Beberapa waktu lalu publik dikagetkan oleh peristiwa penangkapan jaringan teroris di kampus Universitas Riau. Hampir berbarengan dengan peristiwa itu, seorang Guru Besar Undip dicopot sementara jabatannya lantaran mendukung organisasi terlarang HTI. Sebelumnya, BNPT dan BIN menyebut sejumlah perguruan tinggi telah disusupi paham radikal dan tengah diawasi oleh pemerintah.
Rangkaian peristiwa beruntun itu seolah menegaskan kembali asumsi bahwa lembaga pendidikan adalah salah satu tempat bersemainya ideologi keagamaan radikal. Tahun lalu, Alvara Reserch Center dan Mata Air Foundation melakukan survei tentang penyebaran radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa di seluruh pulau Jawa dan kota-kota besar di Indonesia.
Penelitian itu menyimpulkan adanya penguatan paham radikalisme agama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kesimpulan riset menunjukkan, 7 persen mahasiswa tidak setuju Pancasila sebagai asas negara. 23 persen mahasiswa menganggap demokrasi bertentangan dengan Islam. Sementara 42 persen mahasiswa setuju berdirinya khilafah di Indonesia.
Dalam struktur masyarakat kita, kaum intelektual memiliki peran strategis dalam perubahan sosial. Menjadi ancaman serius, jika kaum intelektual yang menjadi motor perubahan sosial itu justru terpapar ideologi radikal.
Wahabisme
Radikalisme memiliki jejak sejarah panjang dalam tradisi dan peradaban masyarakat Islam. Khaled Abou el Fadl (2006) menyebut bahwa radikalisme berakar pada gerakan puritanisme Islam.
Agenda pokok puritanisme Islam ialah menjadikan Al-Quran dan hadis sebagai satu-satunya sumber Islam dan menjadikan praktik keislaman generasi awal (salaf al–shalih) sebagai rujukan paling otoritatif.
Salah satu eksponen penting gerakan puritanisme Islam ialah Wahabi. Hamid Algar dalam buku Wahhabism: A Critical Essay menyebut bahwa paham Wahabi dicirikan oleh tiga karakter. Pertama, nalar berpikir tekstualis, yakni mengaggap Al-Quran dan hadiss sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Lebih fatal lagi teks-teks keagamaan itu dipahami secarara harfiah tanpa mempertimbangkan aspek sosio-historisnya.
Kedua, sikap anti pada modernitas Barat dan lokalitas tradisi. Modernisme dan lokalitas tradisi dianggap sebagai ancaman bagi moralitas dan kemurnian Islam. Sebagai sousinya, Wahabi menyeru umat Islam agar secara literal kembali pada praktik Islam semasa Nabi Muhammad.
Ketiga, berwatak intoleran, bahkan menghalalkan kekerasan untuk memaksakan penafsirannya atas ajaran agama. Algar bahkan tidak segan menyebut Wahabi sebagai Khawarij kontemporer.
Doktrin Wahabi yang bertumpu pada nalar tekstualisme dan sikap anti Barat diyakini telah menginsipirasi lahirnya gerakan jihad global. Natana J. Delong-Bas dalam bukunya Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Jihad Global, menyebut ada hubungan yang tidak dapat dielakkan antara kelompok jihadis dengan ajaran Wahabi.
Para jihadis global, semisal al–Qaeda kerap melegitimasi aksi teror mereka dengan fatwa-fatwa keagamaan yang diproduksi para ulama konservatif Wahabi.
Literatur Keislaman Moderat
Masifnya perkembangan ideologi radikal di perguruan tinggi tidak terlepas dari corak literatur keislaman yang berkembang di kalangan mahasiswa. Jenis bacaan keislaman yang menjadi rujukan anak muda tentu menjadi salah satu yang paling menentukan terbentuknya sikap dan cara pandang mereka terhadap Islam.
Noorhaidi Hassan (2018) menyebut lima corak literatur keislaman yang umumnya diakses oleh remaja dan kaum muda milenial. Yakni literatur keislaman bercorak jihadi, tahriri, salafi, tarbawi dan islamisme populer.
Literatur jihadi umumnya berisi gambaran bahwa dunia saat ini berada dalam situasi perang antara Islam dan Barat yang dipersepsikan sebagai kaum kafir. Pesan utama literatur bercorak jihadi adalah anjuran untuk melakukan jihad yang dimaknai sebagai perang mengangkat senjata.
Literatur tahriri biasanya menawarkan khilafah sebagai solusi praktis atas berbagai problem sosial yang dialami umat muslim. Literatur salafi, lebih banyak menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas yang merujuk pada sumber-sumber utama Islam. Literatur tarbawi, berisi misi ideologis organisasi Ikhwanul Muslimin yang umumnya cenderung politis.
Sedangkan literatur keislaman populer berisi tema-tema seputar ajaran Islam dan persoalan keseharian dan menawarkan solusi praktis yang dikemas dan disajikan dengan ringan, memakai idiom-idiom kekinian dan mudah dipahami.
Literatur keislaman populer menjadi rujukan utama bagi sebagian besar remaja dan anak muda milenial hari ini. Selain mudah dipahami dan relevan dengan problem kekinian, literatur keislaman populer juga dapat dengan mudah ditemukan di pasaran dan biasanya terjangkau bagi kelas menengah.
Sayangnya, literatur keislaman populer lebih banyak berisi pengetahuan Islam yang indoktrinatif. Tidak jarang pula, literatur keislaman populer disusupi pemikiran-pemikiran konservatif-radikal. Ironisnya lagi, literatur-literatur yang demikian itu acapkali menjadi bahan ajar pokok di sekolahan maupun perguruan tinggi.
Berkaca pada sederet fakta di muka, menangkal anasir radikalisme di perguruan tinggi, salah satunya dapat dilakukan dengan memunculkan literatur keislaman tandingan. Negara dan pihak yang berkepentingan dalam hal ini seharusnya berupaya keras memunculkan literatur-literatur keislaman yang berisi kajian Islam bercorak moderat, namun dikemas dan disajikan secara menarik, ringan dan praktis.
Gagasan tentang “Islam Nusantara” yang dikampanyekan oleh NU atau “Islam Berkemajuan” yang digaungkan Muhammadiyah idealnya diperkenalkan melalui literatur keislaman yang populer dan kekinian. Tujuannya tentu agar gagasan-gagasan besar itu sampai di kalangan remaja dan anak muda. Sangat disayangkan jika gagasan-gagasan tentang Islam yang moderat dan toleran itu hanya berakhir menjadi bahan diskusi di kalangan elit-intelektual saja.
Wallahu A’lam.