Dalam surat al-Waqi’ah ayat 11-14, Allah menjelaskan maksud dari kata al-Sabiqun (golongan terdahulu) adalah orang yang memiliki kedudukan mulia dan tempatnya di surga. Sebagian besar mereka berasal dari umat sebelum Nabi Muhammad dan sebagian kecil dari umat Nabi Muhammad. Dalam ayat selanjutnya, Allah SWT menjelaskan kenikmatan yang diberikan kepada kelompok ini. Allah SWT berfirman:
عَلَى سُرُرٍ مَوْضُونَةٍ () مُتَّكِئِينَ عَلَيْهَا مُتَقَابِلِينَ () يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ
‘Ala sururim maudhunah. Muttaqii’na ‘alaiha mutaqabilin. Yathufu ‘alaihim wildanum mukhalladun.
Artinya:
“Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata. Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda.” (QS: Al-Waqi’ah ayat 15-17)
Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa kata maudhunah dalam ayat 15 maksudnya adalah dibuat dari batang pohon yang terbuat dari emas dan permata. Imam al-Shawi dalam Syarah Tafsir Jalalain menambahkan kata sururin berati tempat duduk istimewa yang disiapkan untuk seseorang sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. Dengan demikian, kata sururim maudhunah bisa diartikan dengan tempat duduk istimewa yang terbuat dari emas dan permata.
Kemudian, Imam al-Mahalli menafsirkan kata muttaqi’ina dan mutaqabilin dalam ayat 16 sebagai penjelas keadaan orang yang masuk dalam kategori al-sabiqun. Imam al-Alusi menjelaskan makna mutaqabilin (berhadap-hadapan) dengan mengutip penjelasan dari Imam Mujahid:
Dalam ayat 16, kata muttaqii’na dan mutaqabilin dijelaskan oleh Imam Al-Mahalli sebagai hal, atau penjelas keadaan orang yang masuk kategori as–sabiqun. Imam Al-Alusi dalam tafsirnya menjelaskan tentang makna mutaqabilin (berhadap-hadapan) dengan mengutip keterangan Imam Mujahid:
لا ينظر أحدهم في قفا صاحبه وهو وصف لهم بحسن العشرة وتهذيب الأخلاق ورعاية الآداب وصفاء البواطن
“Salah seorang di antara mereka tidak melihat bagian leher belakang yang lain. Ini menunjukan pergaulan yang baik, akhlak yang terjaga, adab yang tertata, dan bersihnya batin mereka”
Pada ayat 17 terdapat kata yathufu ‘alaihim, Imam Al-Mahalli menafsirinya dengan kata lil khidmah (demi melayani). Sementara kata mukhalladun ditafsiri dengan ‘ala syaklil auladi la yahramun (dalam bentuk anak-anak yang tidak menua). Sehingga secara umum maknanya adalah, mereka dilayani oleh para anak-anak yang tidak menua.
Lebih lanjut, Imam al-Shawi menerangkan, anak-anak tersebut diciptakan oleh Allah di surga, sebagaimana para bidadari. Mereka bukan anak-anak yang dilahirkan di dunia. Ini pendapat yang shahih, dan berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa mereka adalah anak-anak orang mukmin yang mati tatkala masih kecil. Atau pendapat bahwa mereka adalah anak-anak orang non-muslim yang meninggal saat kecil.
Dan disebut anak-anak, menurut Imam al-Shawi, sebab mereka memang dalam bentuk anak-anak. Sedang mengenai sifat anak-anak tersebut yang tidak menua, menurut Imam al-Shawi, maknanya bukan menjadi tua. Sebab menjadi tua adalah sifat manusia di dunia. Menua dalam ayat di atas adalah bertambah terlihat segar dan bugar.