikasi yang kini telah tersedia secara bebas dan tanpa batas. Telephon/HP dengan segala fitur yang tersedia di dalamnya merupakan salah satu dari sekian sarana komunikasi yang bisa digunakan agar hubungan baik dengan keluarga tetap terjaga