Bagi seorang anak, Ramadan adalah bulan yang penuh acara bermain. Apalagi di kampung seperti yang saya rasakan semasa kecil dulu, ibadah di bulan Ramadan terasa menyenangkan, nyaris tanpa paksaan, karena dilaksanakan dengan penuh canda. Kadang terasa seperti piknik.
Ada banyak toleransi yang dinikmati anak-anak seperti saya dulu selama Ramadan. Waktu bermain praktis lebih panjang dan bahkan kadang tidak dibatasi. Tidak ada jam malam. Kalau memang tetap harus pulang ke rumah, biasanya saya tetap diizinkan bermain lebih larut dari biasa. Kapan lagi anak-anak bisa ke luar rumah jam 2 dini hari untuk ikut rombongan “obrog-obrog” yang berkeliling membangunkan warga untuk sahur?
Bermain adalah fitur yang melekat selama Ramadan bagi anak-anak. Dari pagi sampai malam, hampir dirayakan dengan bermain. Selepas salat Subuh bisa jalan-jalan. Siangnya bisa pergi memancing. Sorenya bisa ngabuburit dengan naik sepeda, atau bahkan main bola sejam menjelang buka puasa. Selepas Tarawih bisa bermain petak umpet atau bahkan main bola di halaman mesjid.
Segala macam petasan pun seperti “dihalalkan”. Sebelum Ramadan, meriam buatan dari bambu yang diledakkan dengan karbit sudah disiapkan lebih dulu. Mau pagi, siang, sore atau bahkan kadang membangunkan orang untuk sahur pun meriam bambu itu digunakan.
Keramahan Ramadan saya alami benar saat dilaksanakannya salat Tarawih. Secara istimewa, entah bagaimana ceritanya, salat Tarawih mungkin menjadi satu-satunya salat yang, dalam ingatan masa kecil saya, “diperkenankan” untuk dijadikan sarana bergurau dan bercanda.
Dan itu memang hanya terjadi pada Tarawih, tidak pada salat-salat lain. Ketika salat Isya, anak-anak pun beribadah dengan sangat khusyuk. Tapi ketika Tarawih, kekhusyukan itu mendadak berkurang bagi anak-anak. Mungkin karena Tarawih bukan salat wajib. Karena sunah itulah, makanya toleransi terhadap anak-anak pun berbeda.
Saya masih ingat salah satu kejadian paling menggelikan yang pernah terjadi hampir 25 tahun silam. Saya punya seorang teman masa kecil. Dalam salah satu sesi salat Tarawih, masih rakaat pertama, dia membuat keisengan yang membuat semua orang tertawa. Kebetulan teman itu ayahnya bernama “Amin”. Saat imam selesai membaca surat Al Fatihah, teman saya itu mendahului jamaah yang lain dengan berteriak: “Bapaaaaaaaak!”
Kontan saja semua orang tertawa, temasuk orang-orang dewasa. Tentu saja ada satu-dua yang bersungut-sungut dan menggeleng-gelengkan kepala, tapi umumnya sukar menahan tawa gara-gara kelakuan teman saya itu. Salat pun terpaksa diulang dari awal.
Kemarin saya iseng mengisahkan fragmen itu di Twitter, dan banyak sekali yang menyambut dengan kenangan masa kecil masing-masing saat Ramadan. Ada yang mengaku bahwa saat jamaah mengucapkan “amin” di akhir Al Fatihah, dirinya pernah menambahinya dengan kata “rais”. Jadilah “Amin Rais”. Ada juga yang mengaku kadang ucapan “amin” itu ditambahi anak-anak dengan ucapan “taba”, sehingga menjadi “amin taba” atau terdengar seperti “amitaba”.
Salat, walaupun salat sunah, tentu hal yang sakral, tapi bagi anak-anak itu hal yang berbeda. Bisakah Anda bayangkan ada orang dewasa membuat lingkaran dengan menyatukan ujung jempol dan telunjuk, lalu menyorongkan lingkaran itu ke telunjuk orang dewasa lain yang sedang duduk tahiyat akhir?
Gerakan “pornografis” itu dilakukan saat salat dan sudah pasti itu kelakuan anak-anak.
Versi lainnya: saat telunjuk mengacung ke depan di tahiyat akhir, teman di sebelah malah menyodorkan jempol seakan-akan sedang bersuit. Tak cukup itu, kadang teman yang menyodorkan itu berbisik di telinga: “Kalah kalah kalah….”
Belum lagi dorong-dorong saat ruku. Karena biasanya anak-anak berada di saf paling belakang, dan umumnya berbaris juga dengan anak-anak, maka dorong-dorongan saat ruku itu bisa berakhir dengan seluruh saf ambruk ke samping.
Bukan sekali-dua saat salat ada teman yang memelorotkan sarung. Atau, yang lebih menyebalkan lagi, sedang sujud malah kedua kaki ditarik dari belakang. Ujung-ujungnya dari posisi sujud pun berakhir menjadi posisi tengkurap.
Ada banyak sekali fragmen selama Tarawih yang jika dikenang sekarang terasa menyenangkan, menggelikan dan mustahil tak dirindukan. Apa yang saya sebutkan di atas hanya sedikit sekali contoh “permainan” yang dilakukan anak-anak di masa kecil saya dulu saat Ramadan dan Tarawih berlangsung.
Dan yang paling menyenangkan dari semua itu adalah kecenderungan permisif dari orang-orang dewasa atas kelakuan anak-anak. Selama tidak terlalu ribut dan tidak menjahili orang dewasa, umumnya anak-anak dibiarkan begitu saja.
Jika sudah dirasa berlebihan, paling hanya ditegur. Dan anak-anak pun akan diam, walau hanya sebentar, untuk kemudian kembali bercanda dan tertawa. Seingat saya, sebandel-bandelnya kelakuan anak-anak itu, tak pernah saya lihat ada yang diusir dari masjid atau mushola.
Makanya saya heran jika ada orangtua bertengkar hebat karena salah satu dari mereka memarahi anak-anak yang bercanda saat Tarawih. Insiden macam itu tidak pernah terjadi, setidaknya di kampung saya saat saya kecil dulu.
Saya pernah mendengar, Penghulu Haji Hasan Mustofa pun menyetujui toleransi yang diberikan pada anak-anak yang bermain-main saat ibadah berlangsung di mesjid atau mushola. Ulama, penyair, dan ahli tasawuf yang keagungannya diabadikan sebagai nama jalan protokol di Bandung itu pernah menerima protes orang dewasa terhadap kelakuan nakal anak-anak itu. Dan beliau menjawab, kira-kira begini: “Biarkan saja, anak-anak kan ke mesjid memang untuk bermain.”
Saya teringat sebuah kisah tentang bagaimana Nabi Muhammad terpaksa harus bersujud sangat lama karena tiba-tiba cucunya naik ke punggung beliau dan mungkin semacam bermain kuda-kudaan (karena kejadian itu terjadi di Arab, mungkin istilah lebih tepat: main onta-ontaan).
Apa pun itu, bagi saya, kisah itu menunjukkan bagaimana beragama dengan hati yang santai, rileks, dan mustahil kita tak menyebut kisah itu sebagai cerita yang sangat humanis. Kisah itu bagi saya tak ubahnya sebuah alegori tentang bagaimana Tuhan memandang dan memperlakukan anak-anak.
Anak-anak di situ bukan dalam kategori sebagai usia atau kata benda, tapi dalam pengertian keunikan dan karenanya lebih tepat disebut sebagai kata sifat: kepolosan, ketulusan, penuh humor, dan nyaris tanpa pretensi dalam memandang hidup, dunia, mungkin juga agama.
Rasanya menyedihkan melihat anak-anak kini sering dibawa-bawa kampanye partai politik. Tidak ada yang lebih miris bagi saya selain melihat anak-anak itu disuruh membawa poster-poster berisi kebencian dan kecaman terhadap mereka yang dianggap bersalah. Kasihan sekali mereka.
Tak seharusnya mereka diajak terlalu serius. Kekayaan anak-anak terletak pada penghayatan mereka terhadap main-main. Mereka, anak-anak kecil yang bercanda saat Tarawih itu, kebanyakan tak memikirkan surga dan neraka. Mereka pergi ke masjid untuk bertemu teman, untuk bercanda, untuk piknik.
Sementara semakin dewasa anak-anak itu, mereka akan semakin serius. Juga semakin berpamrih. Mungkin mereka tak akan masjid jika tak ada surga dan neraka — seperti yang dengan plastis diungkapkan oleh Rabiah al-Adawiyah (versi lain menyebutkan Abu Nawas) dengan pertanyaan: apakah manusia akan menyembah kepada-Nya jika tak ada surga dan tak ada neraka?
Anak-anak adalah guru terbaik untuk bagaimana caranya melakoni segala sesuatu dengan rileks, santai, dan tanpa pretensi. Mereka adalah mentor sejati bagaimana caranya agar hidup ini bisa terasa tak ubahnya sebuah piknik.
Dengan cara berpikir Si Pangeran Kecil, tokoh dalam novel klasik sepanjang masa karangan Antoine de Saint Exuperry, saya ingin bilang pada orang-orang dewasa itu, juga pada saya sendiri: “Dasar kalian orang dewasa. Tahu apa kalian tentang dunia? Pengen tahu aja urusan anak kecil. Huh!”
Saya menuliskan kalimat di atas itu setelah sebelumnya mengelap ingus di hidung dengan punggung tangan kanan saya.