Salafi Jihadi Internasional: Sejarah, Tokoh, dan Doktrin Politik Keagamaannya (Bag-1)

Salafi Jihadi Internasional: Sejarah, Tokoh, dan Doktrin Politik Keagamaannya (Bag-1)

Salafi Jihadi Internasional: Sejarah, Tokoh, dan Doktrin Politik Keagamaannya (Bag-1)
Pict by TheCounterJihadReport

Aksi pemboman di seluruh dunia yang melibatkan oknum Muslim, tidak dapat dilepaskan dari peran kelompok Salafi Jihadi. Aksi-aksi mereka telah mewarnai berbagai pemberitaan dunia internasional, terutama sejak peristiwa 11 September di New York, Amerika Serikat. Indonesia mulai merasakan keberadaan kelompok ini sebagai ancaman terutama sejak peristiwa Bom Bali 1, pada kisaran tahun 2002-an. Belakangan terungkap dalang di balik sejumlah aksi pengeboman tersebut. Ya. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam organisasi rahasia yang memiliki ideologi Salafi-Jihadi. Lalu, apa yang dimaksud Salafi-Jihadi? Siapa mereka? Bagaimana pemikiran mereka? Berikut adalah penggambaran sederhana tentang kelompok ini.

Kelompok Salafi-Jihadi telah menjadi objek penelitian sejak marak aksi pengeboman di seluruh dunia dimana para pelakunya menggunakan agama Islam sebagai landasan pembenaran untuk aksi-aksinya. Salafi-Jihadi diambil dari dua kata; Salafi dan Jihadi. Dalam bahasa Arab, kelompok ini disebut al-salafiyyah al-jihadiyyah. Istilah ini mirip dengan yang digunakan dalam bahasa Inggris, Salafi-Jihadism.

Salafi diambil dari kata salaf, yang berarti kuno atau terdahulu. Sebutan ini digunakan karena mereka memang mengidentifikasi diri sebagai pengikut aliran Salafi. Salafi merupakan aliran dalam agama Islam yang muncul pada era modern. Bersamaan dengan tumbuhnya gerakan yang menentang doktrin bermazhab yang sudah mapan ribuan tahun. Gerakan penentang mazhab ini, pertama kali lahir di kawasan Najd, Jazirah Arab Timur. Lalu pada abad kedua puluh berhasil menguasai kawasan Hijaz, Jazirah Arab Barat. Puncaknya adalah berdirinya Kerajaan Saudi Arabia. Pemikir terpenting dalam gerakan ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahhabi. Gerakan anti-mazhab lainnya, tumbuh di Mesir melalui tokoh kenamaannya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Rasyid Ridha inilah yang menginisiasi istilah Salafiyah sebagai simbol gerakan pembaharuan yang menentang kejumudan kaum bermazhab. Baik Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Muhammad Abduh memiliki kesamaan pemikiran tentang pentingnya membuka pintu ijtihad bagi umat Islam. Upaya membuka pintu ijtihad ini dilakukan dengan mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dua rujukan utama ajaran Islam. Selain kembali kepada kedua sumber ajaran Islam tersebut, kedua tokoh tersebut juga mengajak untuk meneladani kaum salaf. Yaitu umat Islam dari tiga generasi pertama pada abad ketujuh masehi. Dengan merujuk kepada “cara berislam kaum salaf”, kedua pemikir itu menolak berbagai macam praktik keislaman yang dinilai tidak ada pada masa awal Islam, termasuk konsep mazhab, tasawuf, dan semua turunannya. Mereka menginginkan ajaran Islam yang murni sebagaimana pada masa awal Islam.

Pada mulanya, gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab hanya berkembang di kawasan Jazirah Arab. Namun pada tahun 80-an, paham dan gerakannya disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Sedangkan paham Muhammad Abduh telah menyebar ke berbagai kawasan di dunia Islam, khususnya Asia Tenggara, melalui penyebaran majalah Al-Manar. Majalah keislaman yang kemudian dibukukan menjadi kitab Tafsir Al-Qur’an. Di Mesir, ide pembaharuan Muhammad Abduh diteruskan oleh Hasan Al-Banna dengan mendirikan organisasi sosial-politik terkenal, Ikhwanul Muslimin (IM).

Bersama dengan elemen lain bangsa Mesir, terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Tetapi situasi berubah, ketika pada tahun 60-an, para aktivisnya diburu oleh penguasa Mesir, Jamal Abdul Nasser yang berhaluan sosialis. Bersama dengan para pemimpin sosialis lain di dunia Arab, dia mendirikan gerakan persatuan Arab (Pan-Arab). Para aktivis IM yang berhaluan Islamis harus menyingkir dari negara mereka. Kerajaan Saudi Arabia merasa ideologi Nasser sangat berbahaya bagi kelangsungannya yang dibangun di atas fondasi monarkhi. KSA kemudian membuka pintu suaka bagi para aktivis IM yang terusir. KSA menempatkan mereka dalam berbagai jabatan penting kerajaan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikn tinggi. Berbagai universitas berdiri di Arab Saudi.

Para aktivis IM yang pada umumnya memiliki pendidikan yang baik serta memiliki pandangan politik yang bercorak Islam menjadikan kerjasama antar keduanya berjalan lama, bahkan tiga puluh tahun sejak pertama kali para aktivis itu mengungsi ke Arab Saudi. IM menerima doktrin purifikasi Muhammad bin Abdul Wahhab, tetapi mempertahankan pemikiran kritis dalam isu politik dan ilmu pengetahuan. Puncak kerjasama antara Wahhabisme dan IM adalah penganugerahan banyak tokoh ulama IM oleh pemerintah Arab Saudi. Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Quthb, dan Yusuf Al-Qardawi adalah di antara banyak tokoh ulama IM yang memperoleh penghargaan kerajaan. Arab Saudi menginisiasi pendirian organisasi-organisasi berskala internasional seperti Rabitah Alam Islami (RAI) dan World Assembly of Muslim Youth (WAMY).

Wilayah kerja kedua organisasi ini dapat menjangkau banyak kawasan dunia Islam karena bekerjasama yang baik antara para pemimpin organisasi tersebut yang beraliran Wahhabi dengan para aktivis IM. Sekalipun menyebut agendanya adalah untuk dakwah Islam, tetapi orientasi sektarian untuk menyebarkan Islam Wahhabi ke seluruh penjuru dunia tidak dapat ditutupi. Berbagai penelitian dan analisis menyimpulkan bahwa kedua organisasi tersebut merupakan corong pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk dunia Islam. Ada yang menyebut bahwa globalisasi Islam Wahhabi adalah untuk mengimbangi perkembangan Islam Syiah Iran yang berhasil melakukan revolusi menggulingkan pemerintahan Syah Reza pada 1979. Tetapi, apapun alasannya, kepentingan Arab Saudi di kawasan atau bahkan di seluruh dunia Islam tidak dapat disangkal siapapun.

Puncak kemesraan Wahhabi-IM adalah ketika terjadi perang Afghanistan sejak 1979 hingga 1989. Uni Soviet membantu sekutunya di Afghanistan dengan mengirim tentara. Hal ini guna mengakhiri perang saudara antara kelompok komunis Afghanistan dan mujahidin Islamis setelah kemenangan partai komunis. Mengetahui Soviet mengirim tentara, Amerika Serikat mulai membangun aliansi dengan Pakistan dan tentu saja Kerajaan Arab Saudi.

Aliansi ini berhasil menyuplai uang dan senjata, memobilisasi para pemuda Muslim dari seluruh penjuru dunia Islam, serta melatih mereka menggunakan senjata dan taktik perang modern. Tahun 1990, Soviet mundur dari Afghanistan menandai kemenangan kaum mujahidin. Para milisi kembali ke negara asal dengan membawa ideologi baru. Selama di Afghanistan, mereka bertemu dengan berbagai faksi Islamis dari berbagai negara Islam yang pada umumnya hidup di negara yang dipimpin para diktator. Pertemuan ini membuat para jihadis, sebutan lain untuk mujahidin, saling bertukar pikiran.

Selanjutnya klik di sini