Pertemuan saya dengan muslim pengguna celana cingkrang (anti-isbal; isbal adalah istilah menggunakan celana menjulur di bawah mata kaki) sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Ketika saya masih mengenyam pendidikan di sekolah dasar, beberapa kali masjid tempat saya mengaji didatangi puluhan orang bercelana cingkrang yang mengatasnamakan kegiatannya sebagai khuruj.
Tidak ada yang mengganggu waktu itu selain perasaan ‘aneh’ saya karena para geng khuruj ini membawa budaya yang tak biasa. Mereka berpakaian gamis dan sorban, mandi di toilet masjid, memasak di salah satu ruangan masjid, menggunakan siwak untuk menggosok gigi sebelum salat, dan sering mengundang anak-anak seusia saya untuk ikut kajian. Tentu saja, saya dan teman-teman yang ‘takut’ memilih kabur.
Tetapi kami biasa-biasa saja. Saya sering diminta orang tua untuk mengirim gorengan atau semangka kepada geng khuruj. Biasanya mereka akan mengucapkan terima kasih dan mendoakan dengan berbagai macam doa yang baik.
Dalam pengamatan awam masa kecil saya, saya bisa membedakan beberapa anggota geng khuruj di masjid. Ada yang mau ikut dzikir setelah salat, ada yang dzikir sendiri. Ada yang mau ikut salaman antar jemaah setelah salat, ada yang memilih langsung melaksanakan salat rawatib. Biasanya, orang tua saya akan ‘rasan-rasan’ kalau ada geng khuruj yang tidak membaur dengan masyarakat.
Salah satu yang pernah dikeluhkan orang tua saya adalah ketika geng khuruj bertamu di rumah, kemudian mengajak orang tua saya untuk salat jamaah lima waktu di masjid. Beberapa dalil mengenai kewajiban salat jamaah bagi warga yang berada di sekitar masjid dikeluarkan. Bukan tanpa sebab orang tua saya merasa jengkel. Sudah sekian tahun orang tua saya dan tetangga di sekitar masjid memang tidak pernah absen dari kegiatan salat jamaah. Tetapi mengapa malah dijadikan objek dakwah?
“Lha, mengapa mereka tidak mau dakwah di sana yang tiap adzan justru masih sibuk memancing?” ujar bapak saya satu waktu sembari memberi isyarat di sebuah tempat pemancingan.
Kegelisahan semacam ini bukan hanya diungkapkan oleh bapak saya saja. Beberapa tetangga yang aktif jamaah pun kerap menyampaikan ketidaknyamanan karena terus-terusan diberi dalil-dalil.
Cerita lainnya, di masjid saya sering ada peringatan maulid Nabi. Nah, anggota geng khuruj yang kebetulan ada di masjid banyak yang tidak membaur dengan masyarakat untuk burdahan dan salawatan. “Warga disuruh ikut kajian kok dianya enggak mau ikut kegiatan warga.”
Ketika saya merantau ke Jawa, saya menemukan realitas yang lebih kompleks. Terutama ketika saya kuliah di Yogyakarta yang masyarakatnya begitu plural. Celana cingkrang bukan lagi sebatas atribut geng khuruj. Di Yogyakarta, saya melihat celana cingkrang sebagai bagian dari politik identitas. Oleh sebagian kalangan, celana cingkrang bahkan sudah dicap sebagai wahabi, pelaku poligami, anti-tahlilan, anti-basmalah dalam Al-Fatihah, dan lain sebagainya.
Di satu sisi anggapan ini bisa benar karena ada banyak peristiwa yang menguatkan. Saya beberapa kali salat di masjid yang didominasi kelompok anti-isbal ini dan menemukan sebagian besar stigma yang orang-orang tuduhkan. Namun ingatan masa kecil saya menolak keras untuk menggeneralisir pandangan tersebut. Apalagi jika menyebut secara meyakinkan bahwa pengguna celana cingkrang sebagai golongan yang memusuhi adat.
Ingatan saya menuju ke sosok berjenggot bernama Pak Dahari. Sejak saya kecil, Pak Dahari sudah menggunakan gamis dan pakaiannya selalu di atas mata kaki. Ia adalah bagian dari geng khuruj yang sampai saat ini, ketika saya salat jamaah di masjid, tidak pernah sekali pun melihat ketidakhadirannya. Ada cerita dari tetangga bahwa Pak Dahari selalu menghentikan aktivitasnya ketika waktu salat menjelang. Bisa dikatakan, Pak Dahari adalah pejuang jamaah di desa saya.
Pak Dahari tidak pernah memisahkan diri dari kebiasaan warga desa saya. Dia ikut berdzikir setelah salat, ikut salaman seusai salat, dan ketika do’a sebelum adzan menggunakan redaksi ‘sayyidina’ untuk mengawali penyebutan pada Rasulullah Muhammad SAW. Pak Dahari juga sering melantunkan puji-pujian seusai adzan. Ia mengikuti kegiatan warga bersalawat ketika bulan Maulid Nabi Muhammad.
Karenanya saya selalu menolak untuk menilai seseorang karena perilaku kebanyakan orang lain yang mirip dengannya. Kehidupan beragama itu kompleks. Bisa saja kita berargumen dan menyalahkan pelaku politik identitas yang membentuk stereotip kita. Tetapi apa salahnya kita menolak dan mengoreksi berbagai stereotip yang melekat?
Di era politisasi identitas, kewarasan kita memang sangat diuji. Wallahua’lam.