Kultum Ramadan: Agar Bagi-bagi Takjil tidak Mubadzir

Kultum Ramadan: Agar Bagi-bagi Takjil tidak Mubadzir

Kultum Ramadan: Agar Bagi-bagi Takjil tidak Mubadzir

Terkadang, saking banyaknya orang yang ingin memberi takjil, hingga makanan berbuka tersebut terlalu banyak, bahkan beberapa kali makanan tersebut terbuang, basi, dan tidak termakan. Berikut kultum Ramadan seputar tips bagi-bagi takjil agar tidak mubadzir.

Kultum Ramadan: Cara Benar Bagi-bagi Takjil agar Tidak Mubadzir

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

أَلْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ والْمُرْسَلِيْنَ، سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ أَجْمَعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَبَعْدُ

Ma’asyiral muslimin yang dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Saat Ramadan, bagi-bagi takjil sudah seperti tradisi. Di pinggir-pinggir jalan, di masjid-masjid, hingga di sekitar perkantoran. Allah menjanjikan kepada pembagi takjil kemuliaan Ramadan, pahala pemberi buka setara dengan pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikit pahalanya orang yang berpuasa tersebut. Dalam sebuah hadis riwayat at-Tirmidzi disebutkan,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Artinya, orang yang memberi buka puasa kepada muslim yang sedang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala setara dengan pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang sedang berpuasa itu. (HR at-Tirmidzi)

Namun terkadang, saking banyaknya orang yang ingin memberi takjil, hingga makanan berbuka tersebut terlalu banyak, bahkan beberapa kali makanan tersebut terbuang, basi, dan tidak termakan.

Kita tentu takut dengan ancaman Allah Swt. dan Rasulullah Saw. terkait orang-orang yang berlebihan, mereka adalah termasuk ‘saudara’ setan.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya, Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S al-Isra ayat 27)

Yang dimaksud ‘saudara’ setan dalam ayat tersebut adalah bentuk larangan Allah. Perumpamaan  orang yang berlebih-lebihan dengan ‘saudara’ setan, menurut ulama tafsir adalah karena setan selalu menggampangkan, membuang-buang sesuatu dengan mudah, dan menghambur-hamburkan uang mereka demi sum’ah, menunjukkan bahwa mereka punya banyak uang.

Para ulama memaknai al-Mubadzir dalam Al-Quran dengan “menginfakkan harta di luar kebutuhan yang diperlukan.” Makna ini dinukil dari Imam as-Syafi’I dan menjadi rujukan jumhur ulama. (al-Qurthubi)

Dalam konteks mengeluarkan takjil, jika takjil tersebut diinfakkan sesuai kebutuhan, dengan uang yang tidak digunakan untuk kebutuhan lain, maka tidak termasuk mubadzir.

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman,

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُو”اْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya, “..makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-araf: 31)

Jamaah tarawih yang dimuliakan Allah

Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk berbuka dengan air putih dan tiga kurma,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْتِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فَإنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاةٍ مِنْ مَاءٍ

Artinya, “Rasulullah SAW berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat maghrib, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air. (HR Abu Dawud)

Meskipun Rasul mengajarkan kita berbuka dengan makanan tertentu, bukan berarti kita harus meniru dengan makanan yang sama. Inti dari ajaran Rasul tersebut adalah bahwa berbukalah dengan makanan secukupnya, sederhana, dan tidak berlebihan. Meskipun, bukan untuk diri kita, misalnya, tetapi untuk diberikan kepada orang lain, maka larangan untuk berlebihan tetap ada.

Rasul Saw bersabda,

كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ

Artinya, “Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah tanpa berlebih-lebihan dan sombong.”

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah Swt

Jika kita berpegang teguh pada penjelasan Al-Quran dan hadis, maka hal yang paling kita ingat saat ingin berbagi takjil adalah tidak berlebihan dan secukupnya. Jangan sampai kita asal beli banyak takjil dengan harapan bisa dibagi-bagikan, tetapi ujung-ujungnya malah terbuang sia-sia. Niat hati kita mungkin ingin memperoleh kemuliaan Ramadan, tapi kita juga dapat teguran keras dari Allah Swt karena menyia-nyiakan makanan.

Lalu bagaimana caranya agar takjil yang kita bagikan itu tidak sia-sia dan terbuang.

Pertama, ganti takjil kita dengan uang, berikan uang tersebut kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Dengan demikian, mereka bisa mengatur sendiri kebutuhan mereka, dan tidak ada makanan yang terbuang.

Jangan kita terjebak dengan bahasa ‘takjil’-nya. Dalam hadis dijelaskan anjuran untuk “memberi buka”, maka apapun yang bisa digunakan untuk berbuka, sudah dihitung pahala oleh Allah Swt.

Kedua, serahkan takjil kepada masjid. Berkordinasilah dengan pengurus masjid yang membagikan takjil. Biasanya mereka faham seberapa banyak makanan yang dibutuhkan untuk takjil. Dengan demikian, kita jadi mengerti makanan apa yang perlu kita beli dan seberapa banyak.

Ketiga, jika kita atau komunitas kita memiliki rejeki berlebih dan ingin berbagi takjil agak banyak, kita bisa berbagi di tempat-tempat yang ramai. Seperti jalan raya, lapangan, atau semacamnya. Namun juga perlu diperhatikan agar sampah yang dihasilkan bisa dikumpulkan dan tidak mengotori, serta merusak lingkungan.

Keempat, jika sudah dihitung-hitung, ternyata makanan yang disiapkan berlebih, segera bagikan kepada tetangga atau teman. Jangan biarkan makanan tersisa dan basi. Bisa jadi ada beberapa orang yang tidak sempat atau tidak mampu membeli makanan, sedangkan kita malah buang-buang makanan. Naudzubillah min dzalik.

Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah Swt

Sekian kultum singkat yang bisa kami sampaikan, mohon maaf bila terdapat kesalahan.

Hadanallahu wa iyyakum ajmain.

Wallahul muwaffiq ila aqwamiththariq

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Referensi:

Al-Qurthubi, Al-Jami’ liahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964 M)

Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, 1996 M)

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, t.t)

An-Nasai, Sunan al-Kubra, (Beirut: Maktabah al-Risalah, t.t)