Islam mengajarkan setiap umatnya untuk selalu mengasihi siapa saja, tanpa melihat latar belakangnya. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, “Orang-orang yang mengasihi, akan dikasihi oleh al-Rahman (Yang Maha Pengasih). Kasihilah yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan mengasihi kalian”. (HR. Abu Dawud)
Mengasihi bisa dilakukan dalam berbagai cara, salah satunya adalah membantu orang lain dari sisi ekonomi. Lebih-lebih dalam situasi dan kondisi sekarang ini, di mana banyak orang kesulitan beraktitas (bekerja) seperti biasa, apa yang kita berikan, akan sangat berarti.
Seseorang yang memberi berarti sadar bahwa ia tak akan membawa hartanya secara fisik ketika kelak ia telah meninggal dunia. Juga, di saat yang sama, ia paham betul apa yang ia miliki dan berikan kepada orang lain, akan berguna kepadanya di akhirat kelak.
Dalam Islam, ada banyak istilah yang digunakan untuk suatu pemberian terkait harta, antara lain: zakat, sedekah, infak, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu memiliki pengertian dan hukum yang berbeda-beda. Beragamnya istilah itu juga menunjukkan betapa Islam sangat medorong umatnya untuk selalu memberi.
Nabi Saw bersabda:
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Dari uraian di atas, kita menjadi mengerti begitu tingginya perhatian Islam dalam urusan mengulurkan tangan kepada orang lain. Namun tidak cukup sampai di situ. Islam juga mengajarkan kepada seseorang yang ingin mendapatkan “nilai lebih”, maka hendaknya memberikan apa yang terbaik yang ia miliki.
Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
Meski demikian, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya, apa yang kita berikana kepada orang lain, Allah pasti akan melihatnya. Terlepas apakah yang kita berikan itu adalah sesuatu yang kita anggap penting atau tidak.
Suatu ketika, kabar tentang turunnya ayat di atas sampai kepada Abu Thalhah. FYI, Abu Thalhah adalah salah satu sahabat Ansor yang berada di Madinah yang paling kaya. Bukti kekayaannya adalah ia memiiliki kebun kurma yang menghadap masjid. Nabi kadang mampir ke kebun itu minum air.
Mendengar ayat ini turun, ia lantas sowan (berkunjung) kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia sangat mencintai kebunnya itu. Dan ketika itu, ia berikrar akan memberikannya kepada Nabi.
“Kebun itu sangatlah aku cintai. Maka sekarang aku sedekahkan kepadamu, wahai Rasulullah,” kata Abu Thalhah.
Dengan memberikan kebun kurmanya itu, Abu Thalhah berharap ia akan mendapat kebaikan darinya (kebun itu). Kemudian, Nabi menyuruhnya untuk membagikan kurma-kurma itu kepada kerabat dan keponakan-keponakan Abu Thalhah.
Kisah tentang Abu Thalhah di atas, sebagaimana tertuang dalam kitab Akhlak lil Banin, seyogianya menjadi pepeleng (baca: peringatan dan pelajaran) buat kita dalam memberikan apa yang kita miliki.
Juga, kalimat “sehahagian harta yang kamu cintai” dari ayat di atas pasti akan berbeda bagi setiap orang. Jika dilihat nominal, misalnya, uang 1 juta akan tidak dicintai (dianggap penting) oleh orang kaya dan akan sangat dicintai (dianggap penting dan banyak) bagi orang miskin.
Dari sini, kedewasaan bersikap, kematangan berpikir serta kejujuran terhadap hati nurani sangat diperlukan. Walhasil, memberi adalah satu kebaikan. Dan memilih apa yang dicintai untuk diberikan adalah kebaikan yang lain. Yang kita cintai, itu yang (better) kita berikan.
BACA JUGA Abu Talhah dan Kisah Merpati di Zaman Nabi Atau Kisah-kisah Menarik Lainnya di Sini