Ada banyak website keislaman yang dikenal mengembangkan narasi jihadisme di Indonesia. Saya tertarik dengan website ini karena selalu menampilkan sebuah ulasan yang mendalam dan bersifat strategis. Salah satu yang diangkat, dan ini menurut saya penting karena menandai pergeseran narasi “kaum jihadis” di Indonesia, adalah diangkatnya fenomena Perang Diponegoro.
Diangkatnya narasi Perang Diponegoro yang terjadi pada awal abad ke-19 punya tujuan penting, yaitu melegitimasi dua hal. Pertama, jihad yang mereka kembangkan punya preseden sejarah dalam perjalanan umat Islam di Nusantara. Agenda jihad bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Karenanya, menolak jihadisme yang mereka kembangkan harusnya juga disertai penolakan terhadap “Jihad Diponegoro” di masa lalu. Hal ini akan sulit dilakukan karena pada umumnya masyarakat Muslim Indonesia menghormati Diponegoro. Artinya, dengan mengangkat Perang Diponegoro diharapkan para pembacanya akan menerima agenda jihadisme dengan sendirinya.
Kedua, menunjukkan bahwa Diponegoro berperang bukan untuk tujuan yang sekuler, seperti perebutan tanah dan kekuasaan, tetapi untuk tujuan menegakkan syariat Islam, bahkan membentuk Negara Islam itu sendiri. Berbagai bukti ‘historis’ coba dihadirkan untuk mendukung klaim ini. Bahkan dari ‘catatan Diponegoro’ sendiri. Menurutnya, Negara Islam yang diangankan penulis artikel tersebut dengan ‘negara Islam’ Diponegoro adalah dua hal yang identik.
Tetapi, jika ingin melihat lebih detail, ada hal yang cukup prinsipil dengan sengaja dilupakan dalam narasi yang diangkat. Utamanya terkait pandangan teologis (baca: akidah) yang dibawa penulis artikel dengan orang-orang yang hidup pada era Diponegoro. Dari sini saja akan terlihat bahwa ada framing tertentu dalam penyajian sejarah Perang Diponegoro. Dengan kesadaran historis yang kuat, kita akan dengan mudah menangkap bahwa Perang Diponegoro yang ditampilkan adalah untuk mendukung agenda “Jihad” dan “Negara Islam” ala kaum jihadis yang berakidah Wahhabi.
Padahal, sangat diragukan bahwa Pangeran Diponegoro adalah penganut Wahhabi. Paham yang baru masuk ke Indonesia pada tahun 80-an, tetapi akarnya telah masuk lebih dahulu pada awal abad ke-20 melalui kampanye kaum modernis Islam. Pada umumnya, mereka akan menolak ekspresi kebudayaan era Diponegoro dengan menyebutnya sebagai “bid’ah” dan “khurafat”. Mungkin, jika sang penulis hidup di era Diponegoro, maka dengan mudah ia akan menyebut Sang Pangeran dengan sebutan klenik, bid’ah dan khurafat. Tetapi, agaknya dengan sengaja ia melupakan unsur ini dalam artikelnya. Penulis tersebut melakukan ekseklsusi wacana yang dinilai akan mengganggu soliditas wacana, seraya menginklusi informasi sejarah yang dinilai dapat mendukung klaimnya. Ini memang penting dalam sebuah penulisan artikel ideologis seperti artikel “Ideologi Jihad Diponegoro”.
Terlepas dari historisitas artikel berjudul “Ideologi Jihad Diponegoro”, kita perlu membincang kembali tentang paham Salafi-Jihadi yang menjadi ide penggerak sang penulis artikel menyusun karyanya itu dengan segenap mekanisme keilmuan yang digunakannya. Utamanya perkembangan paham tersebut di Indonesia yang membuat sang penulis artikel tidak malu menulis Perang Diponegoro dalam perspektif jihadisme.
Dalam artikel saya yang lain, atau pembaca dapat menemukan dalam banyak artikel yang cukup melimpah, Salafi-Jihadi merupakan paham dan gerakan yang lahir di era modern. Embrionya mulai tumbuh secara bertahap di Arab Saudi sebagai bentuk perkawinan aktivisme Ikhwanul Muslimin dan puritanisasi ala penganut Wahhabi. Salafi-Jihadi lahir di medan Perang Afghanistan selama tahun 80-an yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan. Secara bertahap mulai menyebar ke seluruh dunia setelah berakhirnya Perang Afghanistan. Indonesia menjadi salah satu tempat menyebar paham Salafi-Jihadi.
NII Sebagai Embrio
Ulasan detail tentang masuknya paham Salafi-Jihadi ke Indonesia telah ditulis oleh Solahudin dalam bukunya yang kaya informasi, Dari NII Sampai JI: Salafi-Jihadisme di Indonesia (Komunitas Bambu: 2011). Gerakan Salafi-Jihadi hari ini merupakan kelanjutan dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin SKM. Kartosoewiryo. Perubahan penting terjadi pada menjelang tahun 80-an ketika Pemerintah Indonesia berupaya memberangus gerakan subversif melalui kebijakan Asas Tunggal Pancasila. Kebijakan ini mengharuskan berbagai organisasi di Indonesia mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasi.
Pada mulanya kebijakan ini ditolak, tetapi pada akhirnya berbagai organisasi masyarakat sipil menerimanya. Di antara yang terus menyuarakan penolakan adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya aktivis NII di Solo, Jawa Tengah. Sikap keras keduanya menyebabkan mereka diburu oleh aparat. Mereka harus melarikan diri keluar daerah. Mereka memilih Lampung, salah satu basis pendukung NII di Sumatera, sebelum kemudian pindah ke Malaysia.
Di Malaysia, keduanya membangun jaringan lintas Negara melalui bantuan Mohammad Natsir, eks pemimpin Masyumi yang mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Jaringan internasional M. Natsir membantu Abdullah Sungkar bertemu berbagai tokoh di Arab Saudi dan Afghanistan. Ketika terjadi Perang Afghanistan, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir menjadi tokoh penting dalam mobilisasi para pendukung NII di Indonesia berangkat ke Afghanistan. Tujuan utama militan Nusantara ini bukan untuk mengikuti perang, tetapi untuk mendapatkan pelatihan militer secara lebih leluasa untuk selanjutnya mereka akan kembali ke negara asal.
JI Sebagai Organisasi dengan Paham Salafi-Jihadi
Pertemuan dengan berbagai faksi militan dari seluruh dunia Islam ini memberi pengaruh luar biasa terhadap penguatan ideologi Salafi yang sebelumnya telah tertanam dalam diri pengikut NII. Hal ini ditandai dengan konflik internal antara Abdullah Sungkar yang berkecenderungan Salafi-modernis dengan Ajengan Masduki yang merupakan pemimpin NII di Indonesia yang berhaluan tradisionalis. Ketika konflik ini terjadi, para pengikut Ajengan Masduki harus pulang ke Indonesia.
Sedangkan pengikut Abdullah Sungkar tetap dapat mengikuti pelatihan di Afghanistan. Praktis, pada tahap selanjutnya, hanya mereka yang berpaham Salafi dalam barisan Abdullah Sungkar. Setelah berakhirnya perang Afghanistan, para militan asal Indonesia kembali ke home base mereka di Malaysia. Mereka mendirikan organisasi militan yang lebih kuat dan berjangkauan lebih luas, dengan mengadopsi unsur-unsur penting bahkan hingga soal nama dari sebuah organisasi militan Mesir, Jamaah Islamiyyah (JI).
Ya, organisasi ini menjadi pembawa paham Salafi-Jihadi ke Indonesia. Membantu tumbuhnya berbagai organisasi Salafi-Jihadi di Indonesia, baik dari aspek ideologi maupun kemampuan tempur. JI merupakan organisasi rahasia yang bertujuan mendirikan Negara Islam regional di kawasan Asia Tenggara dan Australia. Ini yang membedakan JI dengan NII. Organisasi ini percaya bahwa tujuan mereka dapat terwujud dengan melakukan jihad, yaitu berperang melawan individu maupun institusi yang dinilai sebagai musuh agama. Jihad telah menjadi ideologi penting dalam gerakan ini.
Unsur lain yang tidak kalah penting adalah pandangan dan sikap keagamaan yang menekankan pada pemurnian agama (puritanisme). Unsur kedua ini menjadi persamaan pengikut organisasi ini dengan kaum Muslim modernis atau para pengikut Salafi-Wahhabi di Indonesia pada umumnya. Sedangkan unsur jihad menggunakan kekerasan melawan otoritas resmi (baca; pemerintah) merupakan titik pembeda antara keduanya. Muslim modernis dan Salafi-Wahhabi tidak punya pretensi melakukan gerakan subversif melawan Negara.
Sebagai ‘organisasi’ yang menyebarkan paham Salafi-Jihadi, JI telah berperan aktif melakukan pelatihan terhadap anak-anak muda dan memberikan mereka petualangan yang sebenarnya sebagai seorang ‘mujahid’. Beberapa orang yang saya temui menceritakan bagaimana perjalanan hidupnya sampai bertemu dengan para aktivis jihad JI, lalu dengan mudah terlibat dalam aksi terorisme di Indonesia, dan kemudian mendekam di penjara karena keterlibatan mereka dalam jaringan pelaku teror.
Narasumber saya adalah orang-orang yang pernah mendekam di penjara karena kasus semacam ini. Biasanya, mereka hanya anak pengajian yang dikelola jaringan pengikut Salafi-Politik. Lalu ketika menemukan momentum seperti konflik antar agama, sebagaimana terjadi di Ambon dan Poso, mereka akan segera diberangkatkan dalam kelompok-kelompok kecil ke lokasi konflik. Mereka dikumpulkan di suatu tempat, berlatih berbagai macam keterampilan survival, bela diri, penggunaan senjata api, pembuatan bom, membaca peta, dan berbagai kecapakan kemiliteran lainnya.
Mereka memang dipersiapkan untuk menjadi seorang ‘tentara’. Selain pelatihan kecapakan militer, mereka juga dibekali materi keagamaan; di sinilah mereka diperkenalkan lebih jauh tentang pemikiran ‘akidah’ seperti apa yang harus tertanam dalam diri, posisi politik mereka, tujuan besar perjuangan mereka, serta bagaimana tujuan itu dicapai. Jelas, mereka mengembangkan wacana politik-keagamaan yang mengarah kepada kebencian terhadap pemerintah.
Kasus Ambon dan Poso menunjukkan bahwa konflik komunal antar penganut agama sangat rentan dimanfaatkan pengikut Salafi-Jihadi seperti JI untuk memperkuat sumber daya baru melalui perekrutan, pelatihan dan penggalangan dana atas nama solidaritas keumatan. Selain membawa para pemuda dari pulau Jawa yang telah mendapatkan radikalisasi tingkat dasar, Salafi-Jihadi JI juga menjadikan penduduk lokal sebagai sasaran perekrutan. Atas nama solidaritas umat, mereka merekrut pera pemuda yang keluarganya menjadi korban dalam konflik. Kebencian yang tertanam dalam situasi konflik menjadi modal penting yang mendorong para pemuda itu dengan mudah menerima berbagai tawaran JI. Dengan bergabung bersama komunitas ‘militer’ semacam ini, anggota baru akan mendapatkan perasaan aman, solidaritas kelompok, kemampuan menjaga diri dan kesempatan membalas dendam.
Pada umumnya, para narasumber saya selalu merasa bahwa para instruktur yang pernah melatih mereka sebagai orang-orang yang berkharisma, penuh kewibawaan, punya kecakapan militeristik, punya pengetahuan agama yang mantap dan pernah berperang di luar negeri. Ini membuat para instruktur itu sangat dihormati. Pandangan semacam ini dapat saya temukan dalam narasi semua narasumber sumber yang saya wawancara. Hal ini membentuk satu ikatan tersendiri antar orang-orang yang pernah mengikuti pelatihan militer di dua wilayah konflik tersebut. Pada umumnya, para peserta pelatihan militer ini mengaku tidak tahu tentang latar belakang organisasi para instruktur mereka. Tetapi, para instruktur ini tahu bahwa mereka membawa misi JI untuk menyebarkan paham dan merekrut anggota baru.
Petualangan Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia telah membantu terbentuknya sejumlah organisasi jihad yang lebih kecil. Di antara yang organisasi jihad yang kemudian menjadi penerus perjuangan JI melalui agenda jihad untuk menegakkan syariat dan negara Islam adalah Komite Aksi Penanggulangan Akibat Krisis (KOMPAK), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Jamaah Tauhid Wal Jihad, Mujahidin Indonesia Barat (MIB), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kita akan membahas satu-persatu berbagai organisasi jihad ini dalam tulisan berikutnya. Yang perlu diperhatikan, apapun nama dan tujuan jangka pendek organisasi ini, mereka berangkat dari satu ideologi; Salafi-Jihadi.